Putusan Mahkamah Agung Nomor : 839/B/PK/PJK/2017

Kategori : PPN dan PPnBM

bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-51431/PP/M.VIIIB/16/2014, Tanggal 19 Maret 2014 yang te


 

PUTUSAN
Nomor 839/B/PK/PJK/2017

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG


Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

PT. YYY, beralamat di Gedung M Lantai Z, Jl. KM Blok B, Kelurahan Guntur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, 12xxx;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

melawan:


DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada :
  1. ABC, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak.
  2. DEF, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
  3. GHI, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
  4. JKL, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. SKU-1072/PJ./2016 tanggal 10 Maret 2016;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

Mahkamah Agung tersebut;


Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-51431/PP/M.VIIIB/16/2014, Tanggal 19 Maret 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai berikut:

Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor : 007/MSM/ACC/II/13 tanggal 08 Februari 2013, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa sehubungan dengan Keputusan Terbanding Nomor : KEP-2446/WPJ.07/2012 tanggal 26 Desember 2012 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 28 Desember 2012, yang menolak seluruh permohonan keberatan Pemohon Banding atas SKPKB PPN Masa Pajak Nopember 2010 Nomor : 00011/207/10/058/12 tanggal 02 Januari 2012 dengan perincian sebagai berikut :
Uraian Semula
(Rp)
Ditambah/(Dikurangi)
(Rp)
Menjadi
(Rp)
PPN yang Kurang/(Lebih) bayar 684.928.791,00 0,00 684.928.791,00
Sanksi Bunga 0,00 0,00 0,00
Sanksi Kenaikan 684.928.791,00 0,00 684.928.791,00
Jumlah PPN yang masih harus (lebih) dibayar 1.369.857.582,00 0,00 1.369.857.582,00

Bahwa dengan ini Pemohon Banding mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak atas permohonan keberatan yang ditolak seluruhnya dengan surat keputusan di atas;
Bahwa alasan yang mendasari permohonan Banding ini adalah sebagai berikut:

Bahwa dasar perhitungan keputusan Terbanding tersebut di atas, adalah hasil penelitian dari Peneliti Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Banding melalui Surat Nomor : 012/MSM/ACC/III/2012 tanggal 14 Maret 2012;

Bahwa koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa dan dipertahankan oleh Peneliti Keberatan adalah koreksi positif PPN Masukan atas pembelian Barang Kena Pajak (BKP) yang dipergunakan untuk memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu BKP tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN (Biaya Kebun) sejumlah Rp684.928.791,00 (terbilang : Enam Ratus Delapan Puluh Empat Juta Sembilan Ratus Dua Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Sembilan Puluh Satu Rupiah);

Bahwa menurut pendapat Pemohon Banding tidak seharusnya koreksi ini dilakukan oleh Terbanding, dengan dasar argumentasi sebagai berikut :
Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN), secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
“Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan unluk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan”;

Bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 ayat (6) dari UU PPN tersebut di atas, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 78/PMK.03/2010 tanggal 01 April 2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak;

Bahwa berdasarkan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 78/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak, secara lengkap berbunyi sebagai berikut :

Pasal 2:
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan:
  1. usaha terpadu (integrated), terdiri dari:
    1. unit atau kegiatan yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak; dan
    2. unit atau kegiatan lain yang melakukan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak;
  2. usaha yang atas penyerahannya terutang pajak dan yang tidak terutang pajak;
  3. usaha untuk menghasilkan, memperdagangkan barang, dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang pajak dan yang tidak terutang pajak; atau
  4. usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang pajak dan sebagian lainnya tidak terutang pajak,
sedangkan Pajak Masukan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;

Pasal 3 :
Pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
P = PM x Z
dengan ketentuan bahwa :
P adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
Z adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap penyerahan seluruhnya;

Pasal 4 ayat (1)
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang telah mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus menghitung kembali besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;

Pasal 4 ayat (2)
Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menggunakan pedoman penghitungan sebagai berikut:
  1. untuk Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang masa manfaatnya lebih dari 1 (satu) tahun:
              PM
    P' = -------- xZ'
                T
    dengan ketentuan bahwa :
    P' adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku;
    PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
    T adalah masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang ditentukan sebagai berikut:
    1) untuk Barang Kena Pajak berupa tanah dan bangunan adalah 10 (sepuluh) tahun;
    2) untuk Barang Kena Pajak selain tanah dan bangunan dan Jasa Kena Pajak adalah 4 (empat) tahun;
    Z' adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku;
  2. untuk Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang masa manfaatnya 1 (satu) tahun atau kurang:
    P‟ = PM x Z‟
    dengan ketentuan bahwa :
    P‟ adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku;
    PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
    Z' adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku;
Bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;

Bahwa cuplikan memori Penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU PPN tersebut di atas, berbunyi sebagai berikut :
Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang. Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;

Bahwa dalam Pasal 9 ayat (2), ayat (9), dan ayat (8) UU PPN, dinyatakan bahwa :
Pasal 9 ayat (2) :
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama;

Pasal 9 ayat (9) :
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetap belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan;

Pasal 9 ayat (8) :
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagai mana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
  1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  2. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
  3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  5. perolehan barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
  6. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
  7. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
  8. perolehan Barang Kena Pajak atas Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
  9. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukannya pemeriksaan;
  10. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha kena pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a);
Bahwa berdasarkan Pasal 2 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut :
Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

Bahwa pengertian dari tujuan produktif secara jelas tercermin pada Pasal 1 angka 5 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut juga, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut : Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan;

Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan pajak yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
Bahwa secara umum Pengusaha Kena Pajak tidak dapat melakukan pengkreditan terhadap Pajak Masukan bagi pengeluaran yang memenuhi kondisi atau kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN;

