Media Komunitas Perpajakan Indonesia Forums Bahas Berita Emission Trading Scheme : Skema Pungutan Untuk Mengurangi Efek Emisi Karbon

  • Emission Trading Scheme : Skema Pungutan Untuk Mengurangi Efek Emisi Karbon

     denwij33 updated 2 years, 7 months ago 6 Members · 10 Posts
  • egbert

    Member
    18 August 2021 at 2:53 am

    Setelah kita membahas tentang pajak karbon yang berpengaruh terhadap bisnis pertambangan, dalam tulisan ini penulis akan membahas beberapa alternatif skema pungutan untuk mengurangi efek dari emisi karbon. Skema ini dinamakan dengan Emission Trading Scheme (ETS) atau dikenal juga dengan nama Cap and Trade Scheme.

    Apa beda antara pajak karbon dan ETS?Dalam skema pajak karbon, pajak dikenakan atas karbon (CO2) yang dihasilkan jika melebihi ambang yang diperbolehkan. Misalnya, sebuah kilang minyak menghasilkan 1 juta ton CO2 dalam setahun. Berdasarkan kebijakan dari negara, CO2 yang boleh dihasilkan oleh kilang tersebut hanya 700 ribu ton. Maka, kilang minyak harus membayar 300 ribu ton CO2 dengan pajak, misalnya sebesar US$ 10/ton. Sehingga tiap tahun kilang itu harus membayar pajak karbonsebesar US$ 3 juta.

    Jika kilang minyak tersebut bisa menurunkan emisi karbon pada level 700 ribu ton per tahun dengan cara menggunakan energi terbarukan, misalnya, maka pajak karbonnya akan dibebaskan. Atau bisa ju ga mengganti peralatan produksi dengan yang hemat energi. Adanya pinalti dalam bentuk pajak karbon ini diharapkan akan mendorong kilang minyak mau memperbaiki cara produksinya.

    Berbeda dengan pajak karbon, ETS tidak menggunakan skema pinalti. Kilang minyak diberikan credit (kuota) CO2 sebesar 700 ribu ton per tahun. Kalau mereka menghasilkan CO2 sebesar 1 juta ton per tahun, mereka harus membeli kekurangan 300 ribu ton credit CO2 ke perusahaan lain yang punya tabungan CO2.

    Dengan cara ini, perdagangan antara yang membutuhkan kredit CO2 dan yang punya tabungan CO2 akan terjadi secara alami. Harga dari kredit CO2 ini akan bergantung supply dan demand atau bisa juga diatur oleh pemerintah.

    Kedua skema ini tentu punya kekurangan dan kelebihan. Dengan pajak karbon, dunia usaha tetap bisa berproduksi selama mam pu membayar kelebihan CO2 yang mereka produksikan. Kelemahannya, pajak ini akan dibebankan ke konsumen, sehingga harga produk akan jadi lebih mahal. Apakah konsumen mau dan sanggup membayar lebih?

    Kalau tidak sanggup dan demi menjaga harga produk tidak naik, kilang akan berproduksi sesuai dengan kuota karbon yang diperbolehkan. Persoalannya, jika produksi berku rang, sementara demand tetap atau naik, bukankah ini juga berpotensi menaikkan harga?

    Ibarat restoran Padang, kalau rending dikenakan pajak karbon untuk produksi rendang di atas 1 ton per tahun, suatu saat ketersedian rending di pasar akan berkurang. Akibatnya harga rendang akan naik. ETS punya potensi untuk tidak menaikkan harga produk kalau harga kredit CO2 yang diperdagangkan lagi murah. Namun demikian, dunia usaha tidak bisa berproduksi lebih apabila kredit CO2 sudah tidak tersedia lagi di pasar.

    Untuk lebih jelasnya mari kita kembali ke perumpamaan restoran Padang. Restoran A dan B punya kuota memasak rendang masing-masing 1 juta ton per tahun. Suatu saat restoran A dapat order banyak sehingga harus memasak rendang 1,5 juta ton.

