Putusan Mahkamah Agung Nomor : 814/B/PK/PJK/2017

Kategori : PPN dan PPnBM

bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Tergugat, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP/M.V/99/2012, tanggal 31 Oktober 2012, yang telah berk


 

PUTUSAN
Nomor 814/B/PK/PJK/2017

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG


Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal XY Nomor 40-42, Jakarta XXXX0, dalam hal ini memberikan kuasa kepada :
  1. AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  3. CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-417/PJ./2013, tanggal 11 Maret 2013;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat;

melawan:


PT DFG, tempat kedudukan di Jl. FG Nomor 5, Dandangan, Kota Kediri;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Tergugat, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP/M.V/99/2012, tanggal 31 Oktober 2012, yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Penggugat, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa sehubungan dengan Surat Keputusan Tergugat dengan Nomor : KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 atas Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa untuk Masa Pajak September 2007 dengan Nomor : 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011, maka dengan iniPenggugat ajukan gugatan dengan uraian sebagai berikut :
  1. Bahwa pengenaan sanksi tersebut dikarenakan dasar koreksi yang dibuat oleh Pemeriksa atas faktur pajak nomor : 0X0.000-0X.0000000X dengan nilai Rp4.020.105.600,00 x 2% = Rp80.402.112,00 dengan alasan diterbitkan tidak berurutan (dasar hukum : Pasal 8 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006;
  2. Bahwa Penggugat tidak menyetujui koreksi yang dibuat oleh Tergugat tersebut, dengan alasan bahwa penerbitan faktur pajak sudah sesuai urutannya kecuali untuk urutan tanggal penerbitan yang baru diisi pada tanggal 7 September 2007 sehingga menurut Penggugat bahwa kejadian tersebut bukan suatu kesengajaan dan tidak termasuk bagian yang disebutkan dalam Pasal 14 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006;
  3. Bahwa Pasal 14 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 tidak dapat diterapkan dalam kasus ini, karena tidak termasuk dalam ayat-ayat yang disebutkan pada Pasal 14 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006;
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka Penggugat memohon kepada Majelis untuk mengabulkan, permohonan gugatan ini atas penghapusan sanksi administrasi menjadi Nihil;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP/M.V/99/2012, tanggal 31 Oktober 2012 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Penggugat terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011, atas nama PT DFG, NPWP 0X.XXX.X00.X-XXX.000, alamat di Jl. FG Nomor 5, Dandangan, Kota Kediri, dengan perhitungan jumlah sanksi administrasi Pasal 14 ayat (4) KUP yang masih harus dibayar menjadi sebesar Nihil.
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP /M.V/99/2012, tanggal 31 Oktober 2012, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 27 Desember 2012, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-417/PJ./2013, tanggal 11 Maret 2013 diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 15 Maret 2013, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 15 Maret 2013;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 17 Februari 2014, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya tidak diajukan Jawaban berdasarkan Surat Keterangan Tidak Menyerahkan Kontra Memori Peninjauan Kembali Nomor TKM-2869/PAN.Wk/2016 tanggal 27 Oktober 2016 oleh Wakil Panitera Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI


Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
  1. Bahwa Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Pajak) menyatakan bahwa “Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.”;
  2. Bahwa ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan ber- dasarkan alasan :“Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”;
  3. Bahwa dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012 yang amarnya memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Penggugat terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011, atas nama PT. DFG, NPWP 0X.XXX.X00.X-XXX.000, tidak memperhatikan atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar penerbitan sanksi administrasi oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat), sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia;
  4. Bahwa kekhilafan dan kekeliruan penerapan hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim pada tingkat banding di Pengadilan Pajak tersebut, nyata-nyata terdapat dalam pertimbangan hukum yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil;
  1. Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali
  1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 92 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak, menyatakan sebagai berikut :
    “Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim”;
  2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut :“tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.”;
  3. Bahwa salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP /M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012, atas nama PT DFG (Termohon Peninjauan Kembali/semula Penggugat), telah diberitahukan secara patut kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) melalui surat sekretariat Pengadilan Pajak Nomor P-829/SP.33/2012 tanggal 17 Desember 2012 dengan cara disampaikan langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) dan diterima langsung Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat);
    1. Bahwa dengan demikian, pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012 ini, masih dalam tenggang waktu yang diijinkan oleh Undang-undang Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
  1. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Memori Peninjauan Kembali Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah :
  1. Tentang Majelis Hakim Telah Memutus Sengketa Gugatan atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011 Melebihi Kewenangan sehingga bertentangan dengan Pasal 31 Undang-Undang Pengadilan Pajak;
  2. Sengketa tidak dipertahankannya KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011;
  1. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah mengabaikan fakta dan pembuktian yang telah diajukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) dalam pemeriksaan Gugatan di Pengadilan Pajak, atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
    1. Tentang Majelis Hakim Telah Memutus Sengketa Gugatan atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011 Melebihi Kewenangan sehingga bertentangan dengan Pasal 31 Undang-Undang Pengadilan Pajak.
  1. Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012 tersebut di atas, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) dengan ini menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa dan mengadili sengketa gugatan tersebut dengan melebihi kewenangan yang dimilikinya sebagai Hakim di Pengadilan Pajak dengan telah mengabaikan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Pengadilan Pajak atas Kekuasaan pengadilan Pajak, sehingga hal tersebut nyata-nyata telah melanggar ketentuan yang berlaku dan harus dibatalkan;
  2. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
    Halaman 13 alinea ke-4
    “bahwa keseluruhan hal di atas menunjukkan bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 mengatur tentang bagaimana Pengusaha Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan kode dan nomor seri Faktur Pajak {Pasal 6 ayat (1)}, nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 2 digit untuk Tahun Penerbitan, 8 digit untuk Nomor Urut {Pasal 6 ayat (3)}, Faktur Pajak Standar dibuat secara berurutan {Pasal 8 ayat (1)}, dan seterusnya, namun tidak mengatur jika penggunaan tidak berurutan menjadikan Faktur Pajak Sfandar dimaksud menjadi termasuk kriteria tidak mengisi/membuat Faktur Pajak tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-undang PPN.
    Dengan demikian Majelis berpendapat bahwa alasan Tergugat mengenakan sanksi administrasi Pasal 14 ayat (4) Undang-undang PPN tidak kuat, sehingga koreksi Tergugat tidak dapat dipertahankan;”
  3. Bahwa Pasal 23 ayat (2) serta Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP), menyatakan :
    Pasal 23 ayat (2)
    “Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
    1. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah MelaksanakanPenyitaan, atau Pengumuman Lelang;
    2. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
    3. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
    4. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak;”
    Pasal 36 ayat (1) huruf c
    ”Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat :
    1. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar;”
  4. Bahwa Pasal 1 huruf b, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang tidak benar, dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan, menyatakan:
    Pasal 1 huruf b
    “Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat :
    1. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;”;
    Pasal 4 ayat (1)
    “Surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, dan hasil pemeriksaan yang dapat dikurangkan atau dibatalkan oleh Direktur Jenderal Pajak baik secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak meliputi :
    1. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
    2. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar; atau
    3. pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
    1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
    2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan;” Pasal 8 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
      “(1) Keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan Wajib Pajak;
      (2) Wajib Pajak dapat meminta secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
      (3) Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis atas permintaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
      