Bahwa selain daripada pengaturan pada Pasal 9 ayat (8) UU PPN tersebut, terhadap suatu transaksi tertentu dapat pula ditentukan bahwa suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan seluruhnya atau sebagian, atau tidak dapat dikreditkan seluruhnya atau sebagian, yaitu dengan bertitik tolak pada indikator kunci berupa: realisasi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yang dilaporkannya pada SPT Masa PPN (dan juga tercermin pada SPT Tahunan PPh Badannya);

Bahwa terdapat beberapa kemungkinan dari realisasi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yakni berupa :
  1. Penyerahan yang tidak terutang PPN, dan
  2. Penyerahan yang terutang PPN, yaitu :
    • Ekspor,
    • Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri,
    • Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungul PPN,
    • Penyerahan yang PPN-nya Tidak Dipungut, serta
    • Penyerahan yang PPN-nya Dibebaskan;
Bahwa karenanya merupakan hal yang tidak berdasar apabila Terbanding berkesimpulan bahwa: Pajak Masukan atas biaya kebun Pemohon Banding, tidak dapat dikreditkan;

Bahwa koreksi tersebut baru boleh dilakukan hanya apabila terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan oleh Pemohon Banding. Sehingga, terhadap Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan pada SPT Masa PPN Pemohon Banding;

Bahwa TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/ dipakai sebagai bahan baku dan dititip olah/dimaklonkan ke Pihak Pengolah/Prosesor untuk diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK), pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP berupa TBS;

Bahwa pada Masa Pajak November 2010 tersebut, seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (berupa : Crude Palm Oil, Palm Kernel, dan Sparepart) yang Pemohon Banding lakukan adalah dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai, yakni : Terutang PPN dengan tarif 10% (berupa penyerahan yang PPNnya harus dipungut sendiri);

Bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang Pemohon Banding lakukan;

Bahwa tidak seharusnya dilakukan Koreksi Positif terhadap Pajak Masukan atas biaya Kebun yang dikreditkan oleh Pemohon Banding pada SPT Masa November 2010;

Bahwa berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, Pemohon Banding memohon agar banding Pemohon Banding ini dapat diterima, dan agar Majelis dapat meninjau ulang Keputusan Terbanding Nomor : KEP-2446/WPJ.07/2012 tanggal 26 Desember 2012 tersebut di atas;

Bahwa Perhitungan Pajak Terhutang Menurut Pemohon Banding (lampiran surat banding):

No. URAIAN Menurut Nilai Yang Dibanding
(Rp)
Pemohon Banding
(Rp)
Terbanding
(Rp)
1 Dasar Pengenaan Pajak
a. Atas Penyerahan Barang dan Jasa yang terutang PPN:
    a.1. Ekspor   
    a.2. Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri  
    a.3. Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN   
    a.4. Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut   
    a.5. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN   


0,00
4.126.471.604,00
0,00
0,00
0,00


0,00
4.126.471.604,00
0,00
0,00
0,00


0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
    a.6. Jumlah (a.1 + a.2 + a.3 + a.4 + a.5)   
b. Atas Penyerahan Barang dan Jasa yang tidak terutang PPN:   
4.126.471.604,00
0,00
4.126.471.604,00
0,00
0,00
0,00
c. Jumlah Seluruh Penyerahan (a.6 + b)   

d. Atas Impor BKP/Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean/
    Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean/Pemungutan Pajak oleh Pemungut
    Pajak/Kegiatan Membangun Sendiri/Penyerahan atas Aktiva Tetap yang Menurut
    Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan :

    d.1. Impor BKP 0,00 0,00 0,00
    d.2. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean
0,00 0,00 0,00
d.3. Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean 0,00 0,00 0,00
d.4. Pemungutan Pajak oleh Pemungut PPN 0,00 0,00 0,00
d.5. Kegiatan Membangun Sendiri 0,00 0,00 0,00
d.6. Penyerahan atas Aktiva Tetap yang Menurut Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan
0,00 0,00 0,00
d.7. Jumlah (d.1 atau d.2 atau d.3 atau d.4 atau d.5 atau d.6) 0,00 0,00 0,00
4.126.471.604,00




0,00
4.126.471.604,00 0,00
2 Penghitungan PPN Kurang Bayar
a. Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri (tarif x1.a.2 atau 1.d.7)
b. Dikurangi :
    b.1. PPN yang disetor di muka dalam Masa Pajak yang sama   
    b.2. Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan   
    b.3. STP (pokok kurang bayar)   
    b.4. Dibayar dengan NPWP sendiri   
    b.5. Lain-lain 
    b.6. Jumlah (b.1 + b.2 + b.3 + b.4 + b.5)   
c. Diperhitungkan :
    c.1. SKPPKP   
d. Jumlah pajak yang dapat diperhitungkan (b.6 – c.1)   
e. Jumlah perhitungan PPN Kurang Bayar (a – d) 

412.647.159,00

0,00
702.811.131,00
0,00
0,00
1.162.948.123,00
1.865.759.254,00

0,00
1.865.759.254,00
(1.453.112.095,00) 

412.647.159,00

0,00
17.882.340,00
0,00
0,00
1.162.948.123,00
1.180.830.463,00

0,00
1.180.830.463,00
(768.183.304,00) 

0,00

0,00
(684.928.791,00)
0,00
0,00
0,00
(684.928.791,00)

0,00
(684.928.791,00)
684.928.791,00
3 Kelebihan Pajak yang sudah :
a. Dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya   
b. Dikompensasikan ke Masa Pajak ……….. (karena pembetulan)   
c. Jumlah (a + b)   

