Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 766/KMK.04/1992

Kategori : PPh, PPN

Tata Cara Penghitungan, Penyetoran Dan Pelaporan Bagian Pemerintah, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pungutan-Pungutan Lainnya Atas Hasil Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi Untuk Pembangkitan Energi/Listrik


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 766/KMK.04/1992

TENTANG

TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN BAGIAN PEMERINTAH, PAJAK PENGHASILAN,
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PUNGUTAN-PUNGUTAN LAINNYA ATAS HASIL PENGUSAHAAN SUMBER DAYA
PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN ENERGI/LISTRIK

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

 

  1. bahwa dengan ditetapkannya keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1991 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan-Pungutan lainnya terhadap pelaksanaan kuasa dan ijin pengusahaan sumberdaya Panasbumi untuk pembangkitan energi/listrik, terhadap pengusaha sumberdaya Panasbumi telah ditentukan kewajiban untuk menyetorkan bagian Pemerintah, pembayaran pajak-pajak dan pungutan lainnya;
  2. bahwa untuk menghitung besarnya bagian Pemerintah, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan pungutan-pungutan lainnya tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan tatacara penghitungannya dengan Keputusan Menteri Keuangan;


Mengingat :

 

  1. Indische Tariefwet 1873 (Stbl. 1873 Nomor 35) Sebagaimana telah diubah dan ditambah;
  2. Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070);
  3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971);
  4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
  5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
  6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);
  7. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312);
  8. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3313);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3287) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1991 (Lembaran Negara 1991 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3463);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1985 tentang Barang yang Digunakan untuk Operasi Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3311);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh Pedagang Besar dan Penyerahan Jasa Kena Pajak disamping Jasa yang dilakukan oleh Pemborong (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3385);
  12. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1981 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1991 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1981;
  13. Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tentang Penunjukkan Badan-badan tertentu dan Bendaharawan untuk memungut dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
  14. Keputusan Presiden Nomor 64/M Tahun 1988 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan V;
  15. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1989 tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Pencarian Sumber-sumber dan Pemboran Minyak, Gas Bumi, dan Panasbumi bagi para Kontraktor yang belum Berproduksi;
  16. Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1991 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan-pungutan lainnya, terhadap Pelaksanaan Kuasa dan Ijin Pengusahaan Sumberdaya Panasbumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 83);
  17. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 457/KMK.012/1984 tentang Penentuan Jenis-jenis Harta Dalam Masing-masing Golongan Harta untuk keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor yang melakukan Kontrak Production Sharing dalam eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas Bumi dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) yang ditandatangani setelah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983;
  18. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 572/KMK.01/1989 tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas Pencarian Sumber-sumber dan Pemboran Minyak, Gas Bumi dan Panasbumi kepada para Kontraktor yang belum berproduksi;



MEMUTUSKAN :


Menetapkan :


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN BAGIAN PEMERINTAH, PAJAK PENGHASILAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PUNGUTAN-PUNGUTAN LAINNYA ATAS HASIL PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK PEMBANGKITAN ENERGI/LISTRIK.



BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

  1. Pengusaha adalah Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA), Kontraktor Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract) dan Pemegang ijin Pengusahaan Sumber daya Panas bumi yang semata-mata melakukan eksplorasi dan eksploitasi Sumber daya panas bumi untuk menghasilkan uap panas bumi guna pembangkitan Energi/Listrik atau secara terpadu menghasilkan uap panas bumi dan membangkitkan Energi/Listrik (Total Project).

  2. Penerimaan Bersih Usaha (Net Operating Income) atau Penghasilan Kena Pajak (Taxable Income) adalah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 yang diterima atau diperoleh pengusaha dalam 1 (satu) tahun pajak setelah dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Masuk, Bea Meterai dan pungutan-pungutan lainnya.



BAB II
PENGHITUNGAN DAN PENYETORAN BAGIAN PEMERINTAH


Pasal 2


(1)

Pengusaha berkewajiban untuk menyetor bagian Pemerintah sebesar 33% (tiga puluh empat persen) dari penerimaan bersih usaha kedalam Rekening Penerimaan Panas Bumi Departemen Keuangan pada Bank Indonesia.

(2)

Bagian Pemerintah sebesar 33% (tiga puluh empat persen) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberlakukan sebagai penyetoran Pajak Penghasilan.

(3)

Adapun Pajak-pajak Lainnya yaitu Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan dan Pungutan-pungutan lainnya ditanggung/dikembalikan oleh Pemerintah.



Pasal 3


Bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus disetor setiap triwulan dan besarnya angsuran bagian Pemerintah untuk setiap triwulan adalah sebesar 33% (tiga puluh empat persen) dari Penerimaan Bersih Usaha yang terhutang pada triwulan yang bersangkutan.



BAB III
IMPOR BARANG OPERASI OLEH PENGUSAHA


Pasal 4


Atas impor barang operasi oleh Pengusaha untuk keperluan pengusahaan sumber daya Panas bumi tidak dipungut Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1985 dan Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan Nomor
2619 K/11/M.PE/1985
948/KMK.05/1985
1069/Kpb/XII/1985



BAB IV
PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


Pasal 5


Atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh pengusaha dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.