  5. Bahwa Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak, menyatakan :
    Pasal 31 ayat (3) :
    ”Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.”
  6. Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa gugatan di Pengadilan serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) maka dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata adanya fakta-fakta sebagai berikut :
    1. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas diterbitkannya Keputusan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) Nomor KEP-162 /WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011;
    2. Bahwa dalam Surat Keputusan Nomor KEP-162 /WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) pada prinsipnya menolak permohoan Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat);
    3. Bahwa atas keputusan tersebut, Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) mengajukan gugatan kepada pengadilan pajak dan telah diberikan keputusan oleh Pengadilan Pajak;
    4. Bahwa di dalam persidangan diketahui bahwa Majelis Hakim tidak memutus dengan pertimbangan apakah atas penerbitan Surat Keputusan Nomor : KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011 yang diajukan gugatannya oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun tidak;
    5. Bahwa di dalam persidangan, Majelis Hakim justru membahas mengenai materi yang ada di dalam Surat Keputusan Nomor KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011, dimana hal tersebut bukan merupakan kewenangan dari Majelis Hakim untuk menentukan apakah material sengketa yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) sudah sesuai ketentuan atau tidak;
    6. Bahwa mengacu pada ketentuan pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP di atas, jelas diketahui bahwa kewenangan untuk memberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi adalah wewenang dari Direktur Jenderal Pajak;
  7. Bahwa kewenangan untuk menerima atau menolak permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi adalah kewenangan absolute yang sepenuhnya diberikan Undang-Undang kepada Direktur Jenderal Pajak, khususnya dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP, dilakukan melalui proses penelitian dan menggunakan Standart Operating Prosedure yang telah diatur tata caranya;
  8. Bahwa pelaksanaan teknis tersebut telah dituangkan dalam  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang tidak benar, dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan, dimana dalam Pasal 8-nya disebutkan antara lain bahwa Keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan Wajib Pajak. Jika terhadap hasilnya Wajib Pajak merasa memerlukan penjelasan, maka Wajib Pajak dapat meminta secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak tersebut.”;
  9. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak, kekuasaan Pengadilan Pajak atas gugatan adalah sebagai berikut :
  10. ”Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa danmemutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.”;
  11. Berdasarkan ketentuan di atas, maka dapat diketahui bahwa kekuasaan Pengadilan Pajak, dalam hal ini kewenangan Majelis Hakim dalam memeriksa sengketa gugatan adalah terbatas pada formal, hanya pada apakah Surat Keputusan Nomor : KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 02 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor : 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011 (objek gugatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat)) dalam penerbitannya telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  12. Bahwa Majelis Pengadilan Pajak dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137/PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012 telah melebihi kewenangannya dalam memutus materi gugatan dengan menghitung kembali jumlah yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak yang telah diberikan keputusan pengurangan dalam KEP-513/WPJ.07/2010 tanggal 10 Mei 2010;
  13. Bahwa dengan demikian, telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa amar pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137 /PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012 tersebut telah dibuat dengan tidak berdasarkan ketentuan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak, sehingga oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137 /PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012 harus dibatalkan;
  1. Sengketa tidak dipertahankannya KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 02 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011;
  1. Bahwa jika seandainya-pun, Majelis Hakim Mahkamah Agung Yang Terhormat, yang memeriksa dan mengadili sengketa peninjauan kembali ini berpendapat lain selain daripada dalil-dalil yang disampaikan dan diuraikan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) tersebut di atas, namun pada pokoknya Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) tetap tidak sependapat dan keberatan atas pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana yang dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.41137 /PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012;
  2. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
    Halaman 13 alinea ke-4
    “bahwa keseluruhan hal di atas menunjukkan bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 mengatur tentang bagaimana Pengusaha Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan kode dan nomor seri Faktur Pajak {Pasal 6 ayat (1)}, nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 2 digit untuk Tahun Penerbitan, 8 digit untuk Nomor Urut {Pasal 6 ayat (3)}, Faktur Pajak Standar dibuat secara berurutan {Pasal 8 ayat (1)}, dan seterusnya, namun tidak mengatur jika penggunaan tidak berurutan menjadikan Faktur Pajak Sfandar dimaksud menjadi termasuk kriteria tidak mengisi/membuat Faktur Pajak tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-undang PPN.
    Dengan demikian Majelis berpendapat bahwa alasan Tergugat mengenakan sanksi administrasi Pasal 14 ayat (4) Undang-undang PPN tidak kuat, sehingga koreksi Tergugat tidak dapat dipertahankan;”
  3. Bahwa Pasal 14 ayat (1) dan ayat (4), Undang-Undang KUP, menyatakan :
    Pasal 14 ayat (1)
    ”Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
    1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
    2. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
    3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
    4. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
    5. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
      1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya;atau
      2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hat penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
    6. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
    7. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.”
    Pasal 14 ayat (4)
    “Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak;”