1.453.112.095,00
0,00
1.453.112.095,00

1.453.112.095,00
0,00
1.453.112.095,00

0,00
0,00
0,00
4 PPN yang kurang dibayar (2.e + 3.c) 0,00 684.928.791,00 684.928.791,00
5 Sanksi Administrasi :
a. Bunga Pasal 13 (2) KUP   
b. Kenaikan Pasal 13 (3) KUP   
c. Bunga Pasal 13 (5) KUP   
d. Kenaikan Pasal 13A KUP 
e. Kenaikan Pasal 17C (5) KUP   
f. Kenaikan Pasal 17D (5) KUP   
g. Jumlah (a + b + c + d + e + f)   

0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00

0,00
684.928.791,00
0,00
0,00
0,00
0,00
684.928.791,00

0,00
684.928.791,00
0,00
0,00
0,00
0,00
684.928.791,00
6 Jumlah PPN yang masih harus dibayar (4 + 5.g) 0,00 1.369.857.582,00 1.369.857.582,00

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-51431/PP/M.VIIIB/16/2014, Tanggal 19 Maret 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Menolak permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-2446/WPJ.07/2012 tanggal 26 Desember 2012 tentang Keberatan Wajib Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00011/207/10/058/12 tanggal 02 Januari 2012 Masa Pajak November 2010 atas nama PT YYY, NPWP : 02.xxxx, Alamat di Gedung M Tower Lantai Z, Jl. KM Blok B, Menteng, Jakarta Pusat.

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-51431/PP/M.VIIIB/16/2014, Tanggal 19 Maret 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 01 April 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 24 Juni 2014, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 24 Juni 2014;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 26 Februari 2016, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 29 Maret 2016;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI


Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:

Bahwa yang menjadi Objek Sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah Koreksi Positif atas sebagian Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sejumlah Rp. 684.928.791,00 yang tidak dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim pada tingkat banding.

Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.51431/PP/M.VIIIB/16/2014 tanggal 19 Maret 2014, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah nyata-nyata tidak menggunakan dasar hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta telah pula mengabaikan fakta dan pembuktian yang telah diajukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dalam pemeriksaan banding di Pengadilan Pajak, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dangan dalil-dalil serta alasan-alasan hukum sebagai berikut :
  1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang berbunyi sebagai berikut :
    Halaman 33 sampai dengan 36:
    Bahwa yang menjadi sengketa adalah :
    Pajak Masukan menurut Pemohon Banding Rp. 702.811.131,00
    Pajak Masukan menurut Terbanding Rp. 17.882.340,00
    Koreksi Rp. 684.928.791,00
    Bahwa Pemohon Banding menyatakan bahwa koreksi oleh Terbanding tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku karena koreksi tersebut baru boleh dilakukan hanya apabila terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan oleh Pemohon Banding. Sehingga, terhadap Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan pada SPT Masa PPN Pemohon Banding;
    Bahwa menurut Pemohon Banding TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku dan dititip olah/dimaklonkan ke Pihak Pengolah/Prosesor untuk diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK), pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP berupa TBS;
    Bahwa pada Tahun Pajak 2010, seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (berupa : Crude Palm Oil, Palm Kernel, dan Sparepart) yang Pemohon Banding lakukan adalah dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai, yakni : Terutang PPN dengan tarif 10% (berupa penyerahan yang PPNnya harus dipungut sendiri);
    Bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding di persidangan, diketahui bahwa pada tahun pajak 2010 Pemohon Banding menghasilkan TBS, tapi tidak melakukan penyerahan TBS dan Pemohon Banding melakukan titip olah ke PT AAA dan PT BBB (kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan afiliasi dari Kelompok Usaha Wilmar) karena Pemohon Banding saat itu belum mempunyai pabrik sendiri. Di samping itu Pemohon Banding juga menjual CPO dan PK langsung kepada prosesor/pengolah yaitu PT AAA dan PT BBB dengan alasan belum memiliki tangki atau gudang penyimpanan, kemudahan logistic stock dan kemudahan administrasi;
    Bahwa berdasarkan penelitian Majelis atas bukti-bukti yang disampaikan oleh Pemohon Banding, diketahui hal-hal sebagai berikut :
    Bahwa Pemohon Banding pada Tahun 2005, telah mendapat persetujuan mengubah status kepemilikan dari PMDN menjadi PMA berdasarkan Surat Keputusan Kepala BKPM No. 03/V/PMA/2008 tanggal 14 Januari 2005;
    Bahwa Pemohon Banding bergerak dalam bidang perkebunan kelapa sawit dengan lokasi kebun di Desa Sebabi, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalimantan Tengah, dengan luas kebun 15.500 hektar;
    Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kotawaringin Timur tentang IMB Nomor : 642/292/UPT/CK-PU/2010 tanggal 1 Mei 2010 memberikan Izin Mendirikan Bangunan untuk Bangunan pabrik Kelapa Sawit (CPO) dan Bangunan Fasilitas Penunjang Lainnya dengan luas total bangunan 5.355,16 m2 ;
    Bahwa sesuai dengan penjelasan Pemohon Banding dalam persidangan diketahui bahwa pembangunan pabrik selesai dibangun dan digunakan untuk mengolah TBS yang dihasilkan oleh Pemohon Banding menjadi CPO dan PK pada tanggal 10 Oktober 2011 (sesuai dengan Berita Acara Comissioning);
    Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas maka menurut Majelis pada tahun 2010 usaha Pemohon Banding belum dapat dikatakan melakukan kegiatan usaha terpadu (intergrated) Industri Pengolahan Minyak Sawit karena belum mempunyai unit/pabrik yang dapat mengolah TBS menjadi CPO;
    Bahwa Pemohon Banding melakukan perjanjian jasa titip olah TBS menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Inti Sawit (Palm Karnel/PK) kepada yaitu:
    1. PT BBB sesuai dengan perjanjian Nomor : 001/TO-TBS/BSK-MSM/VII/2010 tanggal 01 Juli 2010;
    2. PT AAA sesuai dengan perjanjian Nomor : 001/TO-TBS/MS-MSM/I/2010 tanggal 02 Januari 2010;
    Bahwa atas penjelasan Pemohon Banding yang menyatakan tetap konsisten tidak menyerahkan TBS namun hanya menjual produk oleh kelapa sawit, Majelis melihat pada tahun 2010 pabrik belum selesai dibangun namun ternyata Pemohon Banding sudah menghasilkan TBS yang kemudian dititip olahkan menjadi CPO ke PT BBB dan PT AAA kemudian menjualnya langsung ke PT BBB dan PT AAA juga serta tidak ada upaya sungguh-sungguh Pemohon Banding untuk menjual CPO kepada pihak lain selain kepada PT BBB dan PT AAA, dengan demikian Majelis berpendapat sesungguhnya yang diserahkan Pemohon Banding adalah TBS;
    Bahwa berdasarkan hal tersebut Majelis berkesimpulan bahwa pada dasarnya penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) karena Pemohon Banding belum mempunyai pengolahan tandan buah segar yang dapat menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) sehingga sesuai dengan ketentuan yang berlaku penyerahan Tandan Buah Segar milik Pemohon Banding kepada PT BBB dan PT AAA dibebaskan dari pengenaan PPN;
    Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak pasal 2 ayat 1 (a) menyebutkan : Bagi Pengusaha Kena Pajak yang :
    1. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegitan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau ………
    maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang :
    1) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;……….
    Bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan “Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah :
    1. … … … ;
    2. … … … ;
    3. barang hasil pertanian;
    4. …..dst
    Bahwa selanjutnya pada pasal 1 angka 2 pada peraturan yang sama disebutkan :
    Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang :
    1. pertanian, perkebunan dan kehutanan ;
    2. ... … … ;
    3. … … … ;
    Bahwa selanjutnya pada pasal 2 angka 2 pada peraturan yang sama disebutkan :
    Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis berupa :
    1. … … … ;
    2. … … … ;
    3. barang pertanian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 huruf c;
    4. …..dst
    dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
    Bahwa Pasal 16B ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah disebutkan:
    “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk :
    1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
    2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
    3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
    4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
    5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
    Bahwa Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah disebutkan :
    “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan”;
    Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tanggal 22 Maret 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambaha Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 1 Mei 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Tandan Buah Segar (TBS) telah ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis (BKP strategis) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN;
    Bahwa Peraturan Pemerintah tersebut merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang menjelaskan antara lain bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan, oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
    Bahwa alasan tentang maklon TBS dan penjualan CPO pada PT BBB dan PT Musitka Sembuluh terbukti sebagai transaksi afiliasi sehingga penjualan tanpa usaha menjual kepada pihak lain adalah hanya sebagai upaya seolah-olah adalah penjualan CPO padahal sejatinya adalah TBS;
    Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas maka menurut Majelis bahwa pada dasarnya penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah Tandan Buah Segar karena Pemohon Banding tidak mempunyai unit pengolahan tandan buah segar yang dapat menghasilkan CPO dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku penyerahan tandan buah segar milik Pemohon Banding kepada PT BBB dan PT AAA dibebaskan dari pengenaan PPN;
    Bahwa dalam Akta Notaris berupa Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT YYY Nomor : 22 Tanggal 19 Nopember 2003 yang dibuat oleh Wiwik Handayani, SH, Notaris di Jakarta Pusat, dalam Pasal 3, Angka 1 disebutkan maksud dan tujuan Perseroan ialah berusaha dalam bidang Perkebunan, Perindustrian dan Perdagangan;
    Bahwa atas penyerahan kepada PT BBB dan PT AAA yang diserahkan adalah berupa CPO dan PK sebagai Barang Kena Pajak (BKP), dan Majelis tidak melakukan reklas atas penyerahan tersebut dari penyerahan yang dipungut sendiri menjadi penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN, meskipun perusahaan tersebut merupakan perusahaan afiliasi dari Pemohon Banding, karena Pemohon Banding dalam penyerahan tersebut bertindak sebagai trader/pedagang TBS dari CPO/PK dan telah memungut PPN atas penyerahannya;
    Bahwa dengan demikian Majelis berpendapat penyerahan yang dilakukan Pemohon Banding adalah berupa penyerahan Tandan Buah Segar yang atas penyerahan tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN maka atas Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, sehingga koreksi Terbanding atas Pajak Masukan Masa Pajak November 2010 sebesar Rp.684.928.791,00 tetap dipertahankan;
  2. Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.51431/PP/M.VIIIB/16/2014 tanggal 19 Maret 2014 tersebut di atas, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan ini menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut telah salah, keliru, atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan (error facti) dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya dengan telah mengabaikan fakta-fakta dan bukti-bukti yang Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) ajukan.
  3. Bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut UU PPN), menyatakan :
    Pasal 1 Angka 2 :
    “Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat
    berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak
    berwujud.”
    Pasal 1 Angka 3 :
    “Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.”
    Pasal 1 Angka 4 :
    “Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.”
    Pasal 1A ayat (1) :
    “Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
    1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
    2. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
    3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
    4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
    5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
