Media Komunitas Perpajakan Indonesia Forums Lain-lain PPN ATAS PENYERAHAN OBAT-OBATAN OLEH APOTEK

  • PPN ATAS PENYERAHAN OBAT-OBATAN OLEH APOTEK

     hkw_tax updated 14 years, 9 months ago 7 Members · 14 Posts
  • Noel

    Member
    7 June 2009 at 9:50 am

    Apakah ada dikenakan PPN?Kalau dikenakan PPN, apakah beda perlakuannya untuk apotek yang tersendiri dengan apotek yang berada di dalam rumah sakit?

  • Noel

    Member
    7 June 2009 at 9:50 am
  • evan212

    Member
    7 June 2009 at 10:52 am

    obat2an bukan barang yg dikecualikan dari pengenaan PPN. Selama PKP harus tetap pungut PPN.
    Untuk RS perlakuannya agak beda karena melekat pada jasa pelayanan kesehatan yg tidak kena PPN. Maka selama pasien rawat inap tidak kena PPN. Intinya RS juga jika melewati batas PKP harus mempunya NPPKP dan PPN yg dipungut hanya untuk pasien rawat jalan dan penjualan bebas.
    CMIIW

  • bayem

    Member
    7 June 2009 at 11:14 am
    Originaly posted by EVAN212:

    Untuk RS perlakuannya agak beda karena melekat pada jasa pelayanan kesehatan yg tidak kena PPN. Maka selama pasien rawat inap tidak kena PPN. Intinya RS juga jika melewati batas PKP harus mempunya NPPKP dan PPN yg dipungut hanya untuk pasien rawat jalan dan penjualan bebas.

    rekan evan, mungkin kita harus pisahkan dulu mana yang terutang PPN dan tidak.
    atas jasa pelayanan kesehatan medik memang tidak terutang PPN sesuai UU PPN. tapi dalam rangka penyerahan obat, baik itu terjadi karena rawat inap dan rawat tetap terutang PPN. saya berpendapat kalo penyerahan jasa pelayanan dan penjualan obat ini merupakan suatu yang terpisah.
    mohon koreksinya…

  • harry_logic

    Member
    7 June 2009 at 3:02 pm
    Originaly posted by Noel:

    apakah beda perlakuannya untuk apotek yang tersendiri dengan apotek yang berada di dalam rumah sakit?

    Jika apotek tersendiri, mk penyerahan obat terutang PPN.
    Jika apotek berada di RS (= instalasi farmasi), maka ada 2 kemungkinan penyerahan BKP (obat) tsb :
    1. Diserahkan kpd pasien rawat inap, yg berarti penyerahan obat tsb adalah dlm rangka penyerahan jasa pelayanan kesehatan medik, shg tidak terutang PPN.
    2. Diserahkan kpd pasien rawat jalan, ini terutang PPN.

  • evan212

    Member
    7 June 2009 at 5:58 pm
    Originaly posted by bayem:

    rekan evan, mungkin kita harus pisahkan dulu mana yang terutang PPN dan tidak.

    perhitungan PPN untuk RS berbeda dengan mekanisme biasa karena ada PM yg harus diperhitungkan kembali paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. dan juga selama melekat pada pasien rawat inap maka obat menjadi tidak kena PPN….jadi tidak perlu dipisahkan lagi antara BKP dan JKP karena melekat pada jenis pasiennya…..

  • Aries Tanno

    Member
    7 June 2009 at 8:04 pm

    DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
    __________________________________________________ _________________________________________
    8 Juni 2004

    SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
    NOMOR S – 443/PJ.53/2004