  4. Bahwa Pasal 1 angka 23, Pasal 13 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang-Undang PPN), menyatakan :
    Pasal 1 angka 23
    “Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;”
    Pasal 13 ayat (1)
    “Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c;”
    Pasal 13 ayat (3)
    “Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran”;
    Pasal 13 ayat (4)
    “Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”;
  5. Pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 143 tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas barang Mewah Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 : “Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.”;
    Penjelasan :
    Atas penyerahan jasa pemborong bangunan atau barang tidak bergerak:
    Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu;
    Dan sebelum jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, pajak terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh Pemborong atau Kontraktor;
    Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima jasa. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, pajak terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh Pemborong atau Kontraktor;
    Contoh:
    1. tanggal 1 April 2001, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20%;
    2. tanggal 1 Mei 2001, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-1;
    3. tanggal 1 Juni 2001, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran tahap ke-2;
    4. tanggal 20 Juni 2001, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran tahap ke-3;
    5. tanggal 25 Agustus 2001, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan;
    6. tanggal 1 September 2001, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% dari harga borongan;
    7. tanggal 1 Maret 2002, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan;
    Pada angka 1 sampai dengan angka 4 pajak terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (tahap), sedang angka 5 sampai dengan angka 7 pajak terutang pada tanggal 25 Agustus 2001 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya;
    tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu diperhatikan, karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya pajak sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Cara penghitungan sebagaimana tersebut di atas juga berlaku dalam hal penjualan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan dengan pembayaran uang muka, sedangkan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dilakukan kemudian;
    Atas penyerahan Jasa Kena Pajak selain pemborong bangunan, terutangnya pajak terjadi pada saat :
    1. Tersedianya barang atau fasilitas untuk dipakai, baik sebagian atau seluruhnya;
    2. Dilakukan penagihan pembangunan atau penggantian; atau
    3. Pembayaran, apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan;
  6. Bahwa Pasal 2 ayat (1), Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, Dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar menyatakan:
    Pasal 2 ayat (1)
    “Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:
    1. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
    2. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
    3. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
    4. Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
    5. Pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai,”
    1. Bahwa Pasal 78 Undang Undang Pengadilan Pajak, menyatakan: ”Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;”
  1. Bahwa pokok sengketa pada pemeriksaan di tingkat banding dapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) jelaskan sebagai berikut:
    7.1.
    Bahwa yang menjadi pokok sengketa gugatan pada dasarnya adalah pengenaan sanksi Pasal 14 ayat (4) UU KUP dikarenakan Pemohon Banding menerbitkan faktur pajak tidak berurutan nomornya (Penggugat menerbitkan Faktur Pajak Nomor: 0X0.000.0X.0000000X pada tanggal 07 September 2007 sebesar Rp 4.020.105.600,00, sedangkan Faktur Pajak Nomor 0X0.000.0X.000000X0 diterbitkan pada tanggal 28 Juni 2007 dan Faktur Pajak Nomor 0X0.000.0X.000000XX diterbitkan pada tanggal 30 Agustus 2007) dengan diterbitkan Surat Tagihan Pajak PPN Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011;
    7.2.
    Bahwa atas pengenaan sanksi denda Pasal 14 ayat (4) UU KUP tersebut Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) tidak sependapat dengan mengemukakan alasan yang pada intinya menyatakan :
    • bahwa penerbitan faktur pajak sudah sesuai urutannya kecuali untuk urutan tanggal penerbitan yang baru diisi pada tanggal 07 September 2007 sehingga menurut Penggugat bahwa kejadian tersebut bukan suatu kesengajaan dan tidak termasuk bagian yang disebutkan dalam Pasal 14 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006;
    • bahwa Pasal 14 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 tidak dapat diterapkan dalam kasus ini, karena tidak termasuk dalam ayat-ayat yang disebutkan pada Pasal 14 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006;
    7.3.
    Bahwa atas sengketa ini Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat sebagai berikut :
    “bahwa berdasarkan uraian dan data serta fakta dalam persidangan di atas dapat dikemukakan bahwa Penggugat telah membuat nomor seri faktur pajak secara berurutan. Penggugat baru menggunakan faktur pajak Nomor 0X0.000.0X.0000000X pada tanggal 7 September 2007 setelah penggunaan faktur pajak Nomor 0X0.000.0X.000000X0 dan 0X0.000.0X.000000XX pada tanggal 28 Juni 2007 dan 30 Agustus 2007. Hal ini memmjukkan bahwa pada tahun 2007 Penggugat menggunakan faktur pajak yang telah dibuat secara berurutan namun terdapat satu faktur pajak bernomor 0X0.000.0X.0000000X yang digunakan pada tanggal yang tidak berurutan;”
    “bahwa faktur pajak dimaksud oleh Penggugat digunakan untuk pembayaran Termin ke II Peningkatan Jalan dengan Konstruksi Hotmix di Kabupaten Tulungagung dari Bendaharawan Pengeluaran Pemb.Jl.QQ sebesar Rp. 4.335.408.000,00 melalui Bank HJ Cabang Kediri pada tanggal 10 September 2007, yang dilengkapi dengan SSP sebesar Rp. 394.128.000,00 bertanggal 7 September 2007;”
    “bahwa keseluruhan hal di atas menunjukkan bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31  Oktober 2006 mengatur tentang bagaimana Pengusaha Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan kode dan nomor seri Faktur Pajak {Pasal 6 ayat (1)}, nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 2 digit untuk Tahun Penerbitan, 8 digit untuk Nomor Urut {Pasal 6 ayat (3)}, Faktur Pajak Standar dibuat secara berurutan {Pasal 8 ayat (1)}, dan seterusnya, namun tidak mengatur jika penggunaan tidak berurutan menjadikan Faktur Pajak Standar dimaksud menjadi termasuk kriteria tidak mengisi/membuat Faktur Pajak tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-undang PPN. Dengan demikian Majelis berpendapat bahwa alasan Tergugat mengenakan sanksi administrasi Pasal 14 ayat (4) Undang-undang PPN tidak kuat, sehingga koreksi Tergugat tidak dapat dipertahankan;”