Pasal 6


(1)

Dalam hal Pengusaha telah menyetor Bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka terhadap Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar oleh Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikembalikan kepada Pengusaha yang bersangkutan.

(2)

Untuk mendapatkan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), permohonan pengembalian diajukan oleh Pengusaha kepada Direktorat Jenderal Moneter dengan bukti-bukti asli faktur pajak yang bersangkutan dan Surat Setoran Pajak sepanjang yang bersangkutan pemungut PPN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988.

(3)

Direktur Jenderal Moneter setelah memperoleh konfirmasi keabsahan Faktur Pajak dan Surat Setoran Pajak dari Direktur Jenderal Pajak, meminta Direktur Jenderal Anggaran untuk mengembalikan Pajak Pertambahan Nilai tersebut atas beban Kas Negara.



Pasal 7


(1)

Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang atas penyerahan jasa pencarian sumber-sumber Panas bumi dan Jasa Pengeboran, diberikan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1991 jo Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1989.

(2)

Untuk mendapatkan penundaan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pengusaha mengajukan permohonan pada Direktur Jenderal Pajak disertai dengan surat Rekomendasi dari Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi.



BAB V
PERLAKUAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SERTA PUNGUTAN LAINNYA


Pasal 8


Kewajiban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan serta pungutan-pungutan lainnya yang berkaitan dengan kewajiban pengusaha dalam pengusahaan sumber daya Panas bumi akan diselesaikan oleh Direktorat Jenderal Moneter.



BAB VI
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN


Pasal 9


(1)

Besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang oleh pengusaha adalah tarif sebagaimana diatur dalam pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dikalikan dengan penghasilan kena pajak (Taxable Income).

(2)

Dalam hal pengusaha berbentuk permanent establishment (Bentuk Usaha Tetap), bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 telah memenuhi kewajiban pelunasan Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Pasal 26 huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.



Pasal 10


(1)

Penghitungan biaya Penyusutan atas aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan oleh pengusaha dilakukan berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan memperhatikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 457/KMK.012/1984 tanggal 21 Mei 1984.

(2)

Pembebanan biaya penyusutan tersebut, dilakukan secara proporsional pertriwulan yaitu 1/4 (seperempat) dari biaya penyusutan 1 (satu) tahun.



Pasal 11


Dalam hal kepada Pengusaha diberikan perangsang Panas bumi (Geothermal Allowance) dan atau perangsang lainnya yang disetujui oleh Menteri Pertambangan dan Energi, perangsang-perangsang dimaksud merupakan penghasilan yang harus ditambahkan kedalam Penerimaan Bersih Usaha (Net Operating Income).



Pasal 12


(1)

Surat Keterangan Pembayaran Pajak Penghasilan dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Bentuk Usaha Tetap setelah Bentuk Usaha Tetap memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan setelah dilakukan penelitian atau pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

(2)

Besarnya Pajak dalam surat keterangan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sama dengan jumlah yang disetorkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(3)

Sebelum Surat Keterangan Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dapat dikeluarkan Surat Keterangan berisi tentang besarnya pajak penghasilan yang telah disetor oleh Bentuk Usaha Tetap, setelah seluruh jumlah setoran bagian Pemerintah tersebut dilunasi pada Rekening Penerimaan Panas bumi Departemen Keuangan di Bank Indonesia dan pemberitahuan realisasi pembayarannya telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Direktur Jenderal Moneter.



BAB VII
LAIN-LAIN


Pasal 13


(1)

Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan, pengusaha wajib menyetor bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(2)

Selambat-lambatnya tanggal 30 (tiga puluh) setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan, pengusaha wajib melaporkan perhitungan dan pelaksanaan penyetoran bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Direktur Jenderal Moneter.

(3)

Dalam hal pengusaha terlambat melakukan penyetoran, maka atas jumlah bagian Pemerintah yang tidak atau kurang disetor, dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa yang dihitung dari jatuh tempo sampai dengan hari penyetoran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.



Pasal 14


Pengusaha berkewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan kepada Direktur Jenderal Pajak cq. Kepala Kantor pelayanan Pajak ditempat pengusaha terdaftar sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.



BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 15


Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 746/KMK.012/1981 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Perseroan, Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty, pengenaan pajak dan pungutan lain serta pemberian kelonggaran terhadap Kontraktor yang melakukan Kontrak Operasi Bersama(Joint Operation Contract). Dalam Pengusahaan Sumber daya Panas bumi dengan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 16


Pelaksanaan teknis lebih lanjut dari Keputusan ini diatur oleh Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Moneter dan atau Direktur Jenderal Anggaran baik secara bersama-sama maupun sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.



Pasal 17


Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan pertama kali berlaku untuk tahun pajak 1992.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Juli 1992
MENTERI KEUANGAN,

ttd

J.B. SUMARLIN