    TENTANG

    PPN JASA GILING DAN PPN OBAT RAWAT JALAN

    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

    Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 03 Desember 2003 perihal, PPN Jasa Giling dan PPN
    Obat Rawat Jalan dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut:
    1. Dalam surat Saudara dikemukakan bahwa:
    a. Seperti kita ketahui bahwa pabrik gula disamping menggiling tebu sendiri juga menggiling tebu rakyat dengan pola hasil 65% untuk petani tebu dan 35% untuk pabrik gula sebagai hasil jasa gilingnya. Karena sesuai Surat Edaran No. SE-23/PJ.51/2000 tentang PPN atas penyerahan gula pasir musim giling 2000 dengan harga prevenue Rp 2.600 dan hanya untuk produksi tahun 2000.
    b. Saudara menanyakan apakah PTPN/Pabrik gula masih harus memungut PPN atas jasa giling untuk musim giling tahun 2001 dan seterusnya dan kalau memungut dengan harga prevenue berapa. Karena kenyataan untuk musim giling 2001 dan seterusnya PTPN/Pabrik gula tidak memungut dan menyetor PPN atas jasa giling tersebut dengan alasan bahwa SE No. SE-23/PJ.51/2000 hanya berlaku untuk musim giling tahun 2000 sedang untuk tahun 2001 dan seterusnya tidak ada aturannya, apakah atas jasa giling untuk tahun 2001 dan seterusnya bila harus memungut perlu dikoreksi dan dicadangkan sebagai hutang PPN.
    c. Sesuai dengan Surat Edaran No. SE-06/PJ.52/2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas penggantian obat Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit bila tidak ada apotiknya hanya ada instalasi farmasi kalau ada penyerahan obat untuk rawat jalan harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 251/KMK.03/2002, Keputusan Menteri Keuangan No. 253/KMK.03/2002 dan diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 402/KMK.03/2002 maka Surat Edaran No. SE-06/PJ.52/2000 dinyatakan tidak berlaku sehingga Rumah Sakit yang ada Instalasi Farmasinya yang menyerahkan obat-obatan pada pasien rawat jalan harus memungut PPN 10%.
    d. Saudara menanyakan mana yang harus dikukuhkan sebagai PKP Rumah Sakitnya atau Yayasan yang mengelola Rumah Sakit tersebut, bagaimana cara pengkreditan Faktur Pajak Masukannya bila dalam pembelian obat-obatan tersebut menjadi satu Faktur Pajak bila untuk pembelian obat untuk rawat inap dan rawat jalan, karena Rumah Sakit sendiri juga kesulitan untuk memisahkan antara stock untuk obat rawat jalan dan rawat inap, dan andaikan yayasan Rumah Sakit tersebut belum dikukuhkan sebagai PKP apakah juga ada kewajiban menyetorkan PPN nya bila ada pemakaian obat untuk rawat jalan.

    2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, antara lain mengatur:
    a. Pasal 1 angka 14, menyatakan bahwa Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud dalam angka 13 yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
    b. Pasal 1 angka 15, menyatakan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha sebagaimana dimaksud dalam angka 14 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
    c. Pasal 1 angka 17, menyatakan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
    d. Pasal 1 angka 19, menyatakan bahwa Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
    e. Pasal 3A ayat 1, menyatakan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
    f. Pasal 4 huruf a, menyatakan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
    g. Pasal 4A ayat (3), menyatakan 12 jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, namun jasa giling tebu tidak termasuk kedalam jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
    3. Keputusan Menteri Keuangan No. 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak, antara lain mengatur:
    a. Pasal 2 ayat 1, Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
    a) Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai;
    b) Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
    1) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
    2) digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya;
    3) nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.

    b. Pasal 2 ayat 2, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2, wajib menghitung kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan tersebut dengan rumus sebagai berikut:

    X
    —— X PM
    Y

    dengan ketentuan bahwa:
    X adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam tahun buku yang bersangkutan;
    Y adalah jumlah seluruh peredaran dalam tahun buku yang bersangkutan;
    PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

    4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 253/KMK.03/2002 tentang PPN atas penyerahan Barang Dagangan oleh Pedagang Eceran selain yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 402/KMK.03/2002, antara lain mengatur:
    a. Pasal 1, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pedagang Eceran Selain yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah Pengusaha Orang Pribadi atau Badan yang menyelenggarakan pembukuan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaan utamanya adalah melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut:
    1) Menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan dari rumah ke rumah;
    2) Menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut;
    3) Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang dibelinya.
    b. Pasal 2, menyatakan bahwa atas penyerahan barang dagangan oleh Pedagang Eceran Selain yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, terutang PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga jual.

