Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 575/KMK.04/2000

Kategori : PPN

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 575/KMK.04/2000

TENTANG

PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI

PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKUKAN PENYERAHAN

YANG TERUTANG PAJAK DAN PENYERAHAN

YANG TIDAK TERUTANG PAJAK

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak;


Mengingat :

  1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
  2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
  3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
  4. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKUKAN PENYERAHAN YANG TERUTANG PAJAK DAN PENYERAHAN YANG TIDAK TERUTANG PAJAK.



Pasal 1

(1) Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Barang Modal untuk :
  1. kegiatan usaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; dan
  2. kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, 
dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Modal tersebut, yang besarnya sebanding dengan prosentase penggunaan Barang Modal yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai.
(2)

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah mengkreditkan seluruh Pajak Masukan atas Barang Modal tersebut, maka bagian Pajak Masukan untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, dihitung dengan rumus sebagai berikut :
p' x (PM/T)
Dengan ketentuan bahwa :
p' adalah besarnya prosentase rata-rata penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam satu tahun buku;
T adalah masa manfaat Barang Modal yang ditentukan sebagai berikut :
- untuk bangunan adalah 10 tahun
- untuk Barang Modal lainnya adalah 5 tahun;
PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan dan atau pemeliharaan Barang Modal yang telah dikreditkan.


Pasal 2

(1) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang :
  1. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
  2. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
  3. Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
  4. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang :
1)

nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;

2)

digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya;

3)

nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.

(2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2, wajib menghitung kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan tersebut dengan rumus sebagai berikut :
  1. untuk Barang Modal :
    (X/Y) x (PM/T)
    dengan ketentuan bahwa :
    X adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai selama satu tahun buku;
    Y adalah jumlah seluruh peredaran selama satu tahun buku;
    T adalah masa manfaat Barang Modal sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) angka 2 yang ditentukan sebagai berikut :
    - untuk bangunan adalah 10 tahun
    - untuk Barang Modal lainnya adalah 5 tahun
    PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

  2. Untuk bukan Barang Modal :
    (X/Y) x PM
    dengan ketentuan bahwa :
    X adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam tahun buku yang bersangkutan.
    Y adalah jumlah seluruh peredaran dalam tahun buku yang bersangkutan;
    PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)



Pasal 3

Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (2) diperhitungkan kembali dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak paling lambat pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku.



Pasal 4

Kewajiban menghitung kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan tetapi telah dikreditkan, tidak dilakukan jika masa manfaat Barang Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (2) huruf a telah terlampaui.



Pasal 5

Ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini juga berlaku dalam hal terjadi perubahan penggunaan Barang Modal yang atas perolehannya mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai terutang ditangguhkan.



Pasal 6

Pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini tidak berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak yang baginya ditetapkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan tersendiri.



Pasal 7

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 643/KMK.04/1994 tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Yang Tidak Terutang Pajak dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 8

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Desember 2000
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd

 

PRIJADI PRAPTOSUHARDJO

 

 

 



PENJELASAN
ATAS


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 575/KMK.04/2000

 

TENTANG

 

PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI
PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKUKAN PENYERAHAN
YANG TERUTANG PAJAK DAN PENYERAHAN
YANG TIDAK TERUTANG PAJAK

 

  1. UMUM

    Sehubungan dengan perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor 643/KMK.04/1994 perlu disesuaikan dan diganti dengan Keputusan Menteri Keuangan ini yang menetapkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak, dan juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Selain itu, Keputusan Menteri Keuangan ini juga menetapkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan dalam hal terjadi perubahan penggunaan barang modal dari kegiatan yang terutang pajak menjadi kegiatan yang tidak terutang pajak dan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

 

  1. PASAL DEMI PASAL


    Pasal 1

    Ayat (1)

    Cukup jelas.


    Ayat (2)

    Dalam hal Barang Modal digunakan baik untuk kegiatan yang terutang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka cara penghitungan besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali didasarkan pada prosentase rata-rata penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan jumlah Pajak Masukan yang telah dikreditkan dibagi dengan masa manfaat Barang Modal yang bersangkutan.

    Contoh :

    Generator listrik dibeli Januari 2001 dengan maksud untuk, digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik.
    Nilai perolehan                           Rp 50.000.000,00
    PPN (Pajak Masukan)               Rp   5.000.000,00

    (Pajak Masukan sudah dikreditkan seluruhnya dalam SPT Masa Pajak Januari 2001)

    Selama tahun 2001 ternyata bahwa :

    Untuk masa 6 bulan I digunakan :
    - 30% untuk perumahan karyawan dan direksi;
    - 70% untuk kegiatan pabrik.


    Untuk masa 6 bulan II digunakan :
    - 20% untuk perumahan karyawan dan direksi;
    - 80% untuk kegiatan pabrik.


    Rata-rata penggunaan di luar kegiatan usaha yang berhubungan langsung dengan usaha (p') adalah :
    30% + 20%
    ----------------- = 25%
            2

    Masa manfaat barang Modal 5 tahun (meskipun masa manfaat Barang Modal tersebut 8 tahun, tetapi untuk penghitungan kembali Pajak Masukan ini masa manfaat ditetapkan 5 tahun).
    Besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali untuk tahun 2001 :

    25% x Rp5.000.000,00 = Rp250.000,00
                        5
    Untuk tahun selanjutnya dipakai rumus tersebut, dengan penyesuaian atas p'.


    Pasal 2

    Ayat (1)

    Contoh Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud dalam ayat ini, misalnya :

    1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha terpadu (integrated) yang menghasilkan jagung (jagung adalah bukan Barang Kena Pajak), yang juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung adalah Barang Kena Pajak).

    2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang perhotelan, disamping melakukan usaha jasa di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha.

    3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misal Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

    4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan perluasan usaha dan menghasilkan bukan Barang Kena Pajak, misal Pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah mewah yang terutang PPN dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

    1)

    Contoh Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah :
      -

    Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung adalah bukan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;

      -

    Pajak Masukan untuk pembelian truck yang digunakan untuk jasa angkutan, karena jasa angkutan adalah bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;

      -

    Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

    2) Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali adalah :
      - Pajak Masukan untuk perolehan truck yang digunakan baik untuk, perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung.
    3) Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepenuhnya adalah :
      - Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung.
         

    Ayat (2)

    Contoh penghitungan kembali Pajak Masukan :

    1. Untuk barang modal :
      -

      Pajak Masukan atas perolehan truck yang digunakan baik untuk Perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung pada bulan Januari 2001 Rp 200.000.000,00 (sudah dikreditkan seluruhnya melalui SPT Masa Pajak Januari 2001).

      - Total omzet 2001 (Y) Rp60.000.000.000,00, diantaranya Rp6.000.000.000,00 berasal dari penjualan jagung (X).
      -

      Masa manfaat Barang Modal 5 tahun (meskipun masa manfaat Barang Modal tersebut 4 tahun, tetapi untuk penghitungan kembali Pajak Masukan ini masa manfaat ditetapkan 5 tahun).

      -

      Pajak Masukan atas truck yang harus dibayar kembali :


      Rp 6 milyar        Rp200 juta
      ------------------  x  ------------------- = Rp 4.000.000,00  
      Rp 60 milyar               5

    2. Untuk bukan barang modal :
      -

      Pajak Masukan untuk pembelian solar untuk truck-truck yang digunakan untuk dua tujuan, yaitu untuk sektor perkebunan dan distribusi jagung serta sektor pabrikasi dan distribusi minyak jagung = Rp50.000.000,00;

      - Total omzet (Y) 2001 Rp60.000.000.000,00 diantaranya Rp6.000.000.000,00 berasal dari penjualan jagung.

      Rp 6 milyar       
      -------------------  x  Rp 50 juta = Rp 5.000.000,00
      Rp 60 milyar

    Pasal 3

    Penghitungan kembali Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (2) dilakukan pada akhir tahun buku, sehingga hasil penghitungan kembali Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut baru diketahui pada Masa Pajak akhir tahun buku tersebut. Oleh sebab itu penghitungan kembali Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak akhir tahun buku sesuai dengan ketentuan undang-undang Pasal 9 ayat (9) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.


    Pasal 4

    Cukup jelas


    Pasal 5

    Cukup jelas


    Pasal 6

    Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud dalam Pasal ini adalah antara lain Pengusaha Kena Pajak yang menghitung Pajak Masukan dengan menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.


    Pasal 7

    Cukup jelas


    Pasal 8

    Cukup jelas