PENDAHULUAN
Sejatinya, pajak adalah alat pemersatu bangsa – sebagai instrumen dalam mendorong nation building. Pajak sejatinya juga menjadi alat demokratisasi sekaligus sebagai perwujudan relasi yang paling intim antara negara dan rakyat. Karena itulah, sudah seharusnya kebijakan pajak dirumuskan dengan berlandaskan pada filosofi perpajakan, dan teori perpajakan menjadi dasar / penuntun dalam mengartikulasi kebijakan perpajakan secara eksplisit, yaitu melalui Undang-undang Perpajakan (termasuk juga peraturan pelaksaannya).
Ketidakpahaman dan atau menafikan filosofi dan teori perpajakan dalam mendisain Undang-undang perpajakan berpotensi besar dalam menciptakan disharmoni antara negara dan rakyat, serta dapat mengganggu relasi antara negara dan rakyat. Seperti hukum positif lainnya, Undang-undang perpajakan dibuat untuk menciptakan kepastian hukum yang adil, sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 28D (amandemen) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa :
“(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
PERAN DAN FUNGSI PENGUSAHA KENA PAJAK Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak obyektif, dengan legal character : general, indirect dan on consumption. Sebagai pajak tidak langsung (indirect tax), maka beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Karena PPN merupakan pajak atas konsumsi (consumption based taxation) maka secara teoritis serta sesuai dengan legal characternya, maka yang dituju sebagai penanggung pajak atau destinataris yang sesungguhnya adalah pembeli/konsumen. Hanya saja dalam pengimplementasiannya, secara konseptual teoritis maupun international best practice, untuk transaksi di dalam negeri, negara meminta bantuan pihak ketiga untuk membantu melakukan pemungutan PPN. Dalam hal ini, lazimnya yang diminta bantuan oleh negara adalah pihak yang paling dekat dengan pembeli, yaitu penjual.
Sistem pemungutan PPN semacam ini, diadopsi oleh Indonesia melalui Pasal 3A ayat (1) UU PPN. Dalam pasal ini digunakan terminologi “memungut” dan “menyetorkan” untuk menegaskan bahwa PPN adalah pajak tidak langsung dan yang menjadi destinatarisnya adalah pembeli. Pasal 3A ayat (2) juga menegaskan diberlakukan kebijakan threshold (ambang batas), sehingga tidak semua pengusaha otomatis menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kebijakan ambang batas ini tentunya merupakan kebijakan pajak yang positif dan kondusif, khususnya bagi pembangunan ekonomi makro.
Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU KUP, fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Penegasan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) ini merupakan jaminan negara untuk menciptakan keadilan, yaitu dengan menjamin adanya kesetaraan antara HAK dan KEWAJIBAN. Pemilihan kalimat yang mendahulukan kata “HAK” daripada kata “KEWAJIBAN” tentunya bukan masalah tata Bahasa biasa. Dibalik itu, negara menegaskan perlindungan terhadap pelaksanaan HAK dari setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP).
BOKS 1. JAMINAN KESETARAAN HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Salah satu fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Penegasan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU KUP ini merupakan jaminan negara untuk menciptakan keadilan, yaitu dengan menjamin adanya kesetaraan antara HAK dan KEWAJIBAN. Pemilihan kalimat yang mendahulukan kata “HAK” daripada kata “KEWAJIBAN” tentunya bukan masalah tata Bahasa biasa. Dibalik itu, negara menegaskan perlindungan terhadap pelaksanaan HAK dari setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam PPN, kesetaraan ini menjadi hal yang sangat penting karena PPN terhutang/yang harus disetorkan oleh PKP dihitung dengan mengurangkan PAJAK MASUKAN terhadap PAJAK KELUARAN (PK-PM). Dengan demikian, secara aggregate, beban PPN hanya sebesar nilai tambah (value added). |
KEPASTIAN HUKUM DALAM 2 AYAT (4) DAN AYAT (4a) UU KUP