    6. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
    7. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi."
    Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d :
    “Yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.”
    Pasal 4 ayat (1) huruf a :
    “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.”
    Pasal 9 Ayat (5) :
    “Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.”
    Penjelasan Pasal 9 Ayat (5) Paragraf ke-1, ke-2, dan ke-3 :
    "Yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undangundang ini, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai."
    "Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B."
    “Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.”
    Pasal 11 Ayat (1) huruf a :
    “Terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak.”
    Pasal 13 Ayat (1) huruf a :
    “Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D.”
  4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 29; Pasal 28 Ayat (1), (3), (5), (6), (7) dan (11); serta Pasal 29 Ayat (3) huruf a dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, menyebutkan sebagai berikut :
    Pasal 1 Angka 29 :
    “Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.”
    Pasal 28 Ayat (1) :
    “Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.”
    Pasal 28 Ayat (3) :
    “Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.”
    Pasal 28 Ayat (5) :
    “Pembukuan diselengarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.”
    Pasal 28 Ayat (6) :
    “Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.”
    Pasal 28 Ayat (7) :
    “Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.”
    Penjelasan Pasal 28 Ayat (7) :
    “Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.”
    “Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.”
    “Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.”
    Pasal 28 Ayat (11) :
    “Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.”
    Penjelasan Pasal 28 Ayat (11) :
    “Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.”
    Pasal 29 Ayat (3) huruf a :
    “Wajib Pajak yang diperiksa wajib: memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;”
  5. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang- undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut :
    Pasal 69 Ayat (1) :
    “Alat bukti dapat berupa:
    1. Surat atau tulisan;
    2. Keterangan ahli;
    3. Keterangan para saksi;
    4. Pengakuan para pihak; dan/atau
    5. Pengetahuan Hakim.”
    Pasal 70 :
    “Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :
    1. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
    2. akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
    3. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
    4. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.”
    Pasal 76 :
    “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).”
    Penjelasan Pasal 76 Paragraf ke-1 dan ke-2 :
    “Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan.
    Oleh karena itu, hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.”
    Pasal 78 :
    “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.”
    Penjelasan Pasal 78 :
    “Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
    Pasal 84 Ayat (1) huruf f :
    “Putusan Pengadilan Pajak harus memuat : pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa.”
  6. Bahwa atas sengketa ini Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah menolak permohonan banding Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan mempertahankan koreksi Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), dengan pertimbangan sebagai berikut :
    • “bahwa atas penjelasan Pemohon Banding yang menyatakan tetap konsisten tidak menyerahkan TBS namun hanya menjual produk oleh kelapa sawit, Majelis melihat pada tahun 2010 pabrik belum selesai dibangun namun ternyata Pemohon Banding sudah menghasilkan TBS yang kemudian dititip olahkan menjadi CPO ke PT BBB dan PT AAA kemudian menjualnya langsung ke PT BBB dan PT AAA juga serta tidak ada upaya sungguh-sungguh Pemohon Banding untuk menjual CPO kepada pihak lain selain kepada PT BBB dan PT AAA, dengan demikian Majelis berpendapat sesungguhnya yang diserahkan Pemohon Banding adalah TBS;”
    • “bahwa berdasarkan hal tersebut Majelis berkesimpulan bahwa pada dasarnya penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) karena Pemohon Banding belum mempunyai pengolahan tandan buah segar yang dapat menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) sehingga sesuai dengan ketentuan yang berlaku penyerahan Tandan Buah Segar milik Pemohon Banding kepada PT BBB dan PT AAA dibebaskan dari pengenaan PPN;”
    • “bahwa alasan tentang maklon TBS dan penjualan CPO pada PT BBB dan PT Musitka Sembuluh terbukti sebagai transaksi afiliasi sehingga penjualan tanpa usaha menjual kepada pihak lain adalah hanya sebagai upaya seolah-olah adalah penjualan CPO padahal sejatinya adalah TBS;”
    • “bahwa berdasarkan hal tersebut di atas maka menurut Majelis bahwa pada dasarnya penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah Tandan Buah Segar karena Pemohon Banding tidak mempunyai unit pengolahan tandan buah segar yang dapat menghasilkan CPO dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku penyerahan tandan buah segar milik Pemohon Banding kepada PT BBB dan PT AAA dibebaskan dari pengenaan PPN;”
    • “bahwa atas penyerahan kepada PT BBB dan PT AAA yang diserahkan adalah berupa CPO dan PK sebagai Barang Kena Pajak (BKP), dan Majelis tidak melakukan reklas atas penyerahan tersebut dari penyerahan yang dipungut sendiri menjadi penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN, meskipun perusahaan tersebut merupakan perusahaan afiliasi dari Pemohon Banding, karena Pemohon Banding dalam penyerahan tersebut bertindak sebagai trader/pedagang TBS dari CPO/PK dan telah memungut PPN atas penyerahannya;”
    • “bahwa dengan demikian Majelis berpendapat penyerahan yang dilakukan Pemohon Banding adalah berupa penyerahan Tandan Buah Segar yang atas penyerahan tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN maka atas Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, sehingga koreksi Terbanding atas Pajak Masukan Masa Pajak November 2010 sebesar Rp.684.928.791,00 tetap dipertahankan;”
    merupakan hal yang tidak dapat diterima karena tidak berdasarkan fakta dan data yang ada di dalam persidangan.
  7. Kesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang beranggapan bahwa pada dasarnya penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada pihak Pengolah (PT. BBB dan PT. AAA) adalah Tandan Buah Segar, karena Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak mempunyai unit pengolahan Tandan Buah Segar yang dapat menghasilkan CPO, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku penyerahan Tandan Buah Segar milik Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada PT. BBB dan PT AAA dibebaskan dari pengenaan PPN, adalah merupakan kesimpulan yang salah dan keliru dengan mengabaikan fakta-fakta dan bukti-bukti ada di dalam persidangan banding di Pengadilan Pajak.
  8. Padahal, fakta-fakta dan bukti-bukti kebenaran material/substansialnya, adalah sebagai berikut :
    1. Bahwa nyata-nyata secara fisik yang diserahkan atau dijual oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada PT. BBB dan PT. AAA adalah barang kena pajak berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK), bukan Tandan Buah Segar (TBS).
    2. Terlampir disampaikan kembali bukti-bukti berupa Invoice Penjualan dan Faktur Pajak Keluaran yang diterbitkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada PT. BBB dan PT. AAA selama Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2010. Penyerahan atau penjualan barang kena pajak berupa CPO dan PK dilaksanakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan harga jual yang lebih tinggi dari harga pasar TBS, yang membuktikan telah adanya pertambahan nilai (added value) terhadap suatu barang. Bahwa prinsip dasar PPN sebagai pajak atas konsumsibara ng dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi, telah benar-benar terpenuhi pada transaksi penyerahan atau penjualan barang kena pajak berupa CPO dan PK yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding). Terlampir disampaikan kembali Rekapitulasi Harga Jual CPO dan PK yang dilaksanakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada PT. BBB dan PT. AAA selama Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2010, disandingkan dengan harga pasar TBS pada periode yang sama.
    3. Nyata-nyata walaupun Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) belum mempunyai Pabrik/Unit Pengolahan TBS (Pabrik Kelapa Sawit) namun memiliki barang kena pajak CPO dan PK hasil olahan dari prosesor/pengolah (dengan mengeluarkan/membayar beban jasa olah atas maklon/titip olah yang dilakukan), dan secara faktual atas barang kena pajak CPO dan PK ini yang dilakukan penjualan/penyerahan.
    4. Adanya transaksi penjualan lokal atas hasil olah berupa CPO dan PK oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding, selaku pemilik CPO dan PK) kepada PT. BBB dan PT. AAA adalah merupakan suatu transaksi dagang lainnya yang juga lazim dilakukan dalam dunia usaha. Sama halnya apabila penjualan lokal tersebut dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada pihak selain PT. BBB dan PT. AAA, dimana tetap akan dicatat secara sistematis dalam pembukuan Perusahaan, dan juga pasti akan didukung dengan bukti-bukti berupa Kontrak Penjualan, Invoice, arus barang, dan arus uang (penerimaan hasil penjualan).
    5. Bagaimana mungkin Majelis Hakim Pengadilan Pajak dapat berpendapat : “bahwa atas penyerahan kepada PT BBB dan PT AAA yang diserahkan adalah berupa CPO dan PK sebagai Barang Kena Pajak (BKP), dan Majelis tidak melakukan reklas atas penyerahan tersebut dari penyerahan yang dipungut sendiri menjadi penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN, meskipun perusahaan tersebut merupakan perusahaan afiliasi dari Pemohon Banding, karena Pemohon Banding dalam penyerahan tersebut bertindak sebagai trader/pedagang TBS dari CPO/PK dan telah memungut PPN atas penyerahannya;”. Pendapat ini bersifat kontradiksi (kontradiktif), karena di satu sisi tidak mau mengakui adanya CPO dan PK hasil olahan milik Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang berasal dari TBS yang dititip-olahkan, sementara di sisi lain :
    1. mengakui adanya penyerahan atau penjualan barang kena pajak CPO dan PK hasil olahan kepada PT. BBB dan PT. AAA, dimana Pajak Keluaran atas penyerahan/penjualan CPO dan PK ini telah dipungut dan dilaporkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