  2. Bahwa berdasarkan penelitian dan pemeriksaan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) di dalam persidangan terungkap fakta-fakta sebagai berikut :
    1. Penggugat menerbitkan faktur pajak nomor : 0X0.000.0X.000000X0 pada tanggal 28 Juni 2007;
    2. Penggugat menerbitkan faktur pajak nomor : 0X0.000.0X.000000XX pada tanggal 30 Agustus 2007;
    3. Penggugat menerbitkan faktur pajak nomor : 0X0.000.0X.0000000X pada tanggal 7 September 2007;
  3. Bahwa yang menjadi pokok sengketa gugatan pada dasarnya adalah pengenaan sanksi Pasal 14 ayat (4) UU KUP dikarenakan Pemohon Banding menerbitkan faktur pajak tidak berurutan nomornya (Penggugat menerbitkan Faktur Pajak Nomor 0X0.000.0X.0000000X pada tanggal 07 September 2007 sebesar Rp 4.020.105.600,00, sedangkan Faktur Pajak Nomor 0X0.000.0X.000000X0 diterbitkan pada tanggal 28 Juni 2007 dan Faktur Pajak Nomor 0X0.000.0X.000000XX diterbitkan pada tanggal 30 Agustus 2007) dengan diterbitkan Surat Tagihan Pajak PPN Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011;
  4. Bahwa Pasal 13 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000:
    ayat (1) : Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c;
    ayat (3) : Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran;
    ayat (4) : Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
  5. Pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 143 tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas barang Mewah Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 :
    “Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.”;
    Penjelasan :
    Atas penyerahan jasa pemborong bangunan atau barang tidak bergerak:
    Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu;
    Dan sebelum jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, pajak terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh Pemborong atau Kontraktor;
    Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima jasa. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, pajak terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
    Contoh:
    1. tanggal 1 April 2001, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20%;
    2. tanggal 1 Mei 2001, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-1;
    3. tanggal 1 Juni 2001, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran tahap ke-2;
    4. tanggal 20 Juni 2001, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran tahap ke-3;
    5. tanggal 25 Agustus 2001, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan.
    6. tanggal 1 September 2001, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% dari harga borongan.
    7. tanggal 1 Maret 2002, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan.
    Pada angka 1 sampai dengan angka 4 pajak terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (tahap), sedang angka 5 sampai dengan angka 7 pajak terutang pada tanggal 25 Agustus 2001 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya;
    Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu diperhatikan, karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya pajak sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Cara penghitungan sebagaimana tersebut di atas juga berlaku dalam hal penjualan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan dengan pembayaran uang muka, sedangkan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dilakukan kemudian;
    Atas penyerahan Jasa Kena Pajak selain pemborong bangunan, terutangnya pajak terjadi pada saat :
    1. tersedianya barang atau fasilitas untuk dipakai, baik sebagian atau seluruhnya;
    2. dilakukan penagihan pembangunan atau penggantian; atau 
    3. pembayaran, apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan;
  6. Bahwa Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-159/PJ./2006 menentukan sebagai berikut :
    Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:
    1. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
    2. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
    3. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
    4. Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
    5. Pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
  7. Bahwa menurut pendapat ahli, Faktur Pajak di Indonesia berfungsi sebagai :
    • bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
    • bukti pembayaran pajak ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
    • sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. (Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai Edisi Revisi 2003, halaman 214-215)”;
  8. Bahwa kewajiban membuat Faktur Pajak merupakan pencerminan atau refleksi dari kewajiban memungut pajak terutang yang diatur dalam pasal 3A ayat (1) Undang-Undang PPN. Kewajiban ini merupakan rangkaian peristiwa dan perbuatan hukum yang diatur dalam Pasal 11 (tentang saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai) dan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang PPN yang kemudian direalisasi dalam Pasal 13 Undang-Undang PPN. Ditinjau dari fungsinya, dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak memegang posisi sentral dalam mekanisme PPN di  Indonesia;
  9. Bahwa dalam kaitannya sebagai dokumen yang memiliki aspek hukum dalam sisi perpajakan, Faktur Pajak harus memenuhi syarat formal dan material;