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) merupakan hukum formal. Posisi hukum pajak formal ini sangat strategis karena penentukan keberhasilan implementasi hukum pajak material. Hukum Pajak Formal mengatur bagaimana mengimplementasikan hukum pajak material, karena itu dalam hukum pajak formal diatur mengenai prosedur (tata cara) pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan serta sanksi-sanksi bagi yang melanggar kewajiban perpajakan. Mansury (Mansury, 2002:5) mendefinsikan Hukum Pajak Formal sebagai:
Hukum pajak formal adalah peraturan undang-undangan yang mengatur tentang prosedur pelaksanaan yang berkenaan dengan (i) administrasi pajak atau instansi pajak dan (ii) berbagai tata cara sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak dan aparat pajak; (iii) aparat pajak sebagai sumber daya manusia yang kapasitasnya sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan bekerja
Ahli hukum pajak, Brotodihardjo menyatakan bahwa:
Yang termasuk hukum pajak formal adalah peraturan-peraturan mengenai cara-cara untuk menjelmakan hukum material tersebut di atas menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu hutang pajak, kontrole oleh pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para wajib pajak (sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak), kewajiban pihak ketiga, dan pula prosedur dalam pemungutannya (Brotodihardjo, 1984 : 46)
Hukum pajak formal yang baik adalah yang selaras dengan asas-asas pemungutan pajak, antara lain asas Asas kepastian (certainty). Asas kepastian merupakan asas yang fundamental dalam sistem perpajakan. Dalam publikasinya yang berjudul “Addressing the Tax Challenges-of the Digital Economy” yang diterbitkan tahun 2014 lalu, OECD menegaskan bahwa salah satu asas/prinsip perpajakan yang fundamental adalah certainty and simplicity, sebagaimana dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
Tax rules should be clear and simple to understand, so that taxpayers know where they stand. A simple tax system makes it easier for individuals and businesses to understand their obligations and entitlements. As a result, businesses are more likely to make optimal decisions and respond to intended policy choices.
Kutipan di atas menyatakan bahwa peraturan perpajakan harus jelas dan mudah dimengerti, sehingga pembayar mengetahui di mana posisi mereka. Sistem perpajakan yang sederhana akan memudahkan Orang Pribadi maupun Badan untuk memahami kewajiban dan hak mereka.
Ketentuan Pasal 2 ayat 4 dan ayat (2a) khususnya yang terkait dengan penetapan PKP secara jabatan belum selaras dengan asas kepastian karena Pasal 2 ayat (5) UU KUP memberikan diskresi kepada Menteri Keuangan untuk mengatur jangka waktu pelaporan, tata cara pengukuhan dan pencabutan PKP.Pasal 2
(5) | Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan |
Diskresi yang diberikan kepada Menteri Keuangan menyebabkan filosofi dan tujuan dari diberlakukan asas retroactive tidak diimplementasikan dengan benar dan adil. Dalam kasus yang dihadapi oleh bapak Edi Pramono, asas retroactive tetap diterapkan oleh fiskus/KPP dengan menerbitkan SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf e ditambah sanksi Pasal 13 ayat (2), padahal yang bersangkutan bukan merupakan PKP yang dikukuhkan secara jabatan. Hal ini dilakukan oleh KPP dengan dalih Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. |
Fakta hukum menunjukkan bahwa yang bersangkutan segera melaporkan kegiatan usahanya setelah mendapat himbauan dari KPP setempat. Lebih ironis lagi, kasus ini terjadi justru ketika yang bersangkutan melaksanakan himbauan untuk pembetulan SPT PPh Tahunan dari KPP setempat -yang pada saat itu pemerintah tengah gencar gencarnya mensosialisasikan sunset policy. Bahkan data pembetulan SPT Tahunan PPh inilah yang menjadi dasar fiskus untuk menetapkan SKPKB PPN. Padahal selain PMK yang berlaku saat itu (Pasal 4 PMK NO. 66/PMK.03/2008) menegaskan bahwa data Pembetulan SPT Tahunan dalam sunset policy tidak dapat / tidak boleh dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan pajak pajak lainnya, omzet PPh tidak dapat serta merta dijadikan dasar untuk melakukan equalisasi PPN karena belum tentu semua omzet penjualan merupakan obyek PPN. Dalam kasus bapak Edi Pramono, dalam toko bangunannya dijual juga Barang Tidak Kena PPN (BTKP) seperti pasir dll (lihat Pasal 4A ayat (2) UU PPN).