    2. mengakui adanya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan atas jasa pengolahan TBS menjadi CPO dan PK tersebut yang dibayarkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada PT. BBB dan PT. AAA selaku Pihak Pengolah (Pemilik Pabrik/Prosesor). Selain itu, bagaimana dan darimana Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dapat memperdagangkan/menjual barang kena pajak berupa CPO dan PK tersebut, apabila tidak memiliki stock/persediaan CPO dan PK. Kepemilikan CPO dan PK tentunya merupakan kunci utama untuk dapat melakukan perdagangan/penjualan CPO dan PK. Dalam hal ini, walaupun bukan merupakan hasil produksi dari pabrik sendiri, CPO dan PK tersebut dimiliki oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dari hasil titip olah yang dilaksanakan di Pabrik milik Prosesor (Pihak Pengolah).
  9. Dan bahwa berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti kebenaran material/substansial sebagaimana dipaparkan pada poin 8 tersebut di atas, maka kebenaran yuridis/formal yang telah dilaksanakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah sebagai berikut :
    a. Karena nyata-nyata secara fisik yang diserahkan atau dijual oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada PT. BBB dan PT. AAA adalah barang kena pajak berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK), maka atas penyerahan/penjualan ini diterbitkan Faktur Pajak Keluaran dengan PPN 10 %.
    Hal ini dilaksanakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), khususnya Pasal 1 Angka 2, 3, dan 4; Pasal 1A ayat (1); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 11 ayat (1) huruf a; dan Pasal 13 ayat (1) huruf a.
    b. Atas penyerahan/penjualan lokal barang kena pajak berupa CPO dan PK yang dilakukan ini, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah melaksanakan pemungutan PPN atasnya (merupakan penyerahan yang terutang PPN), dan telah pula melaporkannya pada SPT Masa PPN (sebagai Pajak Keluaran) serta SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2010 (sebagai Pendapatan Usaha / Omzet Usaha). Penyerahan/penjualan CPO dan PK yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada PT. BBB dan PT. AAA telah dicatat secara sistematis dalam pembukuan Perusahaan, dan juga didukung dengan bukti-bukti berupa Kontrak Penjualan, Invoice, arus barang, dan arus uang (penerimaan hasil penjualan).
    c. Bahwa adanya Surat Perjanjian/Kontrak Titip Olah Nomor : 001/TOTBS/BSK-MSM/VII/2010 tanggal 01 Juli 2010 antara Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan PT. BBB dan Surat Perjanjian/Kontrak Titip Olah Nomor : 001/TOTBS/MS-MSM/I/2010 tanggal 02 Januari 2010 antara Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan PT. AAA, secara jelas adalah merupakan suatu kesepakatan titip olah yang terjadi antara Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) selaku Pemilik Barang, dengan PT. BBB dan PT. AAA selaku Pihak Pengolah (Pemilik Pabrik/Prosesor).
    Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sepenuhnya memiliki hak atas barang kena pajak berupa TBS yang dititip-olahkan, dan selanjutnya juga sepenuhnya akan memiliki hak atas barang kena pajak hasil olahan berupa CPO dan PK (setelah TBS tersebut diproses olah di Pabrik Kelapa Sawit milik PT. AAA selaku prosesor).
    Transaksi titip olah ini disepakati bersama karena pada tahun pajak 2010, Pabrik Pengolahan Tandan Buah Segar (Pabrik Kelapa Sawit) milik Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) masih dalam tahap pembangunan, sehingga hasil TBS dari kebun sendiri dititipolahkan ke Pabrik Kelapa Sawit milik prosesor (PT. BBB dan PT. AAA). Atas transaksi titip-olah TBS ini, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) selaku Pemilik Barang akan memperoleh/mendapatkan barang jadi berupa barang kena pajak Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK), serta akan membayarkan beban jasa olah kepada prosesor (selaku Pemilik Pabrik). Pada tanggal 10 Oktober 2011 Pabrik Pengolahan Tandan Buah Segar (Pabrik Kelapa Sawit) milik Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah selesai dikonstruksikan dan mulai dioperasikan secara komersial, yang dalam hal ini dipergunakan untuk mengolah TBS milik Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sehingga dihasilkan barang jadi berupa barang kena pajak CPO dan PK.
    d. Sesuai dengan Pasal 2 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut : “Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahaan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.”
    Sementara itu, pengertian dari „tujuan produktif‟ secara jelas tercermin pada Pasal 1 Angka 5 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut juga, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
    “Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan.”
    Jadi, TBS yang dihasilkan oleh kebun Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku yang dititip-olahkan (dimaklonkan) ke Pihak Pengolah (Prosesor), pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis berupa TBS. Karena, TBS ini dipergunakan/dipakai untuk tujuan produktif dalam rangka menghasilkan barang jadi berupa barang kena pajak CPO dan PK bagi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
    e. Pasal 9 ayat (5) dari UU PPN, menyatakan :
    “Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.” Cuplikan Memori Penjelasan Pasal 9 Ayat (5) dari UU PPN, menyatakan :
    "Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai."
    "Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B."
    “Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.”
    Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak (Pajak Pertambahan Nilai) tersebut di atas (berupa barang kena pajak : CPO, PK, dan Material/Sparepart) yang menjadi sengketa peninjauan kembali ini, dapat dikreditkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
    f. Bahwa salah satu pokok perubahan yang dilakukan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah, sebagaimana tercantum pada “Memori Penjelasan, Bagian Umum, huruf c” adalah :
    “Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak belum berproduksi atau belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak, maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dibayar pada saat perolehan Barang Kena Pajak, penerimaan Jasa Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan atau impor Barang Kena Pajak tetap dapat dikreditkan.”
    Pada tahun pajak 2010, Pabrik/Unit Pengolahan Tandan Buah Segar (Pabrik Kelapa Sawit) milik Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) masih dalam tahap pembangunan, sehingga hasil TBS dari kebun sendiri dititip-olahkan ke Pabrik Kelapa Sawit milik prosesor (PT. BBB dan PT. AAA). Unit/Pabrik Pengolahan Tandan Buah Segar (Pabrik Kelapa Sawit) milik Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah selesai dikonstruksikan dan mulai dioperasikan secara komersial sejak tanggal 10 Oktober 2011, yang dalam hal ini dipergunakan untuk mengolah TBS milik Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sehingga dihasilkan barang jadi berupa barang kena pajak CPO dan PK.
    g. Adanya fakta-fakta hukum baru berupa :
    1. Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 21/PMK.011/2014 tanggal 30 Januari 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak (terlampir), menegaskan dapat dikreditkannya pajak masukan yang dibayarkan yang terkait dengan perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dalam rangka kegiatan menghasilkan TBS, yang diolah lebih lanjut (baik di pabrik sendiri ataupun dititip olah di pabrik PKP lainnya) menjadi CPO dan PK yang dijual/diserahkan sebagai barang kena pajak yang terutang PPN.
      Pada Pasal 2A ayat (1) dinyatakan :
      “Pengusaha Kena Pajak yang:
      a. menghasilkan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak; dan
      b. mengolah dan/atau memanfaatkan lebih lanjut Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, baik melalui unit pengolahan sendiri maupun melalui titip olah dengan menggunakan fasilitas pengolahan Pengusaha Kena Pajak lainnya sehingga menjadi Barang Kena Pajak yang atas seluruh penyerahannya termasuk dalam Penyerahan yang Terutang Pajak, seluruh Pajak Masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan.” Landasan filosofis yang mendasari perlunya ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 21/PMK.011/2014 tanggal 30 Januari 2014 ini, secara jelas dan tegas adalah : ”untuk lebih memberikan kepastian hukum dan mendorong peningkatan nilai tambah komoditas primer”.
    2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 70 P/HUM/ 2013 mengenai Perkara Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai TERHADAP Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (terlampir).
      Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 70 P/HUM/2013 ini, pasal-pasal yang menjadi objek dalam perkara hak uji materiil yang diajukan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Indonesian Chamber of Commerce and Industry) dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.
      Bahwa Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c dari Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang dipergunakan sebagai dasar hukum oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) untuk mengkoreksi sebagian Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sejumlah Rp. 684.928.791,00 ini, adalah merupakan ketentuan pajak yang tidak sah dan tidak berlaku untuk umum karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
  10. Bahwa dengan demikian, telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa amar pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.51431/PP/M.VIIIB/16/2014 tanggal 19 Maret 2014 tersebut telah dibuat dengan tidak berdasarkan kepada fakta-fakta yang ada dan yang telah nyata-nyata terungkap dalam pemeriksaan sengketa banding tersebut, bukti yang valid (sah) serta aturan perpajakan yang berlaku, sehingga hal tersebut nyata-nyata telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Putusan Pajak Nomor : Put.51431/PP/M.VIIIB/16/2014 tanggal 19 Maret 2014 yang mempertahankan Koreksi Positif atas sebagian Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sejumlah Rp. 684.928.791,00 tersebut, harus dibatalkan.
Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.51431/PP/M.VIIIB/16/2014 tanggal 19 Maret 2014 tersebut di atas, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan ini menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut telah salah, keliru, atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan (error facti) dalam membuat pertimbanganpertimbangan hukumnya dengan nyata-nyata tidak berdasarkan pada dasar hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta telah mengabaikan fakta-fakta dan bukti-bukti yang Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) ajukan.