    Bisakah restoran A memenuhi order ini? Tentu saja tidak, karena kelebihan order 0,5 juta ton. Untuk itu restoran A akan mengontak restoran B untuk membeli kuota yang mereka punya, kalau masih ada sisa. Kalau kuota yang tersedia banyak di pasaran, harganya akan murah sehingga berpotensi tidak menaikkan harga rendang. Tapi kalau kuota yang tersedia sedikit, harga rendang bisa jadi mahal sekali.

    Dapat dibayangkan kalau banyak negara belum menerapkan pajak karbon dan ETS, sementara ada Negara yang sudah atau akan memulainya. Apa konsekuensi yang mungkin terjadi?

    Pertama, harga produk di Negara yang sudah menerapkan akan lebih mahal. Impor produk sejenis dari Negara yang belum menerapkan pajak karbon atau ETS tadi akan semakin meningkat. Akibatnya daya saing dari perusahaan di negara yang menerapkan akan lemah. Jangan sampai kita impor rendang dari Negara tetangga karena mereka belum atau tidak mau menerapkan pajak karbon atau ETS.

    Kedua, kalau pajak karbon yang ditetapkan terlalu tinggi atau harga kuota karbon tidak terkontrol, akan banyak pengusaha yang tidak mau lagi berbisnis di bidang energi fosil. Sebenarnya inilah tujuan akhirnya. Tapi kebutuhan manusia akan energi fosil belum sepenuhnya dapat digantikan oleh energi terbarukan. Jangan-jangan suatu saat orang tidak mau lagi memasak rendang karena pajaknya yang tinggi, sementara rendang belum bisa digantikan sepenuhnya oleh makanan lain. Paling tidak untuk orang Minangkabau.

    Mungkinkah pajak karbon menjadi instrumen untuk mencari tamba han pemasukan suatu negara?

    Apakah ini sejalan dengan tujuan awal dari diusulkannya pajak karbon dan ETS? Hal ini layak untuk didisku sikan lebih lanjut. Akan semakin menarik jika pembahasan diperluas terhadap dampak pengenaan pajak karbon atau ETS di industri hulu migas.

    Sumber: https://investor.id/opinion/259186/penerapan-pajak -karbon-dan-skema-dagang-karbon-di-dunia

  • egbert

    Member
    18 August 2021 at 2:53 am
  • Mathias Brian

    Member
    18 August 2021 at 3:17 am

    indonesia akan mengimplementasikannya seperti apa ya?

  • rebarsteel

    Member
    18 August 2021 at 3:19 am

    sepertinya di indonesia masih belum tahu akan diterapkan seperti apa

  • Kevin William

    Member
    18 August 2021 at 3:21 am

    Mari kita tunggu saja peraturan resminya keluar

  • harind

    Member
    18 August 2021 at 6:38 am

    ditunggu

  • denwij33

    Member
    20 August 2021 at 3:19 am

    Bagaimana Pengalihan Energi Dilakukan?

    Oleh: Ndaru Anugerah

    “Bang, gimana mungkin peralihan energi bisa dilakukan dari bahan bakar hidrokarbon menjadi zero carbon, mengingat langkah ini bukan hal yang mudah?” tanya seorang netizen.

    Anda tahu BlackRock? Itu adalah perusahaan investasi raksasa di dunia. Akhir tahun lalu, BlackRock menciptakan infrastruktur bagi dunia investasi yang bakal berlaku secara global.

    Pada tataran teknis, suatu perusahaan akan dinilai keseriusannya pada masalah ESG alias environment, social values & governance. (https://www.cnbc.com/2020/12/16/blackrock-makes-c limate-change-central-to-investment-strategy-for-2 021.html)

    Misalnya sebuah perusahaan dinilai baik karena telah mempekerjakan karyawan dengan beragam ras dan juga mengambil tindakan yang mendukung program penggunaan energi hijau demi tata kelola berkelanjutan, maka sudah pasti perusahaan tersebut bakal dikasih green light untuk investor bisa masuk.

    Begitupun sebaliknya.

    Apa yang hendak disasar adalah investasi hijau yang tentu saja ‘berkelanjutan’. Dengan demikian rencana untuk mewujudkan agenda Hijau, dapat diwujudkan.