BOKS 2 : KETIDAKADILAN DALAM RETROACTIVE KEWAJIBAN PENGUSAHA KENA PAJAK : KASUS YANG MENIMPA PENGUSAHA UMKM Implementasi asas retroactive yang diterapkan kepada pengusaha dalam praktiknya di lapangan telah menyebabkan korban. Pengusaha toko bangunan yang bernama Edi Pramono segera melaporkan kegiatan usahanya setelah mendapat himbauan dari KPP setempat. Pada saat itu, pemerintah tengah gencar mensosialisasikan kebijakan sunset policy dan banyak pengusaha (termasuk pengusaha UMKM) yang dihimbau untuk memperbaiki Surat Pemberitahuan (SPT) PPh. Dari data perbaikan SPT PPh tersebut, KPP mengetahui bahwa omzet ybs lebih dari 600 juta rupiah. Pada saat itu, kebijakan ambang batas Pengusaha Kecil adalah kurang dari 600 juta. Atas dasar data pembetulan SPT tersebut, maka KPP menghimbau ybs untuk dikukuhkan menjadi PKP. Sebagai warga negara yang patuh, ybs segera melaporkan kegiatan usahanya, dan kemudian ditetapkan sebagai PKP. Namun itikad baik ybs justru menjadi bumerang. Pemeriksa pajak menerapkan equalisasi PPh dan PPN dengan dalih Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 dan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011. Lebih ironis lagi, karena data pembetulan SPT Tahunan PPh sunset policy inilah yang menjadi dasar fiskus untuk menetapkan SKPKB PPN. Padahal selain PMK yang berlaku saat itu (Pasal 4 PMK NO. 66/PMK.03/2008) menegaskan bahwa data Pembetulan SPT Tahunan dalam sunset policy tidak dapat / tidak boleh dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan pajak pajak lainnya, |
MENELISIK IMPLIKASI SANKSI DAN BEBAN PERPAJAKAN DALAM PELAKSANAAN PASAL 2 AYAT (4) DAN AYAT (4a) : URGENSI REVISI/PENINJAU KEMBALI PASAL 4 AYAT (4) DAN AYAT (4a) Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, fungsi PKP adalah untuk melaksanakan HAK dan KEWAJIBAN di bidang PPN dan PPnBM. Karena PPN merupakan pajak atas PERTAMBAHAN NILAI (value added), maka salah satu hak dari PKP adalah pengkreditan pajak masukan. Bahkan, untuk memberikan kemudahan (simplicity/ease of administration) dalam penghitungan PPN, serta memberikan untuk kepastian hukum bahwa PPN dikenakan sebatas nilai tambah, maka negara juga menerapkan 2nd best policy melalui penerapan presemptive tax (lihat Rosdiana dan Irianto, 2012) – dengan format/bentuk kebijakan Nilai Lain [1], maupun dalam bentuk kebijakan/regulasi pedoman pengkreditan pajak masukan [2]. Ketidaksetaraan pelaksanaan Hak dan Kewajiban terjadi karena dalam Pasal 2 ayat (4a) hanya ada penggunaan kata Kewajiban sebagaimana dapat dilihat bunyi Pasal 2 ayat (4a) berikut ini:
“Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.”
