Media Komunitas Perpajakan Indonesia Forums Bahas Berita Alasan Struktur Pajak Indonesia Harus Dibalik

  • Alasan Struktur Pajak Indonesia Harus Dibalik

     ivandharmadi updated 5 years, 2 months ago 12 Members · 16 Posts
  • kenway

    Member
    24 January 2019 at 9:32 am
  • kenway

    Member
    24 January 2019 at 9:32 am

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, penarikan pajak pribadi atau PPh 21 masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Sebab, menurut data yang diolah CITA, jumlahnya masih jauh di bawah Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/ PPnBm, PPh 25/29 Badan dan PPh Final.

    Pada 2015, Yustinus mengatakan, tercatat PPh 21 berkontribusi 10,80 persen dari total pendapatan pajak. Sedangkan, PPN mencapai 39 persen, PPh 25/29 badan sekitar 17 persen dan PPh Final 11,29 persen.
    Kondisi tersebut berbeda dengan di Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang diisi negara maju. "Di sana, justru PPh pribadi paling tinggi," ujarnya ketika dihubungi Republika, Rabu (23/1).

    Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa masih terjadi ketimpangan antara perlakuan terhadap masyarakat atas dan seluruh lapisan masyarakat. Pasalnya, PPN dibebankan kepada semua masyarakat tanpa mengenal kelas.

    Menurut Yustinus, apabila ingin adil, kontribusi PPh pribadi harus berada di atas yang lain. Permasalahan Indonesia saat ini adalah bagaimana membalik struktur perpajakan yang ada.

    Tujuan membalik struktur pajak ini agar orang yang lebih mampu membayar pajak lebih besar dibandingkan orang tidak mampu. Cara ini diyakini Yustinus dapat menjadi solusi permasalahan ketimpangan yang terus menjadi isu nasional maupun dunia.

    Meski data diambil tiga tahun lalu, Yustinus mengatakan, proporsi pajak di Indonesia tidak berbeda jauh. Sebab, belum ada kebijakan signifikan dari pemerintah yang mampu meningkatkan proporsi PPh pribadi dibandingkan PPN ataupun PPh badan.

    Proporsi PPh pribadi yang rendah di Indonesia bukan tanpa sebab. Menurut Yustinus, selama ini, masyarakat kelas atas memiliki insentif untuk menyembunyikan kekayaan, berbeda dengan karyawan. "Orang kaya bisa memindahkan aset ke luar negeri, sehingga tidak dibebani pajak besar di sini," ucapnya.

    Penyebab lainnya, PPh individu hanya terdiri dari empat layer tarif. Yakni, hingga Rp 50 juta per tahun, Rp 50 juta-Rp 250 juta per tahun, Rp 250 juta-Rp 500 juta dan di atas Rp 500 juta. Menurut Yustinus, empat layer tersebut tidak cukup progresif untuk mencapai tahap keadilan yang maksimum.

    Dengan empat layer dan jeda yang sempit, Yustinus menilai, tidak akan mendorong pemerataan. Sebab, tarif tertinggi justru diterapkan pada mereka dengan lapisan penghasilan yang melebihi Rp 500 juta.
    Yustinus mendorong agar pemerintah dapat membuat kebijakan pajak lebih progresif guna memproteksi kelas menengah dengan memperluas bracket. "Di Amerika saja, layernya bisa sampai tujuh," tuturnya.

    Selain itu, Yustinus merekomendasikan pemerintah untuk meniru sistem pajak warisan (Inheritance Tax), seperti yang diaplikasikan Jepang. Di sana, pemerintah menerapkan tarif pajak 10 hingga 70 persen atas warisan dari orang tua kepada anaknya.

    Yustinus mengatakan, tidak sepantasnya, orang turun-temurun memiliki kekayaan karena akan menyebabkan ketimpangan semakin tinggi. "Oleh karena itu, negara berhak mengambil kekayaan itu untuk diredistribusikan kepada kelompok yang kurang mampu," ujarnya.

    Sebelumnya, laporan Oxfam bertajuk 'Public Good or Private Wealth' yang dirilis pada Senin (21/1) menunjukkan kesenjangan yang semakin besar antara kaya dengan miskin. Laporan itu diluncurkan ketika para pemimpin politik dan bisnis berkumpul dalam World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss.

    Laporan menunjukkan, kekayaan miliarder meningkat sebesar 12 persen dibanding dengan tahun lalu atau 2,5 miliar dolar AS per hari. Sedangkan, 3,8 miliar orang yang tergolong dalam kategori miskin mengalami penurunan kekayaan hingga 11 persen.

    Laporan Oxfam mengungkapkan, bagaimana pemerintah memperburuk ketidaksetaraan dengan menyediakan dana terbatas untuk pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, pemerintah gagal meningkatkan pembayaran pajak untuk orang kaya maupun perusahaan besar. Ditemukan juga, perempuan dan anak perempuan menjadi pihak paling terpukul akibat peningkatan ketidaksetaraan ekonomi ini.

