Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 135/KMK.05/2000

Kategori : Lainnya

Keringanan Bea Masuk Atas Impor Mesin, Barang Dan Bahan, Dalam Rangka Pembangunan/ Pengembangan Industri/Industri Jasa


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 135/KMK.05/2000

TENTANG

KERINGANAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN, BARANG DAN BAHAN,
DALAM RANGKA PEMBANGUNAN/PENGEMBANGAN INDUSTRI/INDUSTRI JASA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :


  1. bahwa untuk mendorong industri dan efisiensi nasional, perlu diberikan kemudahan berupa keringanan Bea Masuk atas impor mesin, barang dan bahan, dalam rangka pembangunan/pengembangan industri/industri jasa;
  2. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pemberian fasilitas Bea Masuk dengan tetap memperhatikan kepentingan penerimaan negara, dipandang perlu mengganti Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 297/KMK.01/1997 jo. Nomor : 545/KMK.01/1997 dan Nomor : 546/KMK.01/1997;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
  3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
  4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3330);
  6. Keputusan Presiden Nomor 355/M Tahun 1999;
  7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 440/KMK.05/1996 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Besarnya Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 569/KMK.01/1999;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KERINGANAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN, BARANG DAN BAHAN, DALAM RANGKA PEMBANGUNAN/PENGEMBANGAN INDUSTRI/INDUSTRI JASA.



Pasal 1


Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

  1. Pembangunan adalah pendirian baru industri yang menghasilkan barang dan/atau jasa.

  2. Pengembangan adalah perluasan, diversifikasi hasil produksi dan restrukturisasi (modernisasi dan rehabilitasi) mesin, peralatan pabrik dan peralatan lainnya beserta komponen-komponennya, untuk tujuan peningkatan kapasitas produksi, mutu, jenis produksi, efisiensi, dari industri/industri jasa yang telah ada.

  3. Mesin adalah setiap mesin, permesinan, alat perlengkapan instalasi pabrik, peralatan atau perkakas, dalam keadaan terpasang maupun terlepas yang digunakan untuk pembangunan atau pengembangan industri/industri jasa yang terkait dengan kegiatan industri/industri jasa, tidak termasuk suku cadang dan komponen.

  4. Barang dan bahan (bahan baku) adalah semua barang atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan barang jadi.

  5. Industri adalah perusahaan yang telah memiliki izin usaha untuk mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi, dan/atau barang jadi, menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

  6. Industri jasa adalah perusahaan yang telah memiliki izin usaha yang kegiatannya di bidang jasa, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.



Pasal 2


(1) Atas impor mesin dalam rangka pembangunan/pengembangan industri/industri jasa diberikan keringanan Bea Masuk sehingga tarif akhir Bea Masuknya menjadi 5% (lima persen).
(2) Dalam hal tarif Bea Masuk yang tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) 5% (lima persen) atau kurang maka yang berlaku adalah tarif Bea Masuk dalam BTBMI.
(3) Keringanan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan bea masuk.


Pasal 3


(1) Terhadap industri yang telah mendapat keringanan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kecuali industri jasa, dalam rangka pembangunan dapat diberikan keringanan Bea Masuk atas impor barang dan bahan untuk keperluan produksi 2 (dua) tahun sesuai kapasitas terpasang, sehingga tarif akhir Bea Masuknya menjadi 5% (lima persen) dengan jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan.
(2) Terhadap industri yang telah mendapat keringanan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kecuali industri jasa, dalam rangka pengembangan dapat diberikan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan untuk keperluan tambahan produksi 2 (dua) tahun sehingga tarif akhir Bea Masuknya menjadi 5% (lima persen), apabila pengembangan menambah kapasitas sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari besarnya kapasitas terpasang dengan jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan.
(3) Dalam hal tarif Bea Masuk yang tercantum dalam BTBMI 5% (lima persen) atau kurang maka yang berlaku adalah tarif Bea Masuk dalam BTBMI.


Pasal 4


(1) Kebutuhan mesin, barang dan bahan dalam rangka pembangunan industri; dan tambahan kebutuhan barang dan bahan dalam rangka pengembangan industri, diverifikasi oleh departemen/instansi terkait, yaitu:
a. Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN bagi perusahaan PMA/PMDN;
b. Departemen Perindustrian dan Perdagangan atau instansi terkait lainnya bagi perusahaan non PMA/PMDN.
(2) Dalam melaksanakan verifikasi, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) khusus dalam rangka pembangunan, departemen/instansi terkait menggunakan surveyor yang ditunjuk Pemerintah.


Pasal 5


Terhadap industri yang melakukan pembangunan/pengembangan dengan menggunakan mesin produksi buatan dalam negeri dapat diberikan keringanan Bea Masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk keperluan produksi/keperluan tambahan produksi 4 (empat) tahun, dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan.



Pasal 6


Terhadap impor mesin dalam keadaan bukan baru harus disertai dengan sertifikat dari surveyor yang menyatakan bahwa mesin tersebut masih baik dan bukan scraps atau besi tua.