    Rencana ini bukan main-main.

    Di tahun 2013, Morgan Stanley selaku bank utama Wallstreet juga mendirikan Institut untuk Investasi Berkelanjutan. (https://www.morganstanley.com/press-releases/morg an-stanley-establishes-institute-for-sustainable-i nvesting_a2ea84d4-931a-4ae3-8dbd-c42f3a50cce0)

    Ini adalah cikal bakal berdirinya PCAF alias Komite Pengarah Kemitraan untuk Keuangan Akuntasi Karbon. “PCAF berkomitmen untuk membatasi pemanasan global dengan cara melakukan dekarbonisasi guna mencapai emisi nol karbon di tahun 2050.” (https://www.velaw.com/insights/partnership-for-ca rbon-accounting-financials-publishes-draft-global- carbon-accounting-standard/)

    Kalo bicara PCAF, ini bukan kaleng-kaleng. Ada lebih dari 100 bank internasional bernaung disana, dari mulai Citi Group, Barclays, ABN Amro, Lloyds Bank, hingga CIBC. (https://carbonaccountingfinancials.com/newsitem/p artnership-for-carbon-accounting-financials-pcaf-l aunches-uk-coalition)

    Pada Agustus 2020 silam, PCAF menerbitkan draft yang isinya menilai jejak karbon pada suatu perusahaan. Kalo profil perusahaan dinyatakan ‘hijau’ alias ramling, maka perusahaan itu bisa mengundang investor untuk berinvestasi. (https://www.velaw.com/insights/partnership-for-ca rbon-accounting-financials-publishes-draft-global- carbon-accounting-standard/)

    “Untuk mencapai nol bersih, kita membutuhkan transisi ekonomi secara keseluruhan…karenanya setiap perusahaan harus melaporkan emisi karbon yang dihasilkan pada perusahaan dimana mereka berinvestasi,” ungkap Mark Carney selaku konsultan PCAF. (https://carbonaccountingfinancials.com/newsitem/p artnership-for-carbon-accounting-financials-pcaf-l aunches-uk-coalition)

    Dengan adanya skema ini, maka arus investasi global akan mengarah ke perusahaan yang hijau dan ‘berkelanjutan’. Dan perusahaan minyak, gas dan batu bara, sudah pasti dijauhi investor mengingat mereka nggak mengusung tema ‘berkelanjutan’.

    Tidak hanya itu. Dalam bidang akuntansi perusahaan juga akan diaudit melalui skema SASB alias Dewan Standar Akuntansi Berkelanjutan. Jadi kalo akuntansi perusahaan anda dinilai tidak ‘hijau’ sudah pasti perusahaan anda bakalan dijauhi investor. (https://www.sasb.org/investor-use/supporters/)

    Luar biasa. Mengingat mereka statusnya bukan badan resmi dunia, tapi bisa menilai perusahaan dan juga negara dalam hal kontribusi karbon yang mereka hasilkan.

    Dengan kata lain, target proyek sang Ndoro besar ini akan menyasar perusahaan migas dan batubara, yang selama ini telah menjadi tulang punggung perekonomian dunia.

    Di tahun 2015 saja, sekitar 50 perusahaan migas terbesar di dunia telah mencatat pendapatan sekitar USD 5 trilyun. Kalo ini dihilangkan, apa yang akan terjadi kemudian? (http://ieefa.org/wp-content/uploads/2018/06/Finan cial-Stress-in-the-Oil-and-Gas-Industry.pdf)

    Apakah ini nggak berdampak pada konstelasi geopolitik dan geostrategis?

    Sekali lagi, jangan anda pikir proyek ini hanya main-main. Ini adalah cetak biru sang Ndoro besar, mengingat BlackRock adalah bagian dari kartel Wallstreet yang selama ini menjalankan perannya sebagai deep-state.