  10. Bahwa sebagai dokumen yang memiliki aspek hukum, Faktur Pajak Standart harus memenuhi syarat formal dan secara material ditegaskan pula dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : 06/PJ.7/2006 tanggal 22 Agustus 2006 tentang Kebijakan Pemeriksaan Atas Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Lebih Bayar, yang digunakan pemeriksa sebagai panduan dalam melaksanakan tugasnya.
  11. Bahwa oleh karena penyerahan ini dilakukan Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) selaku rekanan terkait dengan proyek peningkatan jalan (bangunan/fasilitas) kabupaten Kediri dengan tagihan ditujukan kepada Bendaharawan Pemerintah selaku pemungut, maka sesuai dengan Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf d Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-159/PJ./2006 maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
  12. Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan sebagaimana disampaikan di atas dikaitkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku khususnya terkait dengan ketentuan saat pembuatan faktur pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU PPN dan Pasal Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-159/PJ./2006 dapat disimpulkan bahwa faktur pajak dibuat tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku khususnya batas paling lambat dibuat faktur pajak;
  13. Bahwa Pasal 14 UU KUP menentukan sebagai berikut :
    ayat (1)
    Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila
    1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
    2. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
    3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
    4. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
    5. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak;
    6. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak;
    Ayat (4)
    Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.";
  14. Bahwa berdasarkan fakta dimana Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) membuat faktur pajak melewati batas waktu paling lambat pembuatan faktur pajak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 14 UU KUP sebagaimana di atas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) berpendapat bahwa pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 14 ayat (4) UU KUP atas keterlambatan pembuatan faktur pajak kepada bendaharawan pemerintah selaku pemungut dalam kasus ini sudah benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
  15. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) tidak sependapat dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang pada intinya menyatakan bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 mengatur tentang bagaimana Pengusaha Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan kode dan Nomor seri Faktur Pajak {Pasal 6 ayat (1)}, nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 2 digit untuk Tahun Penerbitan, 8 digit untuk Nomor Urut {Pasal 6 ayat (3)}, Faktur Pajak Standar dibuat secara berurutan {Pasal 8 ayat (1)}, dan seterusnya, namun tidak mengatur jika penggunaan tidak berurutan menjadikan Faktur Pajak Sfandar dimaksud menjadi termasuk kriteria tidak mengisi/membuat Faktur Pajak tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang PPN..
  16. Bahwa berdasarkan penjelasan sebagaimana disampaikan di atas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) berpendapat bahwa keputusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan tidak sesuai dengan pembuktian sebagaimana dimaksud Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
  17. Bahwa dengan demikian, telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa amar pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor 41138/PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012 tersebut telah dibuat dengan tidak berdasarkan kepada fakta-fakta yang ada dan yang telah nyata-nyata terungkap dalam pemeriksaan sengketa gugatan tersebut, bukti yang valid serta aturan perpajakan yang berlaku, yaitu Pasal 14 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang KUP, juncto Pasal 1 angka 23, Pasal 13 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang PPN juncto Pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 143 tahun 2000 juncto Pasal 2 ayat (1), Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 serta telah melanggar ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor 41137/PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012 tersebut harus dibatalkan;
  1. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: Put.41137/PP/M.V/99/2012 tanggal 31 Oktober 2012 yang menyatakan:
    • Mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Penggugat terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 02 Februari 2012 tentang Pengurangan Atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar Atas Surat Tagihan Pajak PPN Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor : 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011, atas nama : PT. DFG, NPWP : 0X.XXX.X00.X-XXX.000, Alamat : Jl. FG Nomor 5, Dandangan, Kota Kediri, dengan perhitungan sebagaimana di atas;
adalah tidak benar dan telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