Pasal 7


(1) Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak berlaku untuk industri perakitan kendaraan bermotor, kecuali industri komponen kendaraan bermotor.
(2) Industri/industri jasa yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan/keringanan Bea Masuk berdasarkan ketentuan lain, tidak dapat menggunakan fasilitas keringanan berdasarkan Keputusan ini.


Pasal 8


(1) Permohonan untuk memperoleh keringanan Bea Masuk atas impor mesin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam rangka pembangunan industri, dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. Surat Izin Usaha dari departemen/instansi terkait;
c. Hasil verifikasi dari departemen/instansi terkait terhadap kebutuhan mesin, antara lain meliputi jumlah, jenis, spesifikasi dan harga;
d. Uraian ringkas proses produksi bagi industri yang menghasilkan barang;
e. Uraian ringkas kegiatan usaha, bagi industri jasa.
(2) Permohonan untuk memperoleh keringanan Bea Masuk atas impor barang dan bahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam rangka pembangunan industri, dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. Surat Izin Usaha dari departemen/instansi terkait;
c. Hasil verifikasi dari departemen/instansi terkait terhadap kebutuhan barang dan bahan;
d. Fotocopy dokumen impor mesin, atau pembelian mesin dalam negeri.
(3) Permohonan untuk memperoleh keringanan Bea Masuk atas impor mesin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam rangka pengembangan industri, dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. Surat Izin Usaha dari departemen/instansi terkait;
c. Surat Izin Perluasan bagi industri yang melakukan penambahan kapasitas sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari besarnya kapasitas terpasang yang disetujui oleh departemen/instansi terkait;
d. Daftar jumlah, jenis, spesifikasi dan harga mesin;
e. Uraian ringkas proses produksi bagi industri yang menghasilkan barang;
f. Uraian ringkas kegiatan usaha, bagi industri jasa.
(4) Permohonan untuk memperoleh keringanan Bea Masuk atas impor barang dan bahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam rangka pengembangan industri, dilampiri dokumen sebagai berikut:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. Surat Izin Usaha dari departemen/instansi terkait;
c. Hasil verifikasi dari departemen/instansi terkait terhadap kebutuhan tambahan barang dan bahan;
d. Surat Izin Perluasan bagi Industri yang melakukan penambahan kapasitas sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari besarnya kapasitas terpasang yang disetujui oleh departemen/instansi terkait;
e. Fotokopi dokumen impor mesin, atau pembelian mesin dalam negeri.


Pasal 9


(1) Permohonan untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diajukan kepada :
a. Untuk Pembangunan Industri dalam rangka PMA/PMDN kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN atau pejabat yang ditunjuknya;
b. Untuk Pengembangan Industri PMA/PMDN dan Non PMA/PMDN serta Pembangunan Industri Non PMA/PMDN kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memenuhi persyaratan, Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN/Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan keringanan Bea Masuk, dengan dilampiri daftar mesin atau barang dan bahan yang diberikan keringanan bea masuk serta penunjukan pelabuhan bongkar.
(3) Industri/industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan bea masuk wajib:
a. Menyelenggarakan pembukuan pengimporan mesin, barang dan bahan untuk keperluan audit di bidang kepabeanan;
b. Menyimpan dan memelihara untuk sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya, dokumen, catatan-catatan dan pembukuan sehubungan dengan pemberian keringanan bea masuk;
c. Menyampaikan laporan realisasi impor.


Pasal 10


(1) Atas mesin, barang dan bahan yang telah mendapatkan fasilitas keringanan Bea Masuk hanya dapat digunakan untuk kepentingan industri yang bersangkutan.
(2) Penyalahgunaan mesin, barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya fasilitas Bea Masuk yang diberikan atas barang tersebut sehingga Bea Masuk yang terhutang harus dibayar dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari kekurangan Bea Masuk.


Pasal 11


Atas barang yang mendapatkan fasilitas keringanan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan atau Pasal 3, apabila pada saat pengimporannya tidak memenuhi ketentuan tentang jumlah, jenis, spesifikasi teknis yang tercantum dalam daftar barang dipungut Bea Masuk dan pungutan impor lainnya.



Pasal 12


(1) Untuk pengamanan hak keuangan negara dan menjamin dipenuhinya ketentuan-ketentuan kepabeanan dan cukai yang berlaku, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan audit atas pembukuan, catatan-catatan, dan dokumen perusahaan yang berkaitan dengan pemasukan dan penggunaan barang.
(2) Berdasarkan hasil audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha bertanggung jawab atas pelunasan Bea Masuk yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda.


Pasal 13


(1) Perusahaan yang telah memperoleh fasilitas pembebasan Bea Masuk atas impor mesin, barang dan bahan berdasarkan ketentuan lama dan belum merealisir seluruh impornya dapat tetap menggunakan Keputusan pemberian fasilitas pabean berdasarkan ketentuan lama hingga berakhirnya masa berlaku Keputusan yang bersangkutan, dengan ketentuan tidak dapat diperpanjang dan atau diubah.
(2) Dengan berlakunya Keputusan ini, maka:
a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 297/KMK.01/1997 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 545/KMK.01/1997;
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 546/KMK.01/1997;
dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 14


Ketentuan teknis yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan atau Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN.



Pasal 15


Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Mei 2000
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd


BAMBANG SUDIBYO