Bahwa dengan demikian, telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa amar pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.51431/PP/M.VIIIB/16/2014 tanggal 19 Maret 2014 tersebut telah dibuat dengan tidak berdasarkan kepada fakta-fakta sesungguhnya yang ada dan telah nyata-nyata terungkap dalam pemeriksaan sengketa banding tersebut di Pengadilan Pajak, bertentangan dengan kebenaran material/substansial dan kebenaran yuridis/formal dari transaksi-transaksi yang ada, serta tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 78 dan Pasal 84 Ayat (1) huruf f dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan oleh karenanya Putusan Pajak Nomor : Put.51431/PP/M.VIIIB/16/2014 tanggal 19 Maret 2014 tersebut harus dibatalkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor : Put.51431/PP/M.VIIIB/16/2014 tanggal 19 Maret 2014 yang :
  • Menolak permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-2446/WPJ.07/2012 tanggal 26 Desember 2012, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor : 00011/207/10/058/12 tanggal 02 Januari 2012 Masa Pajak November 2010 atas nama : PT. YYY, NPWP: 02.111.133.1-058.000, Alamat di Gedung Multivision Tower Lantai 15, Jl. Kuningan Mulia Blok 9B, Menteng, Jakarta Pusat;
adalah tidak benar dan telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