Implikasi dari Pasal ini adalah dalam pelaksanaannya, pengusaha tidak mendapatkan hak untuk dikenakan pajak (menyetorkan) PPN sebatas pertambahan nilainya, bahkan sanksi yang dikenakan terhadap pengusaha tersebut melebihi sanksi yang dikenakan terhadap pidana perpajakan. Hal ini terjadi karena menegaskan hak pengusaha, menyebabkan fiskus menagih PPN sebesar Pajak Keluaran yang tidak dipungut ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan (lihat Pasal 13 ayat (2) UU KUP). Deskripsi umum dari penghitungan besarnya sanksi yang dikenakan terhadap pengusaha tersebut dapat dilihat dalam Tabel berikut ini:
Kedua tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat adanya ketidakadilan akibat dari Pasal 2 ayat (2a) yang hanya menekankan pada aspek kewajiban dan mengabaikan pelaksanaan hak dari pengusaha. Seharusnya, sebagaimana amanah dalam pasal 28D UUD NKRI 1945 tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, maka jika negara memberlakukan kewajiban PKP secara retroactive, maka pada saat yang bersamaan pemenuhan hak PKP juga harus dilakukan secara retroactive. Asimetris atau ketidaksetaraan antara hak dan kewajiban dalam rumusan Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4a) akan menimbulkan diskriminasi serta pembebanan costs of taxation (lihat Rosdiana dan Irianto, 2012) yang tinggi – baik material maupun immaterial (time costs dan psychological costs) terhadap pengusaha yang diberlakukan Pasal Pasal ini. Semakin kecil value added yang sesungguhnya, maka semakin besar diskriminasi dan costs of taxation yang diderita oleh pengusaha tersebut, sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel berikut:
Selain itu, di sisi lainnya, perlakuan retroactive secara asimetris, yaitu hanya menekankan/ memperhitungkan pada kewajiban pengusaha untuk untuk memungut PPN meski fakta hukum pada saat itu pengusaha tersebut belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak menjadi kontradiktif dengan ketentuan Pidana Perpajakan sesuai Pasal 39A huruf b. Pada akhirnya, pengusaha yang dikukuhkan PKP secara jabatan harus menanggung beban pajak yang bertubi tubi karena PKP juga merupakan Wajib Pajak yang sudah dikenakan Pajak Penghasilan. Beban pajak bertambah besar karena esensi dan fakta hukumnya pengusaha tersebut tidak pernah memungut PPN kepada pembelinya. Dalam kasus yang menimpa bapak Edi Pramono, yang bersangkutan bahkan seharusnya tidak boleh diterbitkan SKPKB Pasal 13 ayat (1) huruf e, karena yang bersangkutan segera melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP setelah adanya himbauan dari KPP setempat. Costs of taxation atas kasus di atas sangat besar bahkan melampaui PPh yang memang merupakan pajak langsung yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena PPh kenakan atas tambahan kemampuan ekonomis (net income) sementara PPN dikenakan terhadap ybs didasarkan pada jumlah bruto omzet, sebagaimana dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
BOKS 3 . MENGAPA ASAS RETROACTIVE SEBAIKNYA HANYA DIBERLAKUKAN DALAM PAJAK PENGHASILAN ? Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis. Dengan demikian yang menjadi dasar penghitungan PPh yang terhutang adalah nett income. UU PPh tidak menegasikan hak atas tax reliefs jika Wajib Pajak diperiksa. Dengan demikian, Pasal 6 (deductible expenses maupun deduction), Pasal 7 (personal allowances untuk WP PPh OP), Pasal 28 (tax credit) maupun tax reliefs lainnya tetap berlaku, sehingga Wajib Pajak yang diterbitkan SKPKB berdasarkan NPWP secara jabatan tetap akan dihitung berdasarkan dasar pengenaan PPh, yaitu penghasilan netto. Dengan demikian, dalam pelaksanaan asas retroactive, kesetaraan antara HAK dan KEWAJIBAN perpajakan bagi Wajib Pajak akan tetap terpenuhi, sehingga keadilan tetap dapat ditegakkan. |
BOKS 4 . MENGAPA ASAS RETROACTIVE ATAS KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI SEBAIKNYA DITANGGUHKAN/TIDAK DIBERLAKUKAN ? Berbeda dengan PPh, ketentuan Pasal 9 ayat (8) UU PPN menyebabkan pengusaha tidak bisa menggunakan HAKnya untuk mengkreditkan Pajak Masukan (PM) dalam kasus asas retroactive. Karena itu, asas retroactive justru akan menyebabkan cost of taxation yang sangat tinggi, bahkan melebihi sanksi dalam kompromi fiskal Pasal 8 ayat (3) maupun sanksi (minimum) pidana perpajakan, Karena: PPN terhutang bukan dihitung dari nilai tambah; dikenakan sanksi berupa bunga Pasal 13 ayat (2) menegasian hak pengkreditan, Mekanisme penghitungan PPN menjadi mirip Pajak Penjualan (PPn) yang merupakan pajak atas transaksi/penjualan. Pengusaha dikenakan Surat tagihan Pajak (STP) Karena tidak membuat Faktur Pajak dengan sanksi 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (mis. Harga Jual) |
