Peraturan Daerah Nomor : 6 TAHUN 2010

Kategori : Lainnya

Ketentuan Umum Pajak Daerah


PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 6 TAHUN 2010

TENTANG

KETENTUAN UMUM PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,


Menimbang :

  1. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah sudah tidak sesuai lagi;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
  2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
  7. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
  8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
  9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
  10. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744);
  11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
  12. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  13. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  14. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2000 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3977);
  15. Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4030);
  16. Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 214, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4031);
  17. Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4032);
  18. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
  19. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan dari Pejualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4050);
  20. Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 249, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4051);
  21. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
  22. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
  23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007.
  24. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pegelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2007 Nomor 5);
  25. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2008 Nomor 10);


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
dan
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA



MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN DAERAH TENTANG KETENTUAN UMUM PAJAK DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
  1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  5. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Ketua dan para Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  6. Dinas Pelayanan Pajak adalah Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  7. Kepala Dinas Pelayanan Pajak adalah Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  8. Badan Pengelola Keuangan Daerah adalah Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  9. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  10. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  11. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  12. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  13. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
  14. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
  15. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perpajakan Daerah.
  16. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
  17. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  18. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah, yang dapat disingkat NPWPD, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dan usaha Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Daerah.
  19. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
  20. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  21. Surat Pendaftaran Objek Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPOPD, adalah surat yang digunakan Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan melaporkan objek pajak atau usahanya ke Dinas Pelayanan Pajak.
  22. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak dgunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  23. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
  24. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
  25. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
  26. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  27. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
  28. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  29. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
  30. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  31. Sanksi Administrasi berupa bunga, kenaikan dan/atau denda adalah tanggungan atau pembebanan diluar pokok pajak terutang sebagai akibat pelanggaran administrasi perpajakan.
  32. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur, memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita.
  33. Surat Teguran, Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
  34. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak Daerah kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak, dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak.
  35. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
  36. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak Daerah untuk menguasai barang penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
  37. Jurusita Pajak Daerah adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan.
  38. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
  39. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  40. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
  41. Putusan Banding adalah putusan Pengadilan Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  42. Putusan Gugatan adalah putusan Pengadilan Pajak terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
  43. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
  44. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan , dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  45. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat tenang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi, serta menemukan tersangkanya.
  46. Penyidik adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Dinas Pelayanan Pajak atau di lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  47. Azaz Timbal Balik (Reciprocitas) adalah perlakuan perpajakan yang sama oleh suatu negara terhadap Perwakilan Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan atau ratifikasi Konvensi Wina Tahun 1961.


BAB II
JENIS PAJAK

Pasal 2


Jenis pajak terdiri dari :
  1. Pajak Kendaraan Bermotor;
  2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
  3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
  4. Pajak Air Permukaan;
  5. Pajak Rokok;
  6. Pajak Hotel;
  7. Pajak Restoran;
  8. Pajak Hiburan;
  9. Pajak Reklame;
  10. Pajak Penerangan Jalan;
  11. Pajak Parkir;
  12. Pajak Air Tanah;
  13. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
  14. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.


BAB III
PEMUNGUTAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3


Pemungutan pajak dilarang diborongkan.


Bagian Kedua
Pendaftaran

Pasal 4


(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi peryaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, wajib mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya dengan menggunakan SPOPD, atau Sarana lain yang dipersamakan ke Dinas Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan usaha Wajib Pajak.
(2) SPOPD atau Sarana lain yang dipersamakan harus diambil sendiri oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak di Dinas Pelayanan Pajak, atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur.
(3) SPOPD atau Sarana lain yang dipersamakan harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap, dan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau Kuasanya, serta menyampaikannya ke Dinas Pelayanan Pajak.
(4) Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan NPWPD.
(5) Wajib Pajak yang sudah menjalankan usahanya tetapi tidak mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya, dikenakan sanksi administrasi berupa denda yang besarnya ditetapkan oleh Gubernur, dan kepada Wajib Pajak dapat diterbitkan NPWPD secara jabatan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran, penerbitan NPWPD, dan penghapusan NPWPD diatur dengan Peraturan Gubernur.


Bagian Ketiga
Sistem Pemungutan

Pasal 5


Pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ditetapkan berdasarkan :
  1. Pajak Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak;
  2. Pajak ditetapkan oleh Gubernur.


Paragraf 1
Pajak Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak

Pasal 6


(1) Wajib Pajak yang pajaknya dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, wajib menghitung, memperhitungkan, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.
(2) SPTPD wajib diisi dengan benar, jelas, lengkap dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak serta disampaikan ke Dinas Pelayanan Pajak.
(3) Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhir masa pajak.
(4) Apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur, maka batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
(5) Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilampiri dengan data atau dokumen yang menjadi dasar perhitungan pajak terutang yang ditetapkan oleh Gubernur.
(6) SPTPD dianggap tidak disampaikan, apabila tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan tidak dilampiri data atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak harus mengambil sendiri SPTPD di Dinas Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur.
(8) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, melaporkan data transaksi usahanya yang merupakan objek Pajak Daerah melalui online system.


Pasal 7


(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk atas permohonan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPTPD paling lama 2 (dua) bulan sejak berakhirnya jangka waktu penyampaian SPTPD.
(2) Permohonan perpanjangan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis dengan alasan yang jelas kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dengan melampirkan perhitungan sementara pajak terutang yang harus dibayar.


Pasal 8


(1) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan, dengan menyampaikan surat pernyataan tertulis kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak, sepanjang Dinas Pelayanan Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak membetulkan sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat berakhirnya penyampaian SPTPD sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPTPD.


Pasal 9


(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Gubernur dapat menerbitkan :
a. SKPDKB dalam hal :
  1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. apabila SPTPD tidak disampaikan kepada Gubernur dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  3. apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT, apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang;
c. SKPDN, apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(4) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(5) Kenaikan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.


Pasal 10


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan, pengisian dan penyampaian SPTPD, SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN dan online system sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Gubernur.


Paragraf 2
Pajak ditetapkan oleh Gubernur

Pasal 11


(1) Pajak ditetapkan oleh Gubernur dengan menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud ayat (1), antara lain SPPT-PBB.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB IV
PEMBAYARAN

Pasal 12


(1) Pembayaran pajak terutang untuk pajak yang dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dilaksanakan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak kecuali ditetapkan lain oleh Gubernur.
(2) Pembayaran pajak terutang untuk pajak yang ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, kecuali ditetapkan lain oleh Gubernur.
(3) Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
(4) Apabila batas waktu pembayaran jatuh pada hari libur maka batas waktu pembayaran jatuh pada hari kerja berikutnya.
(5) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan pada Unit Pelayanan Perbendaharaan dan Kas Daerah Badan Pengelola Keuangan Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur.
(6) Apabila pembayaran pajak terutang dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dikenakan bunga keterlambatan sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.


Pasal 13


(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, membayar pajaknya dengan menggunakan SSPD.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, membayar pajaknya dengan menggunakan SKPD.
(3) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) membayar pajaknya dengan menggunakan SPPT.
(4) Wajib Pajak Hiburan yang menyelenggarakan hiburan insidentil dapat melakukan pembayaran pajak dengan jaminan berupa bank garansi dan pencairannya dilakukan setelah perhitungan pajak berdasarkan pemeriksaan.
(5) Gubernur dapat menetapkan sarana pembayaran lain selain SSPD, SKPD, dan SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).


Pasal 14


Pajak yang terutang dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkan.


Pasal 15


(1) Gubernur, atau pejabat yang ditunjuk, atas permohonan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan, dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, tempat pembayaran, persyaratan angsuran dan persyaratan penundaan pembayaran pajak, diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB V
PENAGIHAN

Bagian Kesatu
STPD

Pasal 16


(1) Gubernur dapat menerbitkan STPD apabila :
  1. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
  2. dari hasil penelitian SPTPD, terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hiitung;
  3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk jangka waktu paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) Surat Ketetapan Pajak Daerah yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan ditagih melalui STPD.


Pasal 17


(1) Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak yang terutang dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SPPT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding.
(2) Penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan surat teguran atau surat peringatan.
(3) Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, sekurang-kurangnya memuat :
  1. nama wajib pajak dan/atau penanggung pajak;
  2. besarnya utang pajak;
  3. perintah untuk membayar;
  4. jangka waktu pelunasan utang pajak.
(4) Dalam rangka pelaksanaan penagihan, dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum lain.


Bagian Kedua
Penagaihan Seketika dan Sekaligus

Pasal 18


(1) Penagihan pajak dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo surat teguran atau surat peringatan atau surat lain sejenisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), apabila :
  1. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, atau berniat untuk itu;
  2. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak memindah tangankan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
  3. terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
  4. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara;
  5. terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak atau Penanggung Pajak oleh pihak ketiga, atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, sekurang-kurangnya memuat :
  1. nama Wajib Pajak, dan/atau Penanggung Pajak;
  2. besarnya utang pajak;
  3. perintah untuk membayar; dan
  4. jangka waktu pelunasan pajak.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
(4) Pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Ketiga
Surat Paksa

Pasal 19


(1) Pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SPPT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya, dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan, apabila :
  1. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
  2. terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
  3. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.


Pasal 20


(1) Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak Daerah dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa, kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Berita Acara, yang sekurang-kurangnya memuat :
  1. hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
  2. nama Jurusita Pajak Daerah;
  3. nama yang menerima;
  4. tempat pemberitahuan Surat Paksa.
(3) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak Daerah kepada :
  1. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;
  2. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak; apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
  3. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi;
  4. para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi;
(4) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak Daerah kepada :
  1. pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka, maupun di tempat lain yang memungkinkan;
  2. pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan, apabila Jurusita Pajak Daerah tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(5) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
(6) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa dimaksud.
(7) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat.
(8) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman Kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan oleh Gubernur.
(9) Dalam hal Surat Paksa harus dilaksanakan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa, kecuali ditetapkan lain oleh Gubernur.
(10) Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakan kepada Pejabat yang meminta bantuan.
(11) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak Daerah meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
(12) Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan Surat Paksa.


Pasal 21


(1) Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
(2) Pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Keempat
Penyitaan

Pasal 22


(1) Apabila utang pajak tidak dilunasi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(2) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak Daerah dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak Daerah Daerah, dan dapat dipercaya.
(3) Setiap pelaksanaan penyitaan, Jurusita Pajak Daerah membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak Daerah, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dan saksi-saksi.


Pasal 23


(1) Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa :
  1. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain;
  2. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
(2) Penyitaan terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
(3) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak Daerah untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
(4) Pengajuan keberatan tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.


Pasal 24


Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila :
  1. nilai barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak;
  2. hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.


Bagian Kelima
Pelelangan

Pasal 25


(1) Apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang.
(2) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara :
  1. uang tunai disetor ke Badan Pengelola Keuangan Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk;
  2. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke rekening Badan Pengelola Keuangan Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk atas permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;
  3. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat;
  4. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
  5. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada Pejabat;
  6. Penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak menjual dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada Pejabat.


Pasal 26


(1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa.
(2) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
(3) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak begerak dilakukan 2 (dua) kali.
(4) Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa.


Pasal 27


(1) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak belum memperoleh keputusan keberatan.
(2) lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri Wajib Pajak dan atau Penanggung Pajak.
(3) Lelang tidak dilaksanakan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan pengadilan pajak, atau objek lelang musnah.


Bagian Keenam
Hak Mendahulu

Pasal 28


(1) Daerah mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Wajib Pajak atau Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
(2) Ketentuan hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa kenaikan, bunga, denda, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali :
  1. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
  2. biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
  3. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan;
  4. hak lain yang ditetapkan oleh Gubernur.
(4) Hak mendahulu itu hilang setelah lampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SPPT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.
(5) Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan surat paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran, jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.


BAB VI
KEDALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 29


(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tertangguh apabila :
  1. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa;
  2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan surat teguran dan surat paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.


Pasal 30


(1) Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Gubernur menetapkan keputusan penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB VII
KEBERATAN DAN BANDING

Bagian Kesatu
Keberatan

Pasal 31


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk atas suatu :
  1. SPPT;
  2. SKPD;
  3. SKPDKB;
  4. SKPDKBT;
  5. SKPDLB;
  6. SKPDN;
  7. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan surat Keberatan yang diberikan oleh Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat Keberatan melalui pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat Keberatan.
(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 32


(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas Keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Gubernur atau pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
(4) Dalam hal Keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.


Bagian Kedua
Banding

Pasal 33


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak, terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dengan dilampiri salinan dari Surat Keputusan Keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan Banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan Keberatan.


BAB VIII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 34


(1) Atas kelebihan pembayaran pajak berdasarkan perhitungan dari Wajib Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan secara tertulis dan ditandatangani, dengan sekurang-kurangnya memuat :
  1. bukti setoran pajak;
  2. bukti SPTPD;
  3. dokumen atau keterangan yang menjadi dasar pembayaran pajak;
  4. perhitungan pembayaran pajak menurut Wajib Pajak.
(3) Terhadap permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak untuk mengetahui kebenaran atas permohonan tersebut.
(4) Gubernur dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan dan menerbitkan SKPDLB dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dilampaui dan Gubernur tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan, dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(6) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak yang sama atau utang pajak Daerah lainnya, kelebihan pembayaran pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(7) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(8) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan, Gubernur memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.


Pasal 35


(1) Atas Kelebihan pembayaran pajak berdasarkan surat keputusan keberatan, dan putusan banding, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Gubernur.
(2) Terhadap kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
(3) Berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau berdasarkan keputusan keberatan atau berdasarkan salinan putusan banding dari Pengadilan Pajak, Gubernur menerbitkan SKPDLB dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung sejak bulan pelunasan yang menyebabkan terdapatnya kelebihan pembayaran, sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
(4) Kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikompensasikan dengan jenis pajak yang sama, atau langsung diperhitungkan untuk melunasi utang pajak Daerah lainnya.


Pasal 36


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak berikut imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35, diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB IX
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN
DAN PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN SANKSI
ADMINISTRASI

Pasal 37


(1) Gubernur karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak, dapat membetulkan SKPD atau SKPDKB atau SKPDKBT atau STPD, SPPT, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
(2) Gubernur dapat :
  1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  2. mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB atau STPD, SPPT, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
  3. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan;
  4. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB X
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 38


(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun, wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
(2) Kriteria wajib pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.


Pasal 39


(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk berwenang, melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
  1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
  2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
  3. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan pajak diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB XI
PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

Pasal 40


(1) Piutang pajak yang sudah kedaluwarsa dapat dilakukan penghapusan.
(2) Penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Gubernur berdasarkan permohonan penghapusan piutang pajak dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(3) Permohonan penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya memuat :
  1. nama dan alamat Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
  2. jumlah piutang pajak;
  3. Tahun Pajak;
  4. jenis pajak.
(4) Berdasarkan permohonan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur dapat menetapkan penghapusan piutang pajak sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), sedangkan untuk penghapusan piutang pajak di atas Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan Dewan.


Pasal 41


(1) Terhadap piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi akan tetapi belum kedaluwarsa, dimasukan ke dalam daftar piutang pajak yang akan dihapuskan.
(2) Piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi sebagaimana dimaksud ayat (1), adalah :
  1. Wajib Pajak meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta kekayaan/warisan yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Kematian dan Lurah dan laporan hasil pemeriksaan Petugas Dinas Pelayanan Pajak.
  2. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi, yang dibuktikan berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Petugas Dinas Pelayanan Pajak yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memang benar-benar tidak mempunyai harta kekayaan lagi.
  3. Wajib Pajak yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan dari hasil penjualan hartanya tidak mencukupi untuk melunasi utang pajaknya.
  4. Wajib Pajak yang tidak ditemukan.
(3) Terhadap piutang pajak yang dicadangkan sebagai piutang pajak yang akan dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan lagi tindakan penagihan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB XII
PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN

Pasal 42


(1) Atas permohonan Wajib Pajak, Gubernur dapat memberikan pengurangan pajak setinggi-tinggimya 50% (lima puluh persen) dan pokok pajak.
(2) Permohonan pengurangan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara tertulis dengan sekurang-kurangnya memuat :
  1. nama dan alamat Wajib Pajak;
  2. jenis pajak dan besar pengurangan pajak yang dimohon;
  3. alasan yang mendasari diajukannya permohonan pengurangan pajak.


Pasal 43


(1) Gubernur karena jabatannya dapat memberikan keringanan pajak setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari dasar pengenaan pajak atau pokok pajak.
(2) Pemberian keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan pertimbangan atau keadaan tertentu.


Pasal 44


(1) Gubernur karena jabatannya dapat memberikan pembebasan pajak kepada Wajib Pajak atau terhadap objek pajak tertentu berdasarkan azaz keadilan dan azaz timbal balik (reciprocitas).
(2) Pemberian pembebasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan sebagian atau seluruhnya dari pajak yang terutang.


Pasal 45


Persyaratan dan tata cara pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak, diatur dengan Peraturan Gubernur.


Pasal 46


Bentuk dan isi SPOPD, SPOP, NPWPD, SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, SPPT, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan Ketetapan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pengurangan dan Penghapusan Sanksi Administrasi Surat Keputusan Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak Daerah, STPD, SSPD, Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Penagihan Seketika atau Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Untuk Melaksanakan Penyitaan dan Surat Permohonan Pelelangan, ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.


BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 47


(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan perundang-undangan perpajakan daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), adalah :
  1. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
  2. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Gubernur untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam keuangan daerah.
(4) Untuk kepentingan daerah, Gubernur berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak, kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Gubernur dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5), harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan, dengan keterangan yang diminta tersebut.


BAB XIV
PENYIDIKAN

Pasal 48


(1) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan informasi, data, laporan dan pengaduan, berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan tindak pidana dibidang perpajakan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana dibidang perpajakan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur berdasarkan peraturan Gubernur.


Pasal 49


(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
  1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan menelitii keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
  2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
  4. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
  5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
  6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
  7. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
  8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
  9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  10. menghentikan penyidikan; dan/atau
  11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindakan pidana di bidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


Pasal 50


(1) Untuk kepentingan penerimaan daerah atas permintaan Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi hutang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan.


BAB XV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 51


(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.


Pasal 52


Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.


Pasal 53


(1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk Gubernur yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk Gubernur yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
(4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku wajib pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.


Pasal 54


Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2), merupakan penerimaan daerah.


BAB XVI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Kewajiban Penggunaan Bon Penjualan (Bill)

Pasal 55


(1) Wajib Pajak Hotel atau Wajib Pajak Restoran atau Wajib Pajak Hiburan, wajib menggunakan bon penjualan (bill) yang memperlihatkan terjadinya pesanan atau transaksi pembayaran kecuali ditetapkan lain dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan terlebih dahulu mengajukan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(3) Bagi Wajib Pajak yang wajib menggunakan bon penjualan (bill) tetapi tidak menggunakan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak terutang untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(4) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditagih dengan menggunakan STPD.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan persyaratan yang dikecualikan dari kewajiban untuk melegalisasi/perporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 56


Kewajiban penggunaan bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, wajib mendapat pengesahan berupa legalisasi/perporasi dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau pejabat yang ditunjuk.


BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 57


Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, pajak yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang.


BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 58


Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2002 Nomor 75), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 59


Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2010
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd.

FAUZI BOWO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2010
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd.

FADJAR PANJAITAN
NIP 195508251976011001

 


LEMBARAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
TAHUN 2010 NOMOR 6



 

 


PENJELASAN
ATAS

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 6 TAHUN 2010

TENTANG

KETENTUAN UMUM PAJAK DAERAH (KUPD)


I. UMUM


Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Daerah sebagai pengganti Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah yang berlaku saat ini, dan merupakan dasar hukum pemungutan Pajak Daerah di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Ketentuan Peraturan Daerah ini merupakan ketentuan umum yang mengatur tentang tata cara dan tata laksana pemungutan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, sanksi administrasi dan sanksi pidana. Dan untuk ketentuan yang mengatur subjek, objek, dasar pengenaan pajak, tarif dan cara penghitungan pajak diatur tersendiri dalam Peraturan Daerah sesuai dengan jenis pajaknya yang merupakan ketentuan materiil Pajak Daerah.

Dalam Peraturan Daerah ini juga telah mempertimbangkan faktor sosial masyarakat, perkembangan teknologi informasi, kemampuan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan daerah dan faktor-faktor lainnya.

Peraturan Daerah ini ditetapkan selain karena pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, juga dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, untuk lebih memberikan keadilan, kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak, penegakan hukum dibidang perpajakan daerah, meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, dan tertib administrasi perpajakan daerah, yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan daerah untuk menunjang kemandirian daerah, dalam mensejahterakan masyarakat.

Oleh karenanya Peraturan Daerah ini disebut Ketentuan Umum Pajak Daerah (KUPD), sebagai pelaksanaan dari ketentuan material Pajak Daerah untuk seluruh jenis Pajak Daerah yang dipungut di wilayah Provinsi Daerah.

   
II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1

Angka 1


Cukup Jelas.


Angka 2


Cukup Jelas.


Angka 3


Cukup Jelas.


Angka 4


Cukup Jelas.


Angka 5


Cukup Jelas.


Angka 6


Cukup Jelas.


Angka 7


Cukup Jelas.


Angka 8


Cukup Jelas.


Angka 9


Cukup Jelas.


Angka 10


Cukup Jelas.


Angka 11


Yang dimaksud dengan tanpa imbalan langsung adalah bahwa atas pembayaran pajak Daerah tidak diberikan imbalan langsung secara individual, tetapi diberikan secara kolektif.


Angka 12


Cukup Jelas.


Angka 13


Cukup Jelas.


Angka 14


Cukup Jelas.


Angka 15


Cukup Jelas.


Angka 16


Cukup Jelas.


Angka 17


Cukup Jelas.


Angka 18


Cukup Jelas.


Angka 19


Cukup Jelas.


Angka 20


Cukup Jelas.


Angka 21


Cukup Jelas.


Angka 22


Cukup Jelas.


Angka 23


Cukup Jelas.


Angka 24


Cukup Jelas.


Angka 25


Cukup Jelas.


Angka 26


Cukup Jelas.


Angka 27


Cukup Jelas.


Angka 28


Cukup Jelas.


Angka 29


Cukup Jelas.


Angka 30


Cukup Jelas.


Angka 31


Cukup Jelas.


Angka 32


Cukup Jelas.


Angka 33


Cukup Jelas.


Angka 34


Cukup Jelas.


Angka 35


Cukup Jelas.


Angka 36


Cukup Jelas.


Angka 37


Cukup Jelas.


Angka 38


Cukup Jelas.


Angka 39


Cukup Jelas.


Angka 40


Cukup Jelas.


Angka 41


Cukup Jelas.


Angka 42


Cukup Jelas.


Angka 43


Cukup Jelas.


Angka 44


Cukup Jelas.


Angka 45


Cukup Jelas.


Angka 46


Cukup Jelas.


Angka 47


Cukup Jelas.


Pasal 2

Cukup Jelas.


Pasal 3

  • Yang dimaksud dilarang diborongkan adalah bahwa pada dasarnya kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga diantaranya dalam hal; pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Subjek Pajak dan/atau Wajib Pajak, penghimpun data objek dan subjek pajak atau sosialisasi dibidang perpajakan daerah,
  • Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan perhitungan besarnya pajak yang terutang, kegiatan penetapan pajak, pemeriksaan pajak, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.

Pasal 4

Ayat (1)


  • Penggunaan SPOP hanya untuk Wajib Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan.
  • Penggunaan Sarana lainnya yang dipersamakan unuk jenis pajak tertentu, berdasarkan penetapan Gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
  • Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan materiil Pajak Daerah mengenai subjek pajak.
  • Persyaratan objektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan materiil Pajak Daerah mengenai objek pajak.

Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Ayat (5)


  • NPWPD secara jabatan diterbitkan apabila Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya ke Dinas Pelayanan Pajak, yang secara objektif dan subjektif telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  • Penerbitan NPWPD secara jabatan dapat didahului dengan tindakan pendataan atau pemeriksaan.

Ayat (6)


Cukup Jelas.


Pasal 5

Angka 1


Yang dimaksud dengan Pajak dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, adalah pengenaan pajak yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.


Angka 2


Yang dimaksud dengan Pajak ditetapkan oleh Gubernur, adalah pengenaan pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.


Pasal 6

Ayat (1)


  • Yang dimaksud dengan menghitung adalah menghitung seluruh transaksi pembayaran sebagai dasar pengenaan pajak.
  • Yang dimaksud dengan memperhitungkan adalah mengalikan dasar pengenaan pajak dengan tarif pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang terutang yang harus dibayar.
  • Yang dimaksud dengan melaporkan sendiri pajak yang terutang adalah melaporkan seluruh perhitungan pajak terutang berdasarkan dasar pengenaan pajak dengan tarif pajak.

Ayat (2)


Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud ayat (2), dapat dilakukan antara lain : melalui jasa kurir, jasa layanan Pos atau dikirim langsung ke Dinas Pelayanan Pajak atau memanfaatkan media elektronik/teknologi informasi yang tersedia.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Ayat (5)


Cukup Jelas.


Ayat (6)


Cukup Jelas.


Ayat (7)


Cukup Jelas.


Ayat (8)


Cukup Jelas.


Pasal 7

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan memperpanjang jangka waktu penyampaian SPTPD adalah memperpanjang penyampaian SPTPD yang disebabkan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dalam keadaan kesulitan dalam menghitung dasar pengenaan pajak atau dalam keadaan kahar.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Pasal 8

Ayat (1)


  • Ayat ini mengatur hak wajib pajak untuk membetulkan SPTPD, sehubungan dengan terdapatnya pajak yang terutang menurut wajib pajak untuk masa pajak atau tahun pajak yang telah disampaikan SPTPD sebelumnya.
  • Pembetulan SPTPD dilakukan dengan syarat :
    1. permohonan diajukan secara tertulis;
    2. jangka waktu pengajuan pembetulan tidak melampaui 2 tahun sejak penyampaian SPTPD sebelumnya; atau
    3. belum dilakukan pemeriksaan oleh Dinas Pelayanan Pajak.
  • Hak melakukan pembetulan SPTPD gugur, apabila setelah 2 (dua) tahun sejak penyampaian SPTPD sebelumnya atau meskipun dalam masa 2 tahun dilakukan pemeriksaan oleh Dinas Pelayanan Pajak yang ditunjukan melalui surat dimulainya pemeriksaan atau Surat Tugas Pemeriksaan.

Ayat (2)


Terhadap pembetulan SPTPD yang berakibat jumlah pajak menjadi lebih besar, maka atas kekurangan jumlah pajak tersebut dikenakan bunga sebesar 2% sebulan yang dihitung sejak berakhirnya penyampaian SPTPD sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPTPD.

Contoh 1 :
Wajib Pajak X, melakukan Pembayaran Pajak Hotel untuk bulan Juni 2007 dan telah menyampaikan SPTPD sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Menurut perhitungan Wajib Pajak, pokok pajak yang terutang untuk bulan Juni 2007 sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta) dan Wajib Pajak melakukan pembetulan SPTPD pada bulan September 2008 sebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan pembayaran sanksi bunga sebesar Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah) antara tanggal 1 sampai dengan 15 Oktober 2008, maka rincian pembayaran pokok pajak terutang berikut sanksi administrasi sebagai berikut :


 
Pokok Pajak terutang = Rp 250.000.000,00
Pembayaran pajak masa Juni 2007 = Rp 100.000.000,00
Pajak karena pembetulan SPTPD = Rp 150.000.000,00
Pajak yang kurang dibayar = Rp -
Sanksi Bunga 2% sebulan :  
Perhitungan Bunga (2% x 15 bln) x Rp 150.000.000,00 = Rp 45.000.000,00
Pembayaran sanksi bunga = Rp 45.000.000,00
Pajak dan Bunga Yang Harus Dibayar = Rp 0

Contoh 2 :

Wajib Pajak X, melakukan pembayaran Pajak Hotel untuk bulan Juni 2007 dan telah menyampaikan SPTPD sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Menurut perhitungan Wajib Pajak, pokok pajak yang terutang untuk bulan Juni 2007 sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta) dan Wajib Pajak melakukan pembetulan SPTPD pada bulan September 2008 sebesar Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) sanksi bunga tidak dibayar. Petugas Pemeriksa Dinas Pelayanan Pajak melakukan pemeriksaan pajak periode Januari s.d Desember 2007 pada bulan Oktober 2008 dengan pajak yang terutang ditetapkan secara jabatan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, maka rincian penerbitan SKPDKB sebagai berikut :


 
No Tahun Pajak Masa Pajak Pembayaran Menurut SPTPD Hasil Pemeriksaan Selisih Ket
1 2 3 4 5 6 7
1. 2007 Januari 100.000.000 100.000.000 0  
    Pebruari 125.000.000 125.000.000 0  
    Maret 150.000.000 150.000.000 0  
    April 175.000.000 175.000.000 0  
    Mei 200.000.000 200.000.000 0  
    Juni 250.000.000 300.000.000 50.000.000  
    Juli 275.000.000 275.000.000 0  
    Agustus 300.000.000 300.000.000 0  
    September 325.000.000 325.000.000 0  
    Oktober 350.000.000 350.000.000 0  
    November 375.000.000 375.000.000 0  
    Desember 400.000.000 400.000.000 0  
Jumlah 3.025.000.000 3.075.000.000 50.000.000  

Perhitungan Pajak hasil pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKB, sebagai berikut :


 
1. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 30.750.000.000,00  
2. Pokok Pajak Terutang = Rp 3.075.000.000  
3. Pembayaran Setoran Masa = Rp 2.875.000.000  
4. Pembetulan SPTPD = Rp 150.000.000  
5. Pokok Pajak Kurang Bayar =   Rp 50.000.000
6. Sanksi Administrasi :      
 
  1. Bunga Pembetulan (Pasal 8 ayat (2)) (2% x 16 bulan x Rp 150.000.000)
=
Rp 48.000.000
 
 
  1. Kenaikan 25% dari pokok pajak bulan Juni 2007 (Pasal 9 ayat (3)) (25% x Rp 300.000.000)

=

Rp 75.000.000


 
  1. Bunga (Pasal 9 ayat (3)) (2% x 16 bulan x Rp 50.000.000)
= Rp 16.000.000  
  Total Sanksi Administrasi (a + b + c) =   Rp 139.000.000
  Pajak dan Sanksi yang masih harus dibayar =   Rp 189.000.000

Contoh 3 :
Apabila pemeriksaan dilakukan pada bulan Oktober 2008 untuk periode Januari s/d Desember 2007 dan berdasarkan data Wajib Pajak melakukan pembetulan SPTPD untuk Juni 2007 sebesar Rp 150.000.000 ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar RP 45.000.000 yang dibayarkan pada bulan September 2008 (15 bulan), maka perhitungannya sebagai berikut :


 
No Tahun Pajak Masa Pajak Pembayaran Menurut SPTPD Hasil Pemeriksaan Selisih Ket
1 2 3 4 5 6 7
1. 2007 Januari 100.000.000 125.000.000 25.000.000  
    Pebruari 125.000.000 150.000.000 25.000.000  
    Maret 150.000.000 175.000.000 25.000.000  
    April 175.000.000 200.000.000 25.000.000  
    Mei 200.000.000 225.000.000 25.000.000  
    Juni 250.000.000 250.000.000 -  
    Juli 275.000.000 300.000.000 25.000.000  
    Agustus 300.000.000 325.000.000 25.000.000  
    September 325.000.000 350.000.000 25.000.000  
    Oktober 350.000.000 375.000.000 25.000.000  
    November 375.000.000 400.000.000 25.000.000  
    Desember 400.000.000 425.000.000 25.000.000  
Jumlah 3.025.000.000 3.300.000.000 275.000.000  

 

Perhitungan Pajak hasil pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKB, sebagai berikut :


 
1. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 33.000.000.000  
2. Pokok Pajak Terutang = Rp 3.300.000.000  
3. Pembayaran Setoran Masa = Rp 2.875.000.000  
4. Pembetulan SPTPD = Rp 150.000.000  
5. Pokok Pajak Kurang Bayar =   Rp 275.000.000
6. Sanksi Administrasi :      
 
  1. Bunga Pembetulan (Pasal 8 ayat (2))
= Rp 0  
 
  1. Kenaikan 25% dari pokok pajak bulan Juni 2007 (Pasal 9 ayat (3)) (25% x Rp 3.050.000.000)
= Rp 762.500.000

 
  1. Bunga 2% (Pasal 9 ayat (3)) (Lihat Tabel Perhitungan Bunga)
= Rp 90.500.000  
  Total Sanksi Administrasi (a + b + c) =   Rp 853.000.000
  Pajak dan Sanksi yang masih harus dibayar =   Rp1.128.500.000

Tabel Perhitungan Bunga


 
Sanksi Administrasi Berupa Bunga 2% sebulan
Tahun 2007
Januari
44% x 25.000.000 = 11.000.000
Februari
42% x 25.000.000 = 10.500.000
Maret
40% x 25.000.000 = 10.000.000
April
38% x 25.000.000 = 9.500.000
Mei
36% x 25.000.000 = 9.000.000
Juni
34% x 0 = 0
Juli
32% x 25.000.000 = 8.000.000
Agustus
30% x 25.000.000 = 7.500.000
September
28% x 25.000.000 = 7.000.000
Oktober
26% x 25.000.000 = 6.500.000
November
24% x 25.000.000 = 6.000.000
Desember
22% x 25.000.000 = 5.500.000
Total = 90.500.000

 

Contoh 4 :

Wajib Pajak X, melakukan pembayaran Pajak Hotel tahun 2007 dan telah menyampaikan SPTPD sebesar Rp 3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta rupiah). Menurut perhitungan Wajib Pajak, pokok pajak yang terutang untuk tahun 2007 sebesar Rp 3.500.000.000,00 (tiga milyar lima ratus juta rupiah) dan Wajib Pajak melakukan pembetulan SPTPD pada bulan Maret 2009 sebesar Rp 475.000.000,00 (empat ratus tujuh puluh lima juta rupiah) dan Wajib Pajak tidak membayar sanksi administrasi berupa bunga. Pemeriksaan dilakukan pada bulan Oktober 2009 untuk periode Januari s.d Desember 2007 ditetapkan secara jabatan, maka rincian pembayaran pokok pajak terutang beserta sanksi administrasi dalam SKPDKB sebagai berikut :


 
No Tahun Pajak Masa
Pajak
Pembayaran
Menurut
SPTPD
Pembetulan SPTPD
menjadi
Hasil
Pemeriksaan
Selisih
1 2 3 4 5 6 7
1. 2007 Januari 100.000.000 125.000.000 150.000.000 25.000.000
    Pebruari 125.000.000 150.000.000 175.000.000 25.000.000
    Maret 150.000.000 175.000.000 200.000.000 25.000.000
    April 175.000.000 200.000.000 225.000.000 25.000.000
    Mei 200.000.000 225.000.000 250.000.000 25.000.000
    Juni 250.000.000 300.000.000 350.000.000 50.000.000
    Juli 275.000.000 325.000.000 350.000.000 25.000.000
    Agustus 300.000.000 350.000.000 450.000.000 100.000.000
    September 325.000.000 375.000.000 425.000.000 50.000.000
    Oktober 350.000.000 400.000.000 450.000.000 50.000.000
    November 375.000.000 425.000.000 450.000.000 25.000.000
    Desember 400.000.000 450.000.000 500.000.000 50.000.000
Jumlah 3.025.000.000 3.500.000.000 3.975.000.000 475.000.000

Perhitungan Pajak hasil pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKB, sebagai berikut :


 
1. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 39.750.000.000  
2. Pokok Pajak Terutang = Rp 3.975.000.000  
3. Pembayaran Setoran Masa = Rp 3.025.000.000  
4. Pokok Pajak Kurang Bayar =   Rp 950.000.000
5. Sanksi Administrasi :      
 
  1. Kenaikan 25% dari pokok pajak (Pasal 9 ayat (3)) (25% x Rp 3.975.000.000)

=

Rp 993.750.000
 
 
  1. Bunga (Pasal 9 ayat (3)) (Lihat Tabel Perhitungan)
= Rp 168.000.000  
  Total Sanksi Administrasi (a + b) =   Rp 1.161.750.000
  Pajak dan Sanksi yang masih harus dibayar =   Rp 2.111.750.000
  Pembayaran karena Pembetulan SPTPD =   Rp 475.000.000
  Pajak dan Sanksi yang Masih Harus dibayar =   Rp 1.636.750.000

Tabel Perhitungan Bunga


 
Sanksi Administrasi Berupa Bunga 2% sebulan
Tahun 2007
Januari
48% x 25.000.000 = 12.000.000
Februari
46% x 25.000.000 = 11.500.000
Maret
44% x 25.000.000 = 11.000.000
April
42% x 25.000.000 = 10.500.000
Mei
40% x 25.000.000 = 10.000.000
Juni
38% x 50.000.000 = 19.000.000
Juli
36% x 25.000.000 = 9.000.000
Agustus
34% x 100.000.000 = 34.000.000
September
32% x 50.000.000 = 16.000.000
Oktober
30% x 50.000.000 = 15.000.000
November
28% x 25.000.000 = 7.000.000
Desember
26% x 50.000.000 = 13.000.000
Total = 168.000.000

Pasal 9

Pasal Pasal ini mengatur tentang penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri (sistem self assessment) Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.


Ayat (1)


Ketentuan ayat ini memberi kewenangan Kepada Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.

Contoh :

  1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah pada masa pajak tertentu, misalnya pada salah satu masa pajak atau lebih dalam tahun pajak 2007. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah maka dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.
  2. Seorang Wajib Pajak telah menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2007. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar, maka atas pajak yang terutang kurang bayar tersebut, Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administrasi.
  3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh 2 yang telah diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang lebih besar, maka Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat menerbitkan SKPDKBT.
  4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, maka Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat menerbitkan SKPDN.

Huruf a


Angka 1

 

Cukup Jelas.


Angka 2


Yang dimaksud dengan kalimat "SPTPD tidak disampaikan" adalah SPTPD tidak disampaikan dalam batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan telah ditegur secara tertulis.


Angka 3


  • Yang dimaksud "kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi" dapat terjadi dua kemungkinan :
    Pertama, SPTPD sama sekali tidak disampaikan, setelah diberikan surat teguran sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali;
    Kedua, SPTPD disampaikan tetapi diisi tidak benar/tidak lengkap, sehingga tidak diketahui jumlah pajak terutang yang sebenarnya.
  • Yang dimaksud dengan SPTPD disampaikan tetapi isinya tidak benar adalah data transaksi yang menjadi dasar penghitungan pajak yang terutang dalam SPTPD tidak benar.
  • Yang dimaksud dengan SPTPD disampaikan tetapi diisi tidak lengkap adalah isian SPTPD diisi tidak lengkap sehingga tidak diketahui jumlah pajak terutang yang sebenarnya dan/atau tidak melampirkan dokumen yang menjadi dasar perhitungan pajak terutang.
  • Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk.

Huruf b


Cukup Jelas.


Huruf c


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPTPD dalam batas waktu yang ditentukan yaitu mengenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB).

Contoh :
Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD untuk masa pajak Januari s.d Maret tahun 2010, dan setelah ditegur secara tertulis Wajib Pajak tidak juga menyampaikan SPTPD.
Dalam kasus ini Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan terhadap SPTPD Januari s/d Maret 2010. Pemeriksaan untuk periode tersebut menyangkut jumlah pajak terutang yang seharusnya berikut sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan pemeriksaan tersebut tidak hanya terhadap jumlah yang telah dibayar pada periode tersebut. Kepada Wajib Pajak ditetapkan pajak yang terutang dan diterbitkan SKPDKB pada bulan April 2010 (3 bulan).
Contoh :
Pemeriksaan dilakukan pada bulan April 2010 dan SKPDKB diterbitkan pada bulan Mei 2010.


 
Dasar Pengenaan Pajak Hasil Pemeriksaan Rp 1.500.000.000,00

a. Pokok Pajak yang terutang = 150.000.000,00
b. Pembayaran Masa Jan-Mar 2010 = 100.000.000,00 -
c. Pokok Pajak Kurang Bayar = 50.000.000,00
  Sanksi Administrasi :  
d. Bunga 2% (Pasal 9 ayat (2))
- Januari : 2% x 4 bln x Rp 50.000.000,00
- Februari : 2% x 3 bln x Rp 50.000.000,00
- Maret : 2% x 2 bln x Rp 50.000.000.00
= 4.000.000,00
= 3.000.000,00
= 2.000.000,00
e. Pajak dan Sanksi Administrasi Yang masih Harus Dibayar (c + d) = 59.000.000,00

 

Ayat (3)


Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban mengisi STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, yaitu Wajib Pajak sama sekali tidak menyampaikan SPTPD atau menyampaikan SPTPD tetapi diisi tidak benar/tidak lengkap, maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang.
Dalam kasus ini, maka Gubernur atau pejabat yang ditunjuk menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan SKPDKB. Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.


Contoh :
Pemeriksaan dilakukan pada bulan April 2010 untuk masa pajak periode Januari s.d Desember 2008, dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut :


 
Dasar Pengenaan Pajak dari hasil pemeriksaan = 25.000.000.000,00
a. Pokok Pajak yang terutang = 2.500.000.000,00
b. Pembayaran Masa Jan s.d Des 2008 = 2.000.000.000,00
c. Pokok Pajak Kurang Bayar = 500.000.000,00
d. Sanksi Administrasi :
- Kenaikan
(25% x Rp 2.500.000.000)
= 625.000.000,00
  - Bunga 2% sebulan
(Lihat Tabel)
= 139.600.000,00
e. Pajak dan Sanksi Administrasi Yang masih Harus Dibayar (c + d) = 1.264.600.000,00

Tabel Perhitungan Bunga


 
Sanksi Administrasi Berupa Bunga 2% sebulan
Tahun 2008 Tahun 2009
Jan 48% x 20.000.000 = 9.600.000 Jan 24% x 30.000.000 = 7.200.000
Peb 46% x 20.000.000 = 9.200.000 Peb 22% x 30.000.000 = 6.600.000
Mrt 44% x 20.000.000 = 8.800.000 Mrt 20% x 30.000.000 = 6.000.000
Apr 42% x 20.000.000 = 8.400.000 Apr 18% x 30.000.000 = 5.400.000
Mei 40% x 20.000.000 = 8.000.000 Mei 16% x 30.000.000 = 4.800.000
Juni 38% x 20.000.000 = 7.600.000 Juni 14% x 10.000.000 = 1.400.000
Juli 36% x 20.000.000 = 7.200.000 Juli 12% x 10.000.000 = 1.200.000
Agt 34% x 20.000.000 = 6.800.000 Agt 10% x 10.000.000 = 1.000.000
Sept 32% x 30.000.000 = 9.600.000 Sept 8% x 10.000.000 = 800.000
Okt 30% x 30.000.000 = 9.000.000 Okt 6% x 10.000.000 = 600.000
Nop 28% x 30.000.000 = 8.400.000 Nop 4% x 10.000.000 = 400.000
Des 26% x 40.000.000 = 7.800.000 Des 2% x 10.000.000 = 200.000
Total 139.600.000

Ayat (4)


Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum terungkap (Novum) dan berdasarkan hasil pemeriksaan, pajak yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak.


Ayat (5)


Cukup Jelas.


Pasal 10

Cukup Jelas


Pasal 11

Ayat (1)


Yang dimaksud dokumen lain yang dipersamakan adalah dokumen yang dipergunakan dan berfungsi dan berkekuatan hukum sama dengan SKPD.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Pasal 12

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Cukup Jelas.

 

Ayat (3)


Cukup Jelas.

 

Ayat (4)


Cukup Jelas.

 

Ayat (5)


Cukup Jelas.


Ayat (6)


Besarnya bunga atas keterlambatan pembayaran ditetapkan sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih dengan STPD yang dihitung sejak berakhirnya jatuh tempo pembayaran sampai dengan diterbitkan STPD.


Contoh :
Wajib Pajak melakukan pembayaran untuk masa bulan Agustus 2009 dan dibayar pada bulan November 2009, maka atas keterlambatan tersebut dikenakan bunga 2% (dua persen) dan ditagih dengan STPD sebagai berikut :

Misal :
Pajak terutang untuk masa pajak bulan Agustus sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah), maka bunga keterlambatan sebagai berikut :


 
Pembayaran masa Agustus 2009 = Rp 5.000.000,00
Bunga 2% x 2 bulan x Rp 5.000.000,00 = Rp 200.000,00
Jumlah pembayaran = Rp 5.200.000,00

Pasal 13

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan Bank Garansi, adalah suatu perjanjian penanggungan atau borgtocht dimana bank yang menjadi pihak ketiga (penanggung, guarantor, borg) bersedia bertindak sebagai penanggung bagi nasabahnya yang menjadi debitur dalam mengadakan suatu perjanjian (pokok) dengan pihak lain sebagai kreditur.


Ayat (5)


Cukup Jelas.


Pasal 14

Cukup Jelas.


Pasal 15

Ayat (1)


Pengangsuran atau Penundaan pembayaran pajak dapat dipertimbangkan berdasarkan kesulitan likuiditas yang dialami Wajib Pajak (Wajib Pajak harus membuktikan kesulitan tersebut, dengan bukti pendukung antara lain; laporan keuangan (oleh akuntan publik atau internal), pembukuan atau catatan lainnya yang dapat diterima kewajarannya dikenakan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan.

Contoh :
Apabila pajak terutang dalam SKPDKB sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), berdasarkan Surat Keputusan Pejabat yang berwenang, telah disetujui pembayaran angsuran sebanyak 4 (empat) kali selama 4 (empat) bulan berturut-turut, dengan angsuran pertama jatuh tempo pembayaran tanggal 1 Juni 2010, dengan besar angsuran yang sama, maka penghitungan besarnya angsuran ditambah bunga sebagai berikut :


 
Tahapan Utang Pajak Angsuran Bunga Jumlah Angsuran Jatuh Tempo Angsuran
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
    1/4 x pajak terutang 2% x utang pajak (3) + (4)  
Ke - 1 100.000.000 25.000.000 2.000.000 27.000.000 1/6/2010
Ke - 2 75.000.000 25.000.000 1.500.000 26.500.000 1/7/2010
Ke - 3 50.000.000 25.000.000 1.000.000 26.000.000 1/8/2010
Ke - 4 25.000.000 25.000.000 500.000 25.500.000 1/9/2010

Jika pembayaran dilakukan lewat jatuh tempo angsuran yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud di atas, dikenakan bunga keterlambatan 2% (dua persen) sebulan.
Terhadap bunga keterlambatan pembayaran angsuran tidak dapat dimohonkan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Pasal 16

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar.

Contoh :
Wajib Pajak melakukan pembayaran untuk masa bulan September 2009 dan dibayar pada tanggal 20 Desember 2009 sebesar Rp 7.000.000,00 (tujuh juta rupiah), maka atas keterlambatan tersebut dikenakan bunga 2% (dua persen) setiap bulan dan ditagih dengan STPD sebagai berikut :


 
Pembayaran masa September 2009
Bunga 2% x 3 bulan x Rp 7.000.000,00
Jumlah pembayaran
= Rp 7.000.000,00
= Rp 420.000,00
= Rp 7.420.000,00

Pasal 17

Ayat (1)


Cukup Jelas.

 

Ayat (2)


Cukup Jelas.

 

Ayat (3)


Huruf a


Cukup Jelas.


Huruf b


Cukup Jelas.


Huruf c


Cukup Jelas.


huruf d


Yang dimaksud dengan jangka waktu pelunasan utang pajak adalah tanggal jatuh tempo pembayaran yang tercantum dalam surat teguran atau surat peringatan.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Pasal 18

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk, yang memerintahkan Jurusita Pajak Daerah untuk melakukan penagihan pajak seketika dan sekaligus.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Pasal 19

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Pasal 20

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "di tempat lain yang memungkinkan" antara lain; kantor kelurahan setempat.


Huruf b


Cukup Jelas.


Huruf c


Cukup Jelas.


Huruf d


Cukup Jelas.


Ayat (4)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "maupun ditempat lain yang dimungkinkan" adalah kantor pemerintahan kelurahan setempat.


Huruf b


Cukup Jelas.


Ayat (5)


Cukup Jelas.

Ayat (6)


Cukup Jelas.

Ayat (7)


Cukup Jelas.

Ayat (8)


Cukup Jelas.

Ayat (9)


Cukup Jelas.


Ayat (10)


Cukup Jelas.


Ayat (11)


Cukup Jelas.


Ayat (12)


Cukup Jelas.


Pasal 21

Ayat (1)


Jangka waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak melunasi utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Paksa yang bersangkutan.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Pasal 22

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Kehadiran para saksi dimaksudkan untuk menyakinkan bahwa pelaksanaan penyitaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (3)


Berita Acara Pelaksanaan Sita merupakan pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dan masyarakat bahwa penguasaan barang Penanggung Pajak telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat. Oleh karena itu, dalam setiap penyitaan, Juru Sita Pajak Daerah harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita secara jelas dan lengkap yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal, nomor, nama Jurusita Pajak Daerah, nama Penanggung Pajak, nama dan jenis barang yang disita, dan tempat penyitaan.


Pasal 23

Ayat (1)


  • Yang dimaksud dengan tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap semua barang Penanggung Pajak, baik yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan Penanggung Pajak, atau di tempat lain maupun yang penguasaannya berada di tangan pihak lain.
  • Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak, namun dalam keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak tanpa melaksanakan penyitaan terhadap barang bergerak. Keadaan tertentu, misalnya, Juru Sita Pajak Daerah tidak menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan objek sita, atau barang bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai nilai, atau harganya tidak memadai jika dibandingkan dengan utang pajaknya.
  • Pengertian kepemilikan atas tanah meliputi, antara lain, hak milik, hak pakai, hak guna bangunan, dan hak guna usaha.
  • Yang dimaksud dengan penguasaan berada di tangan pihak lain, misalnya, disewakan atau dipinjamkan, sedangkan yang dimaksud dengan dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, misalnya, barang yang dihipotekkan, digadaikan, atau diagunkan.

Ayat (2)


Pada dasarnya penyitaan terhadap badan dilakukan terhadap barang milik perusahaan. Namun apabila nilai barang tersebut tidak mencukupi atau barang milik perusahaan tidak dapat ditemukan atau karena kesulitan dalam melaksanakan penyitaan terhadap barang milik perusahaan tidak mencukupi, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau ketua untuk yayasan.


Ayat (3)


  • Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, Juru Sita Pajak Daerah harus memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar sehingga Juru Sita Pajak Daerah tidak dapat melakukan penyitaan secara berlebihan. Dalam hal tertentu Juru Sita Pajak Daerah dimungkinkan untuk meminta bantuan Jasa Penilai.
  • Yang dimaksud dengan biaya penagihan pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Jasa Penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.

Ayat (4)


Cukup Jelas.


Pasal 24

Ketentuan ini dimaksudkan agar jurusita Pajak Daerah dapat melaksanakan penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang ditemukan atau diketahui kemudian apabila nilai barang yang telah disita terdahulu tidak cukup untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Dengan demikian, penyitaan dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan baik sebelum lelang maupun setelah lelang dilaksanakan.


Pasal 25

Ayat (1)


Sekalipun Penanggung Pajak telah melunasi hutang pajak tetapi belum melunasi biaya penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilaksanakan.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Cukup Jelas.


Huruf b


Pemindahbukuan objek sita yang tersimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Huruf c


Cukup Jelas.


Huruf d


Cukup Jelas.


Huruf e


Cukup Jelas.


Huruf f


Cukup Jelas.


Pasal 26

Ayat (1)


Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada penanggung pajak melunasi hutang pajaknya sebelum pelelangan terhadap barang yang disita dilaksanakan. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan lelang setiap penjualan secara lelang harus didahului dengan Pengumuman Lelang.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Dalam hal barang tidak bergerak yang akan dilelang bersama-sama barang bergerak, pengumuman lelang dilakukan dua kali untuk barang tidak bergerak, satu kali bersama-sama barang bergerak pada pengumuman pertama, sehingga penjualan barang bergerak dapat didahulukan.

Ayat (4)


Pengertian tidak harus diumumkan melalui media massa misalnya dengan selebaran atau pengumuman yang ditempelkan di tempat umum, misalnya di Kantor Kelurahan atau di papan pengumuman kantor pejabat.


Pasal 27

Ayat (1)


Mengingat bahwa lelang merupakan tindak lanjut eksekusi dari Surat Paksa yang kedudukannya sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka sekalipun Wajib Pajak mengajukan keberatan dan belum memperoleh keputusan, lelang tetap dapat dilaksanakan.


Ayat (2)


Karena penguasaan barang yang disita telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada pejabat maka pejabat yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk menjual barang yang disita dimaksud. Mengingat Penanggung Pajak yang memiliki barang yang telah disita telah diberitahukan bahwa barang yang disita akan dijual secara lelang pada waktu yang telah ditentukan, lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.


Ayat (3)


Pada dasarnya lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Namun, dalam hal terdapat putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak ketiga atas kepemilikan barang yang disita, atau putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan gugatan Penanggung Pajak atas pelaksanaan penagihan pajak, atau barang sitaan yang akan dilelang musnah karena terbakar atau bencana alam, lelang tetap tidak dilaksanakan walaupun utang pajak dan biaya penagihan pajak belum dilunasi.


Pasal 28

Ayat (1)


Yang dimaksud hak mendahulu untuk tagihan pajak adalah Hak yang dimiliki pemerintah daerah mendahului segala hak lainnya atas barang-barang milik penanggung pajak, baik yang akan dijual, dihipotikan, di jaminkan, di gadaikan atau diagunkan atau dibebani hak tanggungan lainnya sebagai pelunasan tagihan pajak, kecuali terhadap :


  1. biaya perkara semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang barang bergerak atau barang tidak bergerak;
  2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
  3. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian oleh suatu warisan.

Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Cukup Jelas.


Huruf b


Cukup Jelas.


Huruf c


Cukup Jelas.


Huruf d


Hak lain yang ditetapkan oleh Gubernur