    Dan benar saja, pada konferensi energi baru-baru ini, para investor mengarahkan pandangannya kemanapun BlackRock melenggang. (https://oilprice.com/Energy/Energy-General/Why-Ar e-Investors-Turning-Their-Backs-On-Fossil-Fuel-Pro jects.html)

    Bahkan Administrasi Biden sendiri telah menepati janji kampanyenya untuk menghentikan minyak dan gas dengan melarang sewa baru di tanah milik pemerintah Federal dan juga daerah lepas pantai serta jalur pipa minyak Keystone. (https://www.worldoil.com/news/2021/1/21/biden-pre pares-to-end-new-oil-and-coal-leases-on-federal-la nd)

    Dengan ini semua, maka nggak akan ada investor yang mau berinvestasi di bidang migas karena dianggap masuk dalam daftar negatif investasi. Nah kalo begini ceritanya, apa mungkin sekelas perusahaan migas bonafide sekalipun bisa produksi migas?

    Akibatnya akan ada kelangkaan migas. Ujung-ujungnya harga migas akan meroket.

    Kondisi ini diperburuk dengan adanya pajak karbon yang menyasar perusahaan yang memproduksi energi berbahan fosil. Makin mahal-lah harga migas di pasaran, nantinya.

    Efek domino yang mungkin terjadi adalah perusahaan manufaktur akan tergerus, dan orang nggak mungkin bepergian dengan menggunakan moda transportasi dan kendaraan pribadi, mengingat harga minyak sudah nggak terjangkau.

    Inilah rencana The Great Reset dan The Great Zero Carbon yang sesungguhnya. (baca disini, disini, disini, disini, disini dan disini)

    Kalo anda mau lihat bagaimana skenari mikro-nya, silakan anda tilik apa yang terjadi di Texas sana, saat badai salju menghantam wilayah tersebut pada awal tahun ini? Apa yang menyebabkan harga gas menjadi demikian mahalnya? (baca disini)

    Sebagai penutup, Dr. Otmar Edenhofer selaku ketua Woking Group 3 pada Intergovernmental Panel on Climate Change PBB, pernah ngomong begini di tahun 2010:

    “Kami (akan) mendistribusikan kembali kekayaan dunia melalui kebijakan iklim. Dan kebijakan iklim internasional hampir nggak ada hubungannya dengan kebijakan lingkungan.” (https://wattsupwiththat.com/2010/11/18/ipcc-offic ial-climate-policy-is-redistributing-the-worlds-we alth/)

    Kalo sudah begini, redistribusi mungkin nggak sih menyasar orang tak berpunya?

    Lalu, apakah The Great Reset milik Prof. Klaus Schwab adalah program baru?

    Sumber : https://ndaruanugerah.com/bagaimana-pengalihan-ene rgi-dilakukan/

  • denwij33

    Member
    20 August 2021 at 3:22 am

    Dampak Tragis Kebijakan Konyol

    Oleh: Ndaru Anugerah

    Cuaca dingin menghantam Texas pada minggu lalu yang mengakibatkan kerusakan serius di seluruh negara bagian tersebut.

    Akibat rusaknya jaringan energi, membuat jutaan rakyat Texas mengalami krisis energi selama berhari-hari. Sedikitnya 30 orang tewas dipicu oleh peristiwa tersebut. (https://www.cbc.ca/news/world/us-storm-texas-powe r-winter-1.5917588)

    Krisis energi? Kok bisa? Mengingat Texas adalah bagian dari Amerika Serikat yang merupakan negara maju dan bukan negara berkembang.

    Tentu bisa. Karena salah penerapan kebijakan yang diambil Gubernur Greg Abbott.

    Seperti yang kita ketahui bersama, Abbott buat 2 kebijakan super penting pada negara bagian yang dipimpinnya. Pertama mengganti energi hidrokarbon ke energi hijau, dan kedua kebijakan pembatasan ekstra ketat guna menanggulangi Kopit.

    Atas kebijakan pertama, Abbott berhasil memenangkan penghargaan karena upayanya memakai energi ‘terbarukan’ seperti matahari dan angin. (https://www.prnewswire.com/news-releases/texas-go v-greg-abbott-receives-tri-global-energys-wind-lea dership-award-301225238.html)

    Namun, kalo kondisi musim dingin, akan sulit mendapatkan energi dari matahari dan angin. Akibatnya krisis energi terjadi dan Texas jadi ‘membeku’. Lha pasokan energinya darimana?

