Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 422/KMK.06/2003

Kategori : Lainnya

Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 422/KMK.06/2003

TENTANG

PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyesuaian secara menyeluruh terhadap ketentuan mengenai Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 225/KMK.017/1993;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;

 

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha, Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 9861);
  3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;

 


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI.



BAB I

KETENTUAN UMUM


Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:

  1. Polis Asuransi adalah polis atau perjanjian asuransi, atau dengan nama apapun, serta dokumen lain yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi, termasuk tanda bukti kepesertaan asuransi bagi pertanggungan kumpulan, antara pihak penanggung dan pihak pemegang polis atau tertanggung.
  2. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

 


BAB II

PRODUK ASURANSI BARU


Pasal 2

Suatu produk asuransi dinyatakan sebagai produk asuransi baru apabila:

(a)

produk asuransi tersebut belum pernah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi yang bersangkutan; atau 

(b)

produk asuransi tersebut merupakan perubahan atas produk asuransi yang sudah dipasarkan, yang perubahannya meliputi risiko yang ditutup, ketentuan polis, rumusan premi, metode cadangan premi atau nilai tunai.



Pasal 3

(1) Pelaporan mengenai rencana memasarkan produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, untuk produk asuransi kerugian harus dilengkapi dengan:
  1. spesimen Polis Asuransi;
  2. pernyataan tenaga. ahli yang berisi uraian dan dasar perhitungan tingkat premi dan cadangan teknis, lengkap dengan asumsi-asumsi dan data pendukungnya;
  3. proyeksi underwriting untuk 3 (tiga) tahun mendatang;
  4. dukungan reasuransi untuk produk asuransi dimaksud;
  5. uraian cara pemasaran dan contoh brosur yang dipergunakan;
  6. perjanjian kerja sama dalam hal produk asuransi dimaksud dipasarkan bersama pihak lain;
  7. pengesahan oleh Dewan Pengawas Syariah bagi Perusahaan Asuransi atau kantor cabang Perusahaan Asuransi yang diselenggarakan dengan prinsip syariah.
(2) Pelaporan mengenai rencana memasarkan produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, untuk produk asuransi jiwa harus dilengkapi dengan
  1. spesimen Polis Asuransi;
  2. pernyataan aktuaris yang berisi uraian dan perhitungan mengenai:
    1. tarip premi, cadangan teknis, berikut asumsi aktuaria dan data pendukungnya;
    2. nilai tunai, dividen polis atau yang sejenis dalam hal produk asuransi tersebut mengandung nilai tunai, dividen polis atau yang sejenis;
  3. profit test-big atau asset share;
  4. dukungan reasuransi untuk produk asuransi dimaksud;
  5. uraian cara pemasaran dan contoh brosur yang dipergunakan;
  6. contoh perjanjian kerja sama dalam hal produk asuransi dimaksud dipasarkan bersama pihak lain;
  7. pengesahan oleh Dewan Pengawas Syariah bagi Perusahaan Asuransi atau kantor cabang Perusahaan Asuransi yang diselenggarakan dengan prinsip syariah.



Pasal 4

Perusahaan Asuransi Kerugian yang akan memasarkan produk asuransi baru surety bond dan atau yang sejenis, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi ajun ahli manajemen asuransi kerugian dengan pengalaman di bidang surety bond sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
  2. jenis jaminan yang ditutup terbatas hanya pada penjaminan konstruksi (construction bond) dan custom bond.

 


Pasal 5

(1)

Perusahaan Asuransi Jiwa yang akan memasarkan produk asuransi baru yang dikaitkan dengan investasi, antara lain untuk produk asuransi unit link, dan atau yang sejenis, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi wakil manajer investasi dengan pengalaman di bidangnya sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
  2. memiliki sistem informasi yang memadai;
(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.



Pasal 6

Perusahaan Asuransi yang akan memasarkan produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 harus memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan tidak sedang dikenakan sanksi administratif.



BAB III

POLIS


Pasal 7

Dalam setiap penutupan asuransi, Polis Asuransi harus sesuai spesimen Polis Asuransi yang dilaporkan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.