PERTIMBANGAN HUKUM


Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Penggugat terhadap Keputusan Tergugat Nomor KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) Yang Tidak Benar atas Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011, atas nama Penggugat NPWP 0X.XXX.X00.X-XXX.000, sehingga Sanksi Administrasi Pasal 14 ayat (4) KUP yang masih harus dibayar menjadi nihil adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
  1. Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu alasan butir A tentang Majelis Hakim telah Memutus sengketa gugatan atas Surat Keputusan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) Nomor KEP-162/ WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) Yang Tidak Benar atas Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107 /07/651/11 tanggal 27 Juni 2011 Melebihi Kewenangan sehingga bertentangan dengan Pasal 31 Undang-Undang Pengadilan Pajak sedangkan alasan butir B tentang Sengketa tidak dipertahankannya KEP-162/WPJ.12/2012 tanggal 2 Februari 2012 tentang Pengurangan atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) Yang Tidak Benar atas Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor 00008/107/07/651/11 tanggal 27 Juni 2011 tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dali-ldalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo Penggugat menerbitkan Faktur Pajak Nomor 0X0.000.0X.0000000X tanggal 07 September 2007 dan Faktur Pajak Nomor 0X0.000.0X.000000X0 tanggal 28 Juni 2007 serta Faktur Pajak Nomor 0X0.000.0X.000000XX tanggal 30 Agustus 2007 untuk pembayaran termijn II atas belanja pembangunan APBD Tahun 2004 telah dilakukan penyetoran PPN dengan SSP kode jenis pajak XXXXXX yang dilakukan oleh Pimpro Pemda Kabupaten Kediri sebagai Wajib Pungut sudah benar dan olehkarenanya koreksi Tergugat (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (4) serta Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan juncto Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai juncto Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006;
  2. Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,


Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 8 Juni 2017, oleh Dr. H. XYZ, S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. M. FFF, S.H., M.S., dan Dr. GGG, SH., M.Hum., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh HHH, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.






Anggota Majelis :

        ttd/

Dr. H. M. FFF, S.H., M.S.,

        ttd/

Dr. GGG, SH., M.Hum.,






Biaya – biaya :
1.  M e t e r a i…………….. Rp        6.000,00
2.  R e d a k s i…………….. Rp        5.000,00
3.  Administrasi ………..….   Rp 2.489.000,00
Jumlah ……….                      Rp 2.500.000,00


Ketua Majelis:

ttd/

Dr. H. XYZ, S.H., M.Hum.,




Panitera Pengganti

ttd/

HHH, S.H.,


Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG RI
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,


RTY, S.H.
NIP: XXXX0XXXXXXX0XX00X