PERTIMBANGAN HUKUM


Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa, alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-2446/WPJ.07/2012 tanggal 26 Desember 2012, mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak November 2010 Nomor : 00011/ 207/10/058/12 tanggal 02 Januari 2012, atas nama Pemohon Banding, NPWP : 02.111.133.1-058.000, adalah yang secara nyata-nyata telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pertimbangan :
  1. Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Positif atas sebagian Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sejumlah Rp684.928.791,00; yang tidak dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali dari Termohon Peninjauan Kembali dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo Tandan Buah Segar (TBS) dimaksud yang dititip olahkan menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) yang merupakan Barang Kena Pajak yang kewajiban perpajakannya telah dipenuhi oleh para pihak, sehingga Pajak Masukan yang diperoleh dari hasil proses pabrikasi dapat dikreditkan karena substansi tersebut memiliki hubungan langsung dengan 3M (Mendapatkan, Menagih dan Memelihara) penghasilan, kepada pengolah TBS telah dipungut PPh Pasal 23 dan Pemilik TBS menjadi CPO/PK telah diberikan/Faktur Pajak. Olehkarenanya berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa koreksi Terbanding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1A juncto Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a angka (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000.
  2. Bahwa dengan demikian, alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan karena terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT. YYY dan membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-51431/PP/M.VIIIB/16/2014, Tanggal 19 Maret 2014, serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim Agung telah membaca dan mempelajari Jawaban Memori Peninjauan Kembali dari Termohon Peninjauan Kembali, namun tidak ditemukan hal-hal yang dapat melemahkan alasan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali;

Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan peninjauan kembali, maka Termohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam Peninjauan Kembali ini;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,


Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : PT. YYY tersebut;

Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-51431/PP/M.VIIIB/16/2014, Tanggal 19 Maret 2014;

MENGADILI KEMBALI,


Mengabulkan permohonan banding dari Pemohon Banding sekarang Pemohon Peninjauan Kembali;

Menghukum Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini ditetapkan sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah).

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari : Rabu, tanggal 24 Mei 2017, oleh Dr. H. FFF S.H., M.S., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. CCC, S.H., M.Hum., dan DDD, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis dan dibantu oleh GGG, SH., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.



Anggota Majelis :

ttd./
Dr. CCC, S.H., M.Hum.

ttd./
DDD, S.H., M.H.

Ketua Majelis,

ttd./
Dr. H. FFF S.H., M.S.
   


Biaya - biaya : 
1. Meterai......................  Rp       6.000,00
2. Redaksi ....................  Rp       5.000,00
3. Administrasi .............  Rp 2.489.000,00
    Jumlah .....................  Rp 2.500.000,00
Panitera Pengganti,

ttd./
GGG, SH.


Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,


(NN, S.H.)
NIP xxxxxxxx