Pasal 8

Polis Asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan mengenai:

  1. saat berlakunya pertanggungan,
  2. uraian manfaat yang diperjanjikan,
  3. cara pembayaran premi,
  4. tenggang waktu (grace period) pembayaran premi,
  5. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila pernbayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah,
  6. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi,
  7. kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran. premi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati;
  8. periode dimana pihak perusahaan tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak asuransi (incontestable period);
  9. tabel nilai tunai, bagi Polis Asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai;
  10. perhitungan dividen polis atau yang sejenis, bagi Polis Asuransi jiwa yang menjanjikan dividen polis atau yang sejenis;
  11. penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung maupun dari pihak pemegang polis, termasuk syarat dan penyebabnya;
  12. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang diperlukan dalam mengajukan klaim;
  13. pemilihan tempat penyelesaian perselisihan;
  14. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat, untuk Polis Asuransi yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih.



Pasal 9

Polis Asuransi harus dicetak dengan jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah clan dimengerti baik langsung maupun tidak langsung oleh pemegang polis dan atau tertanggung.



Pasal 10

(1) Setiap Polis Asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal diperlukan, Polis Asuransi dapat dibuat dalam bahasa asing berdampingan dengan Bahasa Indonesia.



Pasal 11

(1)

Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditutup berdasarkan Polis Asuransi yang bersangkutan, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengecualian atau pembatasan tersebut.

(2)

Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang clapat ditafsirkan sebagai pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban penanggung, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengurangan, pembatasan, atau pembebasan penanggung tersebut.



Pasal 12

Besarnya nilai tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf (i) untuk polis-polis yang diterbitkan sejak ditetapkannya keputusan ini, sekurang-kurangnya sebesar:

  1. 95% (sembilan puluh lima per seratus) dari cadangan premi, untuk produk asuransi jiwa seumur hidup;
  2. 80% (delapan puluh per seratus) dari cadangan premi, untuk produk asuransi jiwa lainnya; atau
  3. Akumulasi dana pemegang polis untuk polis yang dikaitkan dengan investasi dan polis lainnya yang sejenis.



Pasal 13

(1)

Dalam hal pembayaran premi dan atau klaim dari Polis Asuransi dengan mata uang asing dilakukan dengan mata uang rupiah, pembayaran tersebut harus menggunakan kurs yang ekivalen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat pembayaran.

(2)

Kurs yang ekivalen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menghasilkan sejumlah mata uang asing yang seharusnya diterima oleh si penerima pembayaran tersebut apabila pembayaran dilakukan dengan mata uang asing dimaksud.

(3) Dalam polis asuransi dengan indeks rupiah, pembayaran premi atau manfaat harus didasarkan pada rasio indeks yang berlaku pada saat pembayaran.



Pasal 14

(1)

Dalam Polis Asuransi yang diterbitkan oleh Perusahaan Asuransi yang berbentuk usaha bersama harus dicantumkan ketentuan tentang memiliki atau tidak memiliki hak suara bagi pemegang polis.

(2)

Ketentuan tentang memiliki atau tidak memiliki hak suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan.



PasaI 15

Dalam Polis Asuransi dilarang dicantumkan suatu ketentuan yang dapat ditafsirkan bahwa tertanggung tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga tertanggung harus menerima penolakan pembayaran klaim.



Pasal 16

Dalam Polis Asuransi dilarang dicantumkan ketentuan yang dapat ditafsirkan sebagai pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai ketentuan polis.



Pasal 17

Ketentuan dalam Polis Asuransi yang mengatur mengenai pemilihan pengadilan dalam hal terjadi perselisihan yang menyangkut perjanjian asuransi, tidak boleh membatasi pemilihan pengadilan hanya pada pengadilan negeri di tempat kedudukan penanggung.



Pasal 18

Apabila Menteri menilai bahwa dalam ketentuan polis terdapat hal-hal yang dapat merugikan pihak tertanggung atau pihak penanggung, Menteri dapat meminta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi untuk meninjau ulang ketentuan polis dimaksud.



BAB IV

PREMI


Pasal 19

(1) Perhitungan tingkat premi harus didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktek asuransi yang berlaku umum.
(2) Penetapan tarif premi asuransi kerugian harus dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya:
  1. premi murni yang dihitung berdasarkan profil kerugian (risk and loss profite) jenis asuransi yang bersangkutan untuk sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun terakhir;
  2. biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya.
(3) Penetapan tarif premi asuransi jiwa harus dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya:
  1. premi murni yang dihitung berdasarkan tingkat bunga, tabel mortalita, atau tabel morbidita yang dipergunakan;
  2. biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya;
  3. prakiraan hasil investasi dari premi.



