
International Fiscal Association (IFA) Indonesia Branch kembali menggelar acara "The 13th Annual International Tax Seminar" pada 3 Desember 2025 di Mangkuluhur Artotel Suites, Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan seperti praktisi pajak lintas negara, pelaku usaha hingga otoritas pajak dengan fokus pembahasan mengenai perkembangan lanskap perpajakan global dan penerapan global minimum tax (GMT) yang perlu dimitigasi oleh wajib pajak di tengah dinamika global yang semakin kompleks.
Salah satu poin yang mendapat sorotan adalah implementasi GMT sebesar 15% yang telah diatur dan resmi diadopsi di Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 (PMK 136/2024). Dalam paparannya, Melani Dewi Astuti, Analis Kebijakan Fiskal DJSEF Kementerian Keuangan, menjelaskan bahwa kebijakan tax holiday dengan tarif 0% kepada perusahaan multinasional kini tidak lagi efektif, sebab negara induk perusahaan tetap dapat mengenakan top-up tax hingga mencapai batas 15%, oleh karena itu pemerintah saat ini sedang mempertimbangkan skema Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) sebagai alternatif penerapan tax holiday.
“Kami akan pertimbangkan QRTC. Hanya saja ini masih belum final, masih menunggu hasil dari OECD. Menurut pertimbangan kami, Indonesia cocok untuk QRTC. Indonesia berharap OECD segera menerbitkan publikasi agar kami dapat menetapkan desain baru insentif” jelas Melani pada forum seminar internasional yang digelar oleh International Fiscal Association (IFA) Indonesia Branch.
Lebih lanjut, Melani juga memaparkan bahwa QRTC dipandang lebih kompatibel dengan aturan Global Anti-Base Erosion (GloBE) OECD. Dalam kerangka GloBE, QRTC diperlakukan bukan sebagai pengurangan pajak, tetapi sebagai pendapatan, hibah, atau subsidi pemerintah, sehingga tidak menurunkan effective tax rate (ETR) di bawah batas GMT. Dengan demikian, QRTC dapat tetap memberikan manfaat ekonomi tanpa memicu top-up tax dari yurisdiksi lain.
Secara umum, QRTC merupakan kredit pajak yang dapat dikembalikan, dengan pengembalian berupa kas atau setara kas dalam jangka waktu maksimal empat tahun sejak entitas memenuhi syarat untuk menerima kredit berdasarkan ketentuan di yurisdiksi yang memberikan kredit tersebut.
Berbeda dengan insentif pajak selain QRTC yang diperlakukan sebagai pengurang pajak tercakup, QRTC justru diperlakukan sebagai penambah laba GloBE. Dengan demikian, pemanfaatan QRTC bisa menekan jumlah pajak yang harus dibayar tanpa memunculkan beban pajak tambahan yang signifikan. Sebagai informasi, penyusunan payung hukum QRTC disebut telah memasuki tahap akhir. Namun pemerintah masih menunggu daftar final insentif yang kompatibel dengan GMT dari OECD.
Pada rangkaian pembahasan dan diskusi panel seminar ini, ditegaskan bahwa penting untuk memetakan prioritas serta mitigasi risiko yang harus disiapkan praktisi dalam menghadapi isu strategis perpajakan internasional. Adapun dalam forum ini, topik yang disampaikan antara lain perkembangan terbaru implementasi Pilar 2, manajemen risiko dan penyelesaian sengketa penetapan harga transfer di era transparansi global, penegasan kebijakan anti penghindaran pajak, dan pertimbangan kepatuhan pajak sebelum dan pasca kesepakatan aksi konglomerasi perusahaan.