    5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003, diatur bahwa Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

    6. Berdasarkan ketentuan pada angka 2, 3 dan 4 serta dengan memperhatikan isi surat saudara pada angka 1, dengan ini ditegaskan bahwa:
    a. Karena Jasa giling tidak termasuk jasa yang tidak dikenakan pajak, maka atas jasa giling untuk musim giling tahun 2001 dan seterusnya tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai penggantian. Dalam hal imbalan atas jasa tersebut dalam bentuk natura (bagi hasil gula) maka nilai penggantian dapat dihitung sebesar nilai hasil yang diterima pada saat imbalan tersebut diterima atau dibayarkan.
    b. PTPN atau pabrik gula harus memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa giling tersebut.
    c. Dalam hal instalasi farmasi melakukan penyerahan obat kepada selain pasien rawat inap maka instalasi farmasi harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Mengingat Instalasi farmasi (kamar obat) merupakan suatu tempat untuk mengadakan dan menyimpan obat-obatan, gas medik, alat-alat kesehatan serta bah

  • hkw_tax

    Member
    7 June 2009 at 9:48 pm

    Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.52/2000 tentang PPN atas Penggantian Obat di Rumah Sakit, menyebutkan bahwa dalam kenyataannya instalasi farmasi melayani Rumah Sakit yang terdiri dari pasien rawat inap, pasien rawat jalan, dan pasien gawat darurat. Mengingat instalasi farmasi melakukan pelayanan kepada pasien rawat jalan sebagai lazimnya sebuah apotik, maka atas penyerahan obat-obatan oleh instalasi farmasi kepada pasien rawat jalan tetap terutang PPN.

    Apotek tersendiri, maka atas penyerahan obat terutang PPN.

  • Aries Tanno

    Member
    7 June 2009 at 11:21 pm

    sependapat rekan hkw
    kalau boleh saya simpulkan, bahwa kalau instalasi farmasi rumah sakit hanya melayani pasien rawat inap, tidakharus PKP. karena jasa medik yang dilakukan serta obat-obat yang diberikan bersamaan dengan medik tersebut tidak merupakan objek PPN. karena obat-obat tersebut lazimnya include dalam jasa medik.
    sebaliknya, apabila instalasi tersebut juga melayani pasien rawat jalan, bila batas pengusaha kecil telah terlampaui wajib PKP.
    demikian rekan hkw

    Salam

  • mata

    Member
    8 June 2009 at 7:35 am

    Setuju dgn rekan hkw, tapi sebaiknya untuk RS harus jelas pembukuannya dipisahkan mana yang bukan objek mana yg objek karena Instalasi Farmasi terdiri dari beberapa Kamar Obat …. menurut saya apotik non RS merupakan objek PPN dan harus PKP…. mohon koreksi

  • Noel

    Member
    8 June 2009 at 9:10 am

    Terima kasih penjelasan dari rekan-rekan sekalian
    kalau ada yang mau menambahkan dipersilakan

  • bayem

    Member
    8 June 2009 at 9:15 am
    Originaly posted by EVAN212:

    perhitungan PPN untuk RS berbeda dengan mekanisme biasa karena ada PM yg harus diperhitungkan kembali paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. dan juga selama melekat pada pasien rawat inap maka obat menjadi tidak kena PPN….jadi tidak perlu dipisahkan lagi antara BKP dan JKP karena melekat pada jenis pasiennya…..

    thanks koreksinya….

  • Noel

    Member
    8 June 2009 at 3:09 pm

    Jadi, rumah sakit tersebut harus memisahkan nilai penyerahan atas obat-obatan untuk pasien rawat inap dan rawat jalan begitu?

  • hkw_tax

    Member
    8 June 2009 at 3:41 pm
    Originaly posted by mata:

    Setuju dgn rekan hkw, tapi sebaiknya untuk RS harus jelas pembukuannya dipisahkan mana yang bukan objek mana yg objek karena Instalasi Farmasi terdiri dari beberapa Kamar Obat …. menurut saya apotik non RS merupakan objek PPN dan harus PKP…. mohon koreksi

    Originaly posted by hanif:

    kalau boleh saya simpulkan, bahwa kalau instalasi farmasi rumah sakit hanya melayani pasien rawat inap, tidakharus PKP. karena jasa medik yang dilakukan serta obat-obat yang diberikan bersamaan dengan medik tersebut tidak merupakan objek PPN. karena obat-obat tersebut lazimnya include dalam jasa medik.
    sebaliknya, apabila instalasi tersebut juga melayani pasien rawat jalan, bila batas pengusaha kecil telah terlampaui wajib PKP.
    demikian rekan hkw

    Sependapat dengan rekan hanif dan rekan mata.

Viewing 1 - 14 of 14 replies

Original Post
0 of 0 posts June 2018
Now