BAB V

PENGHENTIAN PERTANGGUNGAN


Pasal 20

(1) Penghentian pertanggungan, baik atas kehendak penanggung maupun tertanggung, harus dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis.
(2)

Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis Asuransi yang tidak memiliki unsur tabungan, maka besar pengembalian premi sekurang-kurangnya sebesar jumlah yang dihitung secara proporsional berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan, setelah dikurangi bagian premi yang telah dibayarkan kepada perusahaan pialang asuransi dan atau komisi agen.

(3)

Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis Asuransi yang memiliki unsur tabungan, Perusahaan Asuransi harus membayar paling sedikit sejumlah nilai tunai pada saat penghentian tersebut.



BAB VI

REASURANSI


Pasal 21

(1) Perusahaan Asuransi wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis untuk setiap produk asuransi pada setiap cabang asuransi yang dipasarkan.
(2) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk Perusahaan Asuransi Kerugian, sekurang-kurangnya diperoleh dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi dan 1 (satu) Perusahaan Asuransi Kerugian lainnya di dalam negeri;
  2. untuk Perusahaan Asuransi Jiwa, sekurang-kurangnya diperoleh dari 1 (satu) Perusahaan Reasuransi di dalam negeri.
(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak berlaku dalam hal tidak ada Perusahaan Reasuransi yang memberikan dukungan reasuransi otomatis terhadap produk asuransi yang dipasarkan tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

(4)

Dukungan reasuransi otomatis dari penanggung ulang di luar negeri bagi Perusahaan Asuransi Kerugian, hanya dapat dilakukan apabila perusahaan dimaksud telah terlebih dahulu memperoleh dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri dalam jumlah atau prosentase tertentu.

(5)

Dukungan reasuransi fakultatif hanya dapat dilakukan dalam hal dukungan reasuransi otomatis tidak mencukupi atau jenis risiko yang ditutup tidak temasuk dalam dukungan reasuransi otomatis, dengan mempertimbangkan ketersediaan kapasitas dalam negeri.

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.



Pasal 22

(1)

Dukungan reasuransi dari perusahaan penanggung ulang di luar negeri hanya dapat dilakukan pada perusahaan penanggung ulang yang pada saat penempatan memiliki peringkat sekurang-kurangnya BBB atau yang setara dengan itu.

(2)

Dalam hal penanggung ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memiliki peringkat yang berbeda maka peringkat yang digunakan adalah peringkat yang terendah.

(3)

Dalam hal perusahaan penanggung ulang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memiliki peringkat dari badan pemeringkat, maka perusahaan penanggung ulang dimaksud harus memiliki reputasi baik yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan dari badan pembina dan pengawas asuransi setempat, yang menjelaskan bahwa:

  1. perusahaan yang bersangkutan masih memiliki izin usaha;
  2. perusahaan yang bersangkutan tidak sedang dikenakan sanksi oleh badan pembina dan pengawas asuransi setempat; dan
  3. kondisi keuangan perusahaan yang bersangkutan memiliki modal sendiri sekurang-kurangnya 150% (seratus lima puluh per seratus) dari minimum modal disetor Perusahaan Reasuransi di dalam negeri.
(4)

Bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) diajukan oleh Perusahaan Asuransi kepada Menteri bersamaan dengan waktu penyampaian laporan program reasuransi otomatis.



Pasal 23

(1)

Pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri.

(2)

Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan bahwa pengalihan dimaksud:

  1. tidak mengurangi hak pemegang polis, tertanggung, atau ahli waris;
  2. dilakukan pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sejenis; dan
  3. tidak menyebabkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menerima pengalihan dimaksud melanggar ketentuan yang berlaku di bidang usaha perasuransian.
(3) 

Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi mengalihkan seluruh portofolio pertanggungan, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dimaksud harus menyampaikan permohonan pemegang saham, untuk mengembalikan izin usaha setelah selesainya pengalihan portofolio pertanggungan.

(4)  Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
(5)  Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Menteri tidak menolak persetujuan dimaksud, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan dapat melakukan pengalihan portofolio pertanggungan yang diajukan.
(6)

Setelah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan mengalihkan portofolio pertanggungan wajib terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada setiap pemegang polis.

