Pendahuluan Dalam artikel sebelumnya yang berjudul “Pemotongan PPh Atas Pembayaran Imbalan Jasa Kepada BUT Yang Tidak Memiliki NPWP” (ORTax, 5 Agustus 2011), penulis mengemukakan bahwa persyaratan memiliki NPWP bukanlah penentu timbul tidaknya suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau permanent establishment (PE) di Indonesia. Jadi dalam hal pelaksanaan suatu pemberian jasa oleh perusahaan luar negeri di Indonesia telah melampaui jangka waktu tertentu (time test) baik menurut tax treaty ataupun menurut UU PPh dalam hal tax treaty tidak dapat diberlakukan karena tidak terdapat Surat Keterangan Domisili maupun karena perusahaan pemberi jasa tersebut berasal dari negara dimana Indonesia tidak menandatangani tax treaty, maka kegiatan tersebut akan tetap dianggap menimbulkan adanya BUT di Indonesia terlepas dari apakah perusahaan tersebut memiliki NPWP atau tidak. Penentuan timbul tidaknya BUT dari suatu kegiatan pemberian jasa oleh perusahaan luar negeri adalah terkait dengan perlakuan pemajakannya. Tulisan ini masih menyoroti pemajakan atas pembayaran imbalan jasa kepada BUT yang tidak memiliki NPWP tetapi dari aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). BUT Sebagai Pengusaha Kena Pajak Pasal 1 angka 15 UU Nomor 42 Tahun 2009 (untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut dengan UU PPN) serta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 pasal 1 angka 3 mendefinisikan Pengusaha Kena Pajak sebagai pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN. Pengertian pengusaha itu sendiri berdasarkan pasal 1 angka 14 UU PPN dan pasal 1 angka 2 PP Nomor 1 Tahun 2012 adalah merupakan orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Selanjutnya pengertian Badan menurut pasal 1 angka 13 UU PPN dan penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah mencakup Bentuk Usaha Tetap. Sebagai yang termasuk dalam pengertian Badan, meskipun merupakan Subjek Pajak Luar Negeri, apabila BUT melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean, maka BUT tersebut diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, memungut pajak yang terutang, menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan melaporkan dalam SPT Masa PPN. Hal ini diatur dalam pasal 3A ayat (1) UU PPN serta penjelasannya. Pengecualian diberikan bagi Pengusaha Kecil yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600 juta sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN dinyatakan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan. Perlakuan PPN Atas Penyerahan Jasa Oleh BUT Yang Tidak Memiliki NPWP Penulis mengungkapkan dalam artikel terdahulu bahwa dalam praktik sering timbul permasalahan ketika Wajib Pajak Dalam Negeri melakukan pembayaran atas imbalan jasa kepada pihak perusahaan luar negeri yang tidak atau belum memiliki NPWP meskipun dari kegiatan pemberian jasa yang dilakukannya nyata-nyata telah menimbulkan adanya BUT di Indonesia, di mana terdapat kebimbangan dalam menentukan apakah atas imbalan jasa yang dibayarkan akan dipotong PPh pasal 23 atau PPh pasal 26. Hal yang sama juga terjadi dari aspek pengenaan PPNnya. Para pihak yang condong melakukan pemotongan PPh pasal 26 dengan alasan BUT tersebut tidak memiliki NPWP umumnya akan melakukan penyetoran sendiri (self imposition) PPN dengan dalil pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean. Jika hal ini dapat dibenarkan maka akan menjadi tidak sinkron dengan ketentuan pasal 3A ayat (1) UU PPN beserta penjelasannya. Meskipun tidak atau belum memiliki NPWP, BUT yang melakukan penyerahan jasa di dalam Daerah Pabean harus tetap dipandang sebagai penyerahan di dalam Daerah Pabean dan oleh karenanya BUT tersebut diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk kemudian memungut PPN dari pengguna jasa, menyetorkannya setelah diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta melaporkannya dalam SPT Masa PPN. Tidak terdapat ketentuan perpajakan yang mengatur bahwa penyerahan sedemikian itu akan berubah perlakuan pengenaan PPNnya menjadi pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean dalam hal BUT tersebut belum memiliki NPWP dan belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-08/PJ.5/1995 pada butir 1.1 memberikan pengertian Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagai berikut: Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak hanya disebut sebagai berasal dari luar Daerah Pabean apabila orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menyerahkannya ke dalam Daerah Pabean tidak melalui atau tidak atas nama Bentuk Usaha Tetapnya yang berada di dalam Daerah Pabean. Apabila penyerahannya dilakukan melalui atau atas nama Bentuk Usaha Tetap yang berada di dalam Daerah Pabean, maka terhadap penyerahan tersebut berlaku ketentuan PPN atas penyerahan dalam negeri. Surat Edaran tersebut tidak berlaku lagi seiring dengan pencabutan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 597/KMK.04/1994 yang mendasarinya. Namun demikian menurut penulis, pengertian tersebut adalah tepat dan masih relevan di mana apabila penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan di dalam Daerah Pabean melalui atau atas nama Bentuk Usaha Tetap, maka terhadap penyerahan tersebut berlaku ketentuan PPN atas penyerahan dalam negeri. Hal ini juga sinkron dengan pasal 3A ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2009. Selanjutnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-147/PJ/2010 tentang Penjelasan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean malah menimbulkan pertanyaan besar bagi penulis, khususnya pada butir 3 dan butir 4 yang berbunyi sebagai berikut: Butir 3: Sedangkan yang dimaksud dengan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean adalah: Categories:
Artikel PajakTagged:

Jadwal Training