    Sumber: https://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/19 /01/23/pls96d383-struktur-pajak-indonesia-harus-di balik-ini-alasannya

  • zulkarnaen abdul hannan

    Member
    24 January 2019 at 9:42 am

    setuju saya ini..struktur yg ideal memang mestinya PPh 21 OP paling tidak bisa
    mengambil range 20-25%. dari total prosentase penerimaan pajak.

    salah satu yg luput dari pengamatan di atas adalah adanya penyamarataan tarif PTKP seluruh indonesia, padahal tiap daerah atau zona di Indonesia UMP/UMK berbeda2.

  • berliana_savari

    Member
    24 January 2019 at 10:09 am

    begitu yaaa, tidak fair ternyata penerimaan pajak pph 21. harusnya orang kaya yg lebih banyak bayar pajak. tp realita tida[b][/b]k seperti itu.
    yang kaya semakin kaya, miskin semakin miskin.

  • indraindra796

    Member
    24 January 2019 at 4:13 pm
    Originaly posted by kenway:

    Selain itu, Yustinus merekomendasikan pemerintah untuk meniru sistem pajak warisan (Inheritance Tax), seperti yang diaplikasikan Jepang. Di sana, pemerintah menerapkan tarif pajak 10 hingga 70 persen atas warisan dari orang tua kepada anaknya.

    Yustinus mengatakan, tidak sepantasnya, orang turun-temurun memiliki kekayaan karena akan menyebabkan ketimpangan semakin tinggi. "Oleh karena itu, negara berhak mengambil kekayaan itu untuk diredistribusikan kepada kelompok yang kurang mampu," ujarnya.

    Saya sangat tidak setuju. Apa yang salah dengan orang tua yang mewariskan kepada keturunannya?
    Kelompok yang kurang mampu harus introspeksi diri , kalau tidak ada kemampuan ekonomi jangan berkeluarga.

  • Nururu Fuda

    Member
    25 January 2019 at 8:31 am
    Originaly posted by indraindra796:

    Kelompok yang kurang mampu harus introspeksi diri , kalau tidak ada kemampuan ekonomi jangan berkeluarga.

    Saya sangat tidak setuju. Hak berkeluarga sangat tidak ada korelasinya dengan kemampuan ekonomi.

  • jujusbalak

    Member
    25 January 2019 at 8:41 am

    Self asessment kita saja diganti jadi official asessment. Mengandalkan self assesment susah, orang indonesia banyak yang tidak jujur.

    kalau official asessment, memang awalnya sulit, ditambah bank data di pajak masih kurang. dan pasti banyak WP yang shock begitu lihat pajak mereka di awalnya, tapi akan meancing WP untuk lebih aware dengan kewajibannya.

  • S@NT@ CL@USE

    Member
    25 January 2019 at 9:15 am
    Originaly posted by jujusbalak:

    kalau official asessment, memang awalnya sulit, ditambah bank data di pajak masih kurang. dan pasti banyak WP yang shock begitu lihat pajak mereka di awalnya, tapi akan meancing WP untuk lebih aware dengan kewajibannya.

    kalau ini bisa asal2an fiskus bikinnya.. yang bukan penghasilan tapi malah dmasukin kompenen penghasilan karena mungkin di rekening banknya itu hanya uang titipan. bisa2 banyak gugatan dan pst banyak WP yang dirugikan

  • indraindra796

    Member
    25 January 2019 at 9:18 am
    Originaly posted by nururu fuda:

    Saya sangat tidak setuju. Hak berkeluarga sangat tidak ada korelasinya dengan kemampuan ekonomi.

    Kalau begitu jangan menggunakan tangan pemerintah untuk memeras duit orang kaya dengan dalih pemerataan. Jangan mengemis ke orang kaya untuk ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup kaum yang tidak mampu.

  • Luckyboy86

    Member
    25 January 2019 at 9:20 am

    Saya tidak setuju dengan pola pikir terbalik ini..
    Seharusnya bila pajak sudah dalam hitungan persentase, maka penghasilan yang besar sudah otomatis pajak yang dikenakan juga jadi besar.
    Ingin meningkatkan kepatuhan wajib pajak? Ingin investasi dan perekonomian berkembang lebih pesat? Terapkan PPh yang terjangkau wajib pajak. Misalnya PPh 5% tarif tetap.

    Bila si miskin penghasilan 5juta x 5%, bayar pajak 250.000.
    Bila si kaya penghasilan 50juta x 5%, bayar pajak 5.000.000.

    Namun, penghasilan si miskin dibawah PTKP, jadi tidak kena pajak.
    Si kaya akan patuh dan tidak investasi ke luar negeri, ekonomi kita bisa berjalan pesat. Perhitungan pajak jadi mudah, gak pakai ribet.

    Harta warisan kena pajak?
    Otomatis pemerintah mendorong orang malas untuk bekerja, karena ujung-ujungnya diambil balik. Ini namanya merampok hasil jerih payah kita.
    Negara seharusnya meningkatkan kemakmuran rakyat, bukan merampok.

  • Luckyboy86

    Member
    25 January 2019 at 9:23 am

    Revisi
    Saya tidak setuju dengan pola pikir terbalik ini..
    Seharusnya bila pajak sudah dalam hitungan persentase, maka penghasilan yang besar sudah otomatis pajak yang dikenakan juga jadi besar.
    Ingin meningkatkan kepatuhan wajib pajak? Ingin investasi dan perekonomian berkembang lebih pesat? Terapkan PPh yang terjangkau wajib pajak. Misalnya PPh 5% tarif tetap.

    Bila si miskin penghasilan 5juta x 5%, bayar pajak 250.000.
    Bila si kaya penghasilan 50juta x 5%, bayar pajak 2.500.000.

    Namun, penghasilan si miskin dibawah PTKP, jadi tidak kena pajak.
    Si kaya akan patuh dan tidak investasi ke luar negeri, ekonomi kita bisa berjalan pesat. Perhitungan pajak jadi mudah, gak pakai ribet.

    Harta warisan kena pajak?
    Otomatis pemerintah mendorong orang malas untuk bekerja, karena ujung-ujungnya diambil balik. Ini namanya merampok hasil jerih payah kita.
    Negara seharusnya meningkatkan kemakmuran rakyat, bukan merampok

  • indraindra796

    Member
    25 January 2019 at 10:50 am
    Originaly posted by Luckyboy86:

    Harta warisan kena pajak?
    Otomatis pemerintah mendorong orang malas untuk bekerja, karena ujung-ujungnya diambil balik. Ini namanya merampok hasil jerih payah kita.
    Negara seharusnya meningkatkan kemakmuran rakyat, bukan merampok

    Setuju Bos,,,, ini baru komen yang fair.
    Masak kita yang kerja yang nikmati anak cucu orang lain
    Gimana urusannya…..

  • bprawisda

    Member
    25 January 2019 at 1:14 pm

    Setuju banget nih…masa warisan, hasil kerja keras, mau seakan-akan diambil oleh negara juga, ngga fair donk klo gitu…

  • Anonymous

    Deleted User
    25 January 2019 at 4:42 pm
    Originaly posted by S@NT@ CL@USE:

    kalau ini bisa asal2an fiskus bikinnya.. yang bukan penghasilan tapi malah dmasukin kompenen penghasilan karena mungkin di rekening banknya itu hanya uang titipan. bisa2 banyak gugatan dan pst banyak WP yang dirugikan

    iya betul, karena dari pengalaman pemeriksaan saja sudah kelihatan. fiskus itu seperti apa. . . terkadang menjebak padahal sudah tau wp benar.

    Originaly posted by Luckyboy86:

    Revisi
    Saya tidak setuju dengan pola pikir terbalik ini..
    Seharusnya bila pajak sudah dalam hitungan persentase, maka penghasilan yang besar sudah otomatis pajak yang dikenakan juga jadi besar.
    Ingin meningkatkan kepatuhan wajib pajak? Ingin investasi dan perekonomian berkembang lebih pesat? Terapkan PPh yang terjangkau wajib pajak. Misalnya PPh 5% tarif tetap.

    Bila si miskin penghasilan 5juta x 5%, bayar pajak 250.000.
    Bila si kaya penghasilan 50juta x 5%, bayar pajak 2.500.000.

    Namun, penghasilan si miskin dibawah PTKP, jadi tidak kena pajak.
    Si kaya akan patuh dan tidak investasi ke luar negeri, ekonomi kita bisa berjalan pesat. Perhitungan pajak jadi mudah, gak pakai ribet.

    Harta warisan kena pajak?
    Otomatis pemerintah mendorong orang malas untuk bekerja, karena ujung-ujungnya diambil balik. Ini namanya merampok hasil jerih payah kita.
    Negara seharusnya meningkatkan kemakmuran rakyat, bukan merampok

    iya kalau warisan dipajakin seperti doble pajak dong, karena kan ketika perolehan penghasilan utk membeli harta tersebutkan sebelumnya juga sudah dipajakin. .
    betul, , Harusnya berpikir cara memakmurkan rakyat. kalau rakyat makmur juga pajak akan ikut meningkat. bukan hanya terus mengejar target pajak dengan mengubah aturan/tarifnya. . .

  • ivandharmadi

    Member
    26 January 2019 at 11:11 pm

    Kalau menurut pemikiran saya, seharusnya jeda layer tarif pajak diperlebar, contoh :

    s/d 50jt dinaikan menjadi s/d75jt tarif 5%
    50jt – 250jt dinaikan menjadi 75jt – 300jt tarif 15%
    250jt – 500jt dinaikan menjadi 300jt – 600jt tarif 25%
    diatas 500jt dinaikan menjadi diatas 600jt tarif 30%

    atau mungkin bisa ditambahkan layernya atau utk layer tertinggi diubah tarif pajaknya…tapi tentunya banyak yg harus dipertimbangkan oleh pemerintah….

Viewing 1 - 15 of 16 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now