(7) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang mengalihkan portofolio pertanggungan harus mengumumkan pengalihan tersebut pada surat kabar harian Indonesia yang berperedaran luas sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) hari berturut-turut.
(8)

Setelah selesainya pengalihan portofolio pertanggungan, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus melaporkan kepada Menteri hasil pelaksanaan pengalihan portofolio pertanggungan dimaksud.

 


Pasal 24

Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah selesai mengalihkan seluruh portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (3).



BAB VIII

PENYELESAIAN KLAIM


Pasal 25

Tindakan yang dapat dikategorikan memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan. Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, adalah tindakan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang:

  1. memperpanjang proses penyelesaian klaim dengan meminta penyerahan dokumen tertentu, yang kemudian diikuti dengan meminta penyerahan dokumen lain yang pada dasarnya berisi hal yang sama;
  2. menunda penyelesaian dan pembayaran klaim dengan mengaitkannya pada penyelesaian dan atau pembayaran klaim reasuransinya;
  3. tidak meIakukan penyelesaian klaim yang merupakan bagian dari penutupan asuransi dengan mengaitkannya pada penyelesaian klaim yang merupakan bagian lain dari penutupan asuransi dalam 1 (satu) polis yang sama;
  4. rnemperlambat penunjukan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, apabila jasa Penilai Kerugian Asuransi dibutuhkan dalam proses penyelesaian klaim; atau
  5. menerapkan prosedur penyelesaian klaim yang tidak sesuai dengan praktek usaha asuransi yang berlaku umum.

 


Pasal 26

(1) Perusahaan Asuransi hanya dapat meminta dokumen sebagai syarat pengajuan klaim sesuai dengan yang tertera dalam Polis Asuransi.
(2) Dalam hal Polis Asuransi mencantumkan syarat lain-lain sebagai persyaratan pengajuan klaim, syarat lain-lain tersebut harus :
  1. relevan dengan pertanggungan;
  2. dan wajar dalam proses penyelesaian klaim.
(3) Ketentuan mengenai syarat lain-lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dimuat dalam Polis Asuransi.



Pasal 27

Perusahaan Asuransi harus telah membayar klaim paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak adanya kesepakatan antara tertanggung dan penanggung atau kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar.



BAB IX

PELAPORAN


Pasal 28

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap tahun wajib menyampaikan laporan program reasuransi otomatis (treaty) untuk kegiatan tahun berjalan kepada Menteri, paling lambat pada tanggal 15 Januari.



Pasal 29

(1)

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan operasional tahunan untuk periode yang berakhir per 31 Desember kepada Menteri.

(2) Laporan operasional tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 30 April tahun berikutnya.



Pasal 30

(1)

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan operasional untuk kegiatan setiap satu triwulan yang berakhir per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember, kepada Menteri.

(2)

Laporan operasional sebagaimana dimaksud ayat (1) masing-masing harus disampaikan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.

(3)

Laporan Operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan prinsip, Syariah, atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki cabang dengan prinsip Syariah, harus dilengkapi dengan Pernyataan Dewan Pengawas Syariah bahwa penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dimaksud untuk triwulan yang bersangkutan tidak menyimpang dari prinsip syariah.



Pasal 31

(1)

Aktuaris Perusahaan wajib menyampaikan laporan mengenal perkiraan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun mendatang.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.



Pasal 32

Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.



BAB X

DENDA ADMINISTRATIF


Pasal 33

(1) Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal I angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
  1. mengisi formulir Surat Setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (SSBP) yang menunjuk rekening kas negara dengan menyebutkan uraian penerimaan sebagai pendapatan anggaran lainnya;
  2. membayar denda melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, atau bank yang ditunjuk oleh Pemerintah (bank persepsi), atau kantor Pos.
(2) Pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penyampaian laporan tahunan.
(3)

Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dikenakan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha karena tidak menyampaikan laporan tahunan, maka pencabutan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha hanya dapat dilakukan apabila laporan tahunan dan bukti pembayaran denda telah disampaikan kepada Menteri.

(4)

Bukti pembayaran denda berupa tembusan SSBP disampaikan kepada Direktorat Asuransi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal pembayaran denda dimaksud.



BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 34

Setiap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah mendapat izin usaha sebelum ditetapkannya Keputusan ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan dalam Keputusan ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak keputusan ini ditetapkan.



BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 35

Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 36

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2003
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


ttd,


BOEDIONO