    Selain itu, aturan emisi federal memaksa Texas untuk minta izin kepada Washington guna meminta energi tambahan. Dan ini butuh waktu yang agak lama. Ini juga yang menyebabkan krisis energi makin memburuk di Texas. (https://www.washingtonpost.com/nation/2021/02/17/ texas-abbott-wind-turbines-outages/)

    Jelas kebijakan energi terbarukan bukan solusi yang feasibel untuk menyediakan energi yang layak bagi semua. Yang ada krisis energi bakalan terjadi. (baca disini)

    Ini diperburuk oleh kebijakan kedua yang diambil Abbott yaitu pembatasan ekstra ketat guna menanggulangi Kopit. Akibat kebijakan tersebut, maka orang malas untuk keluar daripada kena sanksi.

    Efeknya, inspeksi dan pemeliharaan pada pembangkit tenaga angin dan pembangkit energi lainnya tidak dilakukan oleh petugas berwenang. Dan orang lebih memilih untuk kerja dari rumah dengan gaya online. (https://www.county.org/Legal/Legal-Resources-for- County-COVID-19-Response)

    Klop sudah.

    Kebijakan konyol diterapkan, akibatnya rakyat yang jadi korban.

    Padahal kalo Abbott mau berkaca pada negara bagian Florida, misalnya, yang telah mengubah arah kebijakan dengan melakukan bukaan secara berkala, mungkin kasusnya akan berbeda.

    Dan Gubenur Florida, Ron DeSantis terpaksa melakukan langkah bukaan kembali, karena lockdown dan kebijakan turunannya nggak efektif dalam menurunkan angka penyebaran virus. (https://www.clickorlando.com/news/local/2020/09/2 5/florida-moving-to-phase-3-of-coronavirus-reopeni ng-restaurants-can-operate-at-full-capacity/)

    Orang bijak akan berkaca pada pengalaman, bukan?

    Sumber : https://ndaruanugerah.com/dampak-tragis-kebijakan- konyol/

  • denwij33

    Member
    20 August 2021 at 3:33 am

    Ketika Agenda Besar Dimentahkan

    Oleh: Ndaru Anugerah

    Apa yang lebih menakutkan ketimbang plandemi si Kopit menurut kartel Ndoro besar?

    Jawabannya: perubahan iklim yang dipicu oleh pemanasan global akibat penggunaan bahan bakar berbahan fosil. (https://www.cnbc.com/2021/01/08/bill-gates-climat e-change-could-be-worse-than-covid-19.html)

    Pernyataan ini kemudian diamplifikasi oleh para kaki tangan sang Ndoro yang ada di kolong jagat, bahwa memang benar perubahan iklim jauh lebih menakutkan ketimbang si Kopit.

    Kesimpulan yang dibuat oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB juga secara gamblang menyatakan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi karbon dioksida, adalah bencana menakutkan yang mengancam dunia saat ini. (https://www.ipcc.ch/pdf/special-reports/sr15/sr15 _spm_final.pdf)

    Bahkan menkeu Wakanda (yang katanya sebagai espege Bretton Woods) juga mengatakan hal yang sama, bahwa pemanasan global bakal menjadi skenario yang mengerikan. (https://jakartaveganguide.com/post/vegan-buzz/sri -mulyani-warns-us-about-greater-threat-than-covid- 19/244)

    Masalahnya, apa memang demikian adanya?

    Disini uniknya.

    Baru-baru ini, puluhan fisikawan dan ilmuwan iklim top dunia mengklaim bahwa laporan iklim yang dibuat IPCC diambil berdasarkan simpulan sempit penulisnya yang mengacu pada kumpulan data yang sempit dan tidak representatif.

    Maksudnya?

    Jika kumpulan datanya kredibel, maka akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda tentang ancaman pemanasan global yang diklaim disebabkan oleh aktivitas manusia.

    Lalu apa kata para ilmuwan tersebut?

    “Matahari-lah dan bukan emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh aktivitas manusia yang mungkin menyebabkan suhu udara menjadi lebih panas selama beberapa dekade terakhir,” begitu kurleb-nya. (http://www.raa-journal.org/raa/index.php/raa/arti cle/view/4920/6080)

    Laporan para ilmuwan iklim tersebut tertuang dalam makalah yang sudah dilakukan proses peer-review alias tinjauan rekan sejawat. Jadi kesahihannya, nggak perlu dipertanyakan.

    “Penelitian yang dilakukan sebelumnya (IPCC) tidak mempertimbangkan peran penting energi matahari dalam menjelaskan peningkatan suhu di bumi,” demikian pungkasnya.

    Sontak, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ronan Connolly dan rekan-rekannya tersebut langsung buat geger publik dunia.

    Bagaimana nggak?

    Karena hasil penelitian tersebut dirilis tak lama setelah IPCC menerbitkan laporan ke-enamnya yang dikenal dengan istilah AR6, yang pada intinya mendukung pandangan bahwa emisi C02 manusia-lah yang disalahkan atas pemanasan global. (https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg1/)

    Dan studi terbaru tersebut malah mementahkan hipotesis yang dibuat oleh lembaga kepanjangan tangan sang Ndoro besar, dengan mengatakan bahwa kesimpulan yang dibuat IPCC terlalu prematur sifatnya karena nggak didukung data yang valid.

    “Mereka hanya mengambil data dan studi yang pada gilirannya mendukung narasi yang mereka kembangkan,” demikian ungkap Dr. Connolly. (https://www.theepochtimes.com/challenging-un-stud y-finds-sun-not-co2-may-be-behind-global-warming_3 950089.html)

    Tindakan ini sangat berani.

    Kenapa?

    Karena secara langsung menghantam program besar sang Ndoro besar tentang The Great Zero Carbon. (baca disini, disini dan disini)

    Padahal, muara dari plandemi Kopit ini salah satunya adalah terciptanya tatanan dunia baru yang BERKELANJUTAN, dimana salah satu klausulnya adalah menghilangkan penggunaan energi berbahan bakar fosil, dan digantikan dengan sumber energi terbarukan.

    Dengan adanya hasil penelitian yang bukan kaleng-kaleng tersebut, maka secara nggak langsung meragukan klaim sepihak yang dibuat oleh kartel Ndoro besar, bahwa yang buat suhu bumi meningkat itu bukan karbon dioksida, melainkan matahari.

    Ini paralel dengan temuan Prof. Valentina Zharkova dari Northumbria University, Inggris yang menyatakan bahwa siklus matahari-lah yang menyebabkan suhu permukaan bumi berubah secara drastis. (https://watchers.news/2020/09/02/zharkova-study-m odern-grand-solar-minimum-2020-2053/)

    Kebayang nggak apa yang akan terjadi saat transformasi energi dilakukan secara global (dengan memakai sumber energi terbarukan), ternyata bukanlah karbon dioksida penyebab pemanasan suhu bumi, namun matahari.

    Masalah tambah runyam kalo suhu permukaan bumi bukannya memanas melainkan mengalami pendinginan, seperti yang diprediksi oleh Prof. Zharkova.

    Kok runyam?

    Karena sumber energi terbarukan tersebut, nggak akan cukup menghasilkan energi yang diperlukan bagi populasi manusia di dunia.

    Singkatnya, akan ada krisis energi secara global akibat peralihan tersebut.

    Bagaimana gawatnya masalah ini. Suhu bumi bukannya naik seperti yang diprediksi IPCC tapi malah menukik drastis. Di sisi yang lain, energi ‘pengganti’ nggak cukup untuk mengcover-nya.

    Ngeri-ngeri sedap membayangkannya.

    Sumber : https://ndaruanugerah.com/ketika-agenda-besar-dime ntahkan/

  • denwij33

    Member
    20 August 2021 at 3:37 am

    Bersiap Untuk Grand Solar Minimum

    Oleh: Ndaru Anugerah

    Bertepatan dengan Hari Valentine tahun ini, Texas dihantam badai es yang mencapai -20° C. Dampak langsung yang terjadi adalah sekitar 15 juta warga Texas hidup tanpa pemanas dan listrik karena hampir separuh unit pembangkit listrik tenaga angin membeku dan nggak bisa beroperasi.

    Dengan sekitar 25% jaringan listrik di negara tersebut yang berasal dari tenaga angin, makin memperburuk situasi yang ada.

    Karena bingung menanggapi situasi saat itu, sebagian warga beralih ke gas sebagai sumber pemanas di rumah.

    Namun karena diburu, harga gas melonjak tajam, dari harga semula USD 30 menjadi USD 9000 per mega-watt hour. Lonjakannya hampir mencapai 4000%. Fantastik. (https://www.thestreet.com/mishtalk/economics/the- wholesale-price-of-electricity-spikes-10000-in-tex as-power-outage)

    Tentang bencana ini saya pernah bahas sebelumnya. (baca disini)

    Ini ironis, mengingat Texas adalah pusat produksi minyak di AS. Kok bisa krisis energi?

    Jangan heran, karena ini ulah kebijakan konyol Gubernur Texas yang beralih ke energi ‘hijau’. Akibatnya produksi minyak di Texas diturunkan hingga hanya sepertiga saja, dan sekitar 20 kilang minyak di Gulf Coast ditutup. (https://www.reuters.com/article/us-energy-texas-w eather-idUSKBN2AF1QV)

    Bahkan pembangkit listrik semisal batubatara sudah ditutup sejak 2018 lalu. (https://www.houstonchronicle.com/business/columni sts/tomlinson/article/Texas-electric-grid-did-just -fine-without-13229492.php)

    Dengan hilangnya sumber energi alternatif, maka kalo hanya mengandalkan energi ‘terbarukan’, jelas nggak akan cukup alias bakal krisis energi. Dan ini akan terjadi lagi ke depannya kalo kebijakan enegri ‘terbarukan’ secara letterlijk terus diterapkan.

    Ini bukan mengada-ada, karena para pendukung energi ‘hijau’ mati-matian menuding bahwa penyebab rusaknya dunia adalah karena bahan bakar hidrokarbon yang meninggalkan jejak karbon. Padahal, teori yang diusung oleh Maurice Strong tersebut sangat meragukan. (https://www.americanexperiment.org/2021/02/texas- winter-weather-iced-wind-turbines-and-rolling-blac kouts/)

    Seperti yang kita ketahui bersama, saat ini dunia mulai berinvestasi secara besar-besaran ke energi ‘hijau’ guna menciptakan status zero carbon di tahun 2030 nanti sesuai amanat PBB. Dan pada 2050, semua energi sudah beralih sepenuhnya ke tenaga surya dan angin. (https://sdg.iisd.org/news/77-countries-100-cities -commit-to-net-zero-carbon-emissions-by-2050-at-cl imate-summit/)

    Dengan beralihnya ke energi terbarukan, maka dunia diharapkan akan bebas dari gas rumah kaca yang dituding sebagai biang kerok pemanasan global.

    Apa iya pemodelan yang banyak digadang-gadang oleh ilmuwan iklim bahwa kenaikan suhu di bumi bersifat linier dengan peningkatan emisi CO2 yang dihasilkan oleh bahan bakar hidrokarbon?

    Nyatanya tidak. Justru yang banyak berpengaruh terhadap peningkatan suhu di bumi adalah siklus matahari. Dan emisi CO2 tidak mendorong terjadinya siklus tersebut.

    Lantas apa itu siklus matahari?

    Siklus matahari adalah siklus medan magnet matahari yang mempengaruhi aktivitas permukaan di matahari, seperti bintik matahari. Dan biasanya siklus ini memiliki putaran pendek selama 11 tahun. (https://spaceplace.nasa.gov/solar-cycles/en/)

    NASA menyatakan bahwa planet bumi baru saja memasuki siklus matahari yang baru, yang dikenal sebagai Siklus 25, yang dimulai sejak 2020 lalu.

    Satu yang perlu dicatat, bahwa siklus kali ini merupakan siklus terlemah dalam 200 tahun terakhir. (https://www.nasa.gov/feature/ames/solar-activity- forecast-for-next-decade-favorable-for-exploration )

    Siklus lemah model gini pernah terjadi sebelumnya di tahun 1790 hingga 1830 yang dikenal sebagai Dalton Minimun alias Modern Minimum, dimana suhu bumi anjlik dengan drastis. (https://link.springer.com/article/10.1007/s00382- 005-0053-0)

    Menurut para ahli, Dalton Minimum biasanya memicu serangkaian letusan gunung api besar. Salah satunya adalah Gunung Tambora yang ada di Indonesia yang meletus pada 1815. Letusan tersebut berhasil membentuk kepadatan awan dari abu yang dimuntahkannya. (https://www.smithsonianmag.com/history/blast-from -the-past-65102374/)

    Ini bisa terjadi karena dengan adanya penurunan magnestofer yang terkait matahari, maka arus masuk radiasi kosmik matahari yang lebih kuat dapat menembus gunung berapi yang kaya silika.

    Walhasil, Eropa tertutup kabut awan dari abu Tambora di tahun 1816 yang menyebabkan benua Eropa tak mengenal musim panas pada tahun itu. (https://pubs.giss.nasa.gov/abs/st07500u.html)

    Di AS kondisinya juga nggak kalah parah, karena di New York salju justru turun pada musim panas 1816, yang menyebabkan gagal panen luar biasa dan memicu kelaparan massal. (https://www.almanac.com/extra/year-without-summer )

    Sedangkan di India, musim panas jadi tertunda dan mengakibatkan hujan lebat. Dan ini memperburuk wabah kolera yang terjadi di negara tersebut. (https://coldweatheressentials.com/what-happened-l ast-cold-period-dalton-minimum/)

    Dengan demikian, jika prediksi NASA tepat, dunia harus bersiap untuk menghadapi perubahan iklim berupa turunnya suhu permukaan bumi secara drastis. Dan kasus di Texas, hanya merupakan menu pembuka menuju ‘hidangan utama’.

    Ini selaras dengan temuan Prof. Valentina Zharkova dari Northumbria University, Inggris yang menyatakan bahwa penelitian yang dibuat oleh timnya menghasilkan kondisi terekstrim pada bumi yang disebut sebagai Maunder Minimum. Ini pernah terjadi pada periode 1645 – 1710.

    Jika demikian adanya, ini lebih buruk lagi situasinya, karena akan mengarah pada terciptanya Grand Solar Minimum (GSM), dimana suhu permukaan bumi akan sangat rendah. (https://watchers.news/2020/09/02/zharkova-study-m odern-grand-solar-minimum-2020-2053/)

    Penelitian Prof. Zharkova memperkirakan periode GSM akan terjadi mulai 2020 hingga 2053 nanti. (https://watchers.news/2020/09/02/zharkova-study-m odern-grand-solar-minimum-2020-2053/)

    Dengan adanya fenomena GSM, maka radiasi matahari total akan sangat berkurang, dan dampaknya bumi akan mengalami musim dingin yang parah.

    Bukan itu saja, GSM juga akan memicu serangkaian ledakan gunung berapi besar dan memicu banjir bandang, badai es, dan juga curah hujan sangat tinggi yang berlangsung lama. (https://abruptearthchanges.com/2018/01/14/climate -change-grand-solar-minimum-and-cosmic-rays/)

    Coba perhatikan letusan gunung yang ada di Lewotolo dan Semeru yang terjadi tepat pada awal GSM di 2020 lalu.

    Bisa dikatakan, cuaca ekstrim akan meningkat hari-hari ke depannya. Dan itu bukan gas rumah kaca penyebabnya, tapi siklus matahari. (https://electroverse.net/recap-the-changing-jet-s tream-and-global-cooling/)

    Coba bayangkan apa yang bakalan terjadi pada bumi.

    Disaat semua negara berlomba-lomba berinvestasi untim proyek zero carbon, sementara siklus matahari justru akan membuat bumi turun temperaturnya secara drastis dan menyebabkan serangkaian bencana alam dan gagal panen.

    Bukankah kelaparan dan krisis energi jadi bencana yang menakutkan ke depannya?

    Sumber : https://ndaruanugerah.com/bersiap-untuk-grand-sola r-minimum/

Viewing 1 - 10 of 10 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now