[1]Misalnya dalam rejim UU PPN tahun 2000, Pasal 4 “Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 642/KMK.04/1994 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak” mengatur bahwa : Pasal 4
(1) | Untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam melaksanakan kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam menghitung pajaknya dapat menggunakan Nilai Lain sebagai DasarPengenaan Pajak yang caranya sebagai berikut : Pajak Pertambahan Nilai yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran adalah sebesar 10% x Harga Jual Barang Kena Pajak; Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran adalah sebesar 10% x 20% x jumlah seluruh penyerahan barang dagangan. |
(2) | Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang dalam suatu tahun buku tidak memilih menggunakan Dasar Pengenaan Pajak dengan NIlai Lain wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. |
[2] Hingga kini, 2nd best theory dengan format deemed VAT input (pedoman pengkreditan pajak masukan) masih diterapkan. Peraturan yang masih berlaku adalah “Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu”. Dalam Pasal 7 PMK tersebut diatur bahwa:
Pasal 7
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu sebesar :
PENUTUP Sebagaimana telah dijelaskan di atas, implikasi Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) adalah pengenaan cost of taxation yang sangat tinggi, bahkan melebihi sanksi dalam kompromi fiskal Pasal 8 ayat (3) maupun sanksi (minimum) pidana perpajakan. Hal ini terjadi karena sanksi yang dikenakan terhadap pengusaha bukan hanya berupa sanksi yang bersifat eksplisit (misalnya Pasal 13 ayat (2)) tetapi juga sanksi yang bersifat implisit -antara lain berupa menegasan hak pengkreditan atau penetapan PPN yang kurang bayar atas dasar nilai peredaran bruto/omzet dan bukan mendasar pada nilai tambah. Sejatinya PPN adalah pajak yang dikenakan terhadap nilai tambah, Mekanisme penghitungan PPN berbeda dengan Pajak Penjualan (PPn) yang merupakan pajak atas transaksi/penjualan. Sejatinya, sanksi perpajakan merupakan instrumen untuk menciptakan keadilan perpajakan. Sanksi menjadi pembeda antara yang wajib pajak yang patuh dan yang tidak patuh. Karena itulah, keberlakukan asas retroactive seharusnya hanya diterapkan terhadap PKP yang dikukuhkan secara jabatan, namun dengan tetap memperhatikan hak-hak perpajakannya. Namun, untuk mencegah perpecahan antara negara dan rakyat, sebaiknya asas retroactive tidak diberlakukan terhadap PKP karena sistem PPN (termasuk UU PPN) saat ini tidak memungkinkan hal tersebut, terutama karena Pasal 9 ayat 8 huruf a UU PPN mengatur disallowed VAT Input bagi Pajak Masukan sebelum pengusaha dikukuhkan menjadi PKP. Hal ini berbeda dengan PPh yang dalam UU PPh tidak menegaskan hak atas tax reliefs baik Pasal 6 (deductible expenses maupun deduction), Pasal 7 (personal allowances untuk WP PPh OP) maupun Pasal 28 (tax credit) sehingga Wajib Pajak yang diterbitkan SKPKB berdasarkan NPWP secara jabatan tetap akan dihitung berdasarkan dasar pengenaan PPh, yaitu penghasilan (tambahan kemampuan ekonomis, misalnya net income) Dalam memenuhi kewajibannya sebagai Wajib Pajak, seseorang dipengaruhi oleh berbagai motif. Apabila motif seseorang membayar pajak adalah karena didorong oleh suatu ketakutan akan mendapat hukuman, maka bentuk kepatuhan tersebut bukan karena kesadaran atau kesukarelaan melainkan karena rasa ketakutan atau terpaksa. Kepatuhan Wajib Pajak yang disebabkan karena takut pada sanksi atau hukuman merupakan kepatuhan bersifat semu dan akan mengurangi manfaat dari penerapan sanksi (James, 2006 : 141). Sudah seharusnya fungsi sanksi perpajakan diletakkan kembali pada posisi yang seharusnya. Sanksi pidana perpajakan tidak boleh berorientasi pada tujuan jangka pendek, yaitu untuk menghukum PKP yang tidak kooperatif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, namun sebaliknya, harus berorientasi pada tujuan jangka panjang yaitu untuk mempengaruhi tingkah laku PKP yang tidak kooperatif menjadi PKP yang patuh. Sudah seharusnya Pasal 2 ayat (4) maupun Pasal 4 ayat (4a) ditinjau kembali dan segera diamandemen untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin keadilan perpajakan. Dengan struktur UU PPh dan UU PPN yang ada saat ini, maka ketentuan asas retroactive hanya cocok untuk diberlakukan terhadap PPh, karena PPh merupakan Secara pajak langsung dan bersifat subyektif. Sungguh suatu ironi, jika pemerintah memperjuangkan keberlakuan tax amnesty dengan insentif uang tembusan yang sangat murah (bahkan diberikan pembebasan pajak dan sanksi-sanksinya) bagi para wajib pajak yang jelas tegas melakukan tindakan pidana perpajakan. Sementara Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) yang sarat ketidakadilan bahkan menimbulkan cost of taxation yang tinggi justru tidak ditinjau kembali. Terlebih, pada kenyataannya PKP tersebut juga sudah dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif yang berlaku umum (yaitu maksimum 30% untuk PPh Orang Pribadi dan 25% untuk PPh Badan), dan karena pada kenyataannya PKP tersebut tidak pernah memungut PPN kepada pada pembelinya, maka seluruh direct money costs menjadi tanggungannya, termasuk juga sanksi perpajakan baik yang secara eksplisit dan implisit. Bahkan, fakta empirik menunjukkan bahwa cost of taxation asas retroactive PPN yang diderita PKP tersebut justru lebih besar dibandingkan PPh yang memang merupakan pajak subyektif yang bersifat langsung (menjadi beban Wajib Pajak). Kondisi ini akan memperburuk persepsi rakyat karena akan menganggap pemerintah hanya berpihak pada suatu golongan yang mempunyai harta banyak. Untuk itu, diperlukan langkah nyata untuk menyehatkan kembali relasi antara pemerintah dan rakyat, demi terbangunnya saling percaya (trust) antara pemerintah dan rakyat melalui pajak sebagai instrumen nation building. REFERENSI
Bruno Peeters (Editor), The Concept of Tax, EATLP International Tax Series, Volume 3, 2005
Cedric Sandford , The Rise and Rise of Tax Compliance Costs, New Zealand: The Chartered Institute of Taxation, http://www.tax.org.uk/index.pl?section=133">History of Tax.
Cedric T. Sandford, M.R. Godwin and P.J.W. Hardwick, Administrative and Compliance Costs of Taxation, Fiscal Publications, Bath, 1989
Dora Hancock, Taxation: Policy & Practice, 1997/1998 Edition, UK: Thomson Business Press, 1997.
Edi Slamet Irianto, Pajak, Negara dan Demokrasi : Konsep dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009.
Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik : Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Edisi Revisi, Bandung: CV Alfabeta, 2005.
Edwin, R.A. Seligman, Essays in Taxation , New York, 1925.
James M. Buchanan, ‘Tax Institutions and Individual Fiscal Choice’, Public Finance in Democratic Process: Fiscal Institutions and Individual Choice, The Library of Economics and Liberty, dalam http://www.econlib.org/library/Buchanan/buch Cv4c3.html.
Jeff Pope, The Compliance Costs of Taxation in Australia and Tax Simplification: The Issues, Australian Journal of Management, The University of New South Wales, Juni 1993
Jon Abolins, VAT compliance costs – heavier than you realise?, 25 Maret 2002, http://www.accountingweb.co.uk/ cgi-bin/item.cgi?id=76097"
Mattijs Alink dan Victor van Kommer (Editor), Handbook for Tax Administrations: Organizational Structure and Management of Tax Administrations, The Netherlands: Koninklijke Vermande/Inter-American Center of Tax Administrations, 2000.
Michael P. Devereux, Editor, The Economics of Tax Policy, New York:Oxford University Press, 1996.
Parthasarathi Shome (Editor), Tax Policy Handbook, Washington DC: Tax Policy Division Fiscal Affairs Departement International Monetary Fund, 1995.
R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4), 2002.
R. Mansury, Ph.D, Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia, Jilid 2, Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara.
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Ketiga, Bandung: PT Eresco, 1993.
Ray M. Sommerfeld, Hershel M. Anderson dan Horace R. Brock, An Introduction to Taxation, New York: Harcourt Brace Jonovich Inc., 1981.
Readings on Taxation in Developing Countries, Diedit oleh Richard M. Bird dan Oliver Oldman, Baltimore: The John Hopkins Press, 1967.
Ricard E. Wagner, Public Finance: Revenues and Expenditures in A Democratic Society, Boston: Littl
Categories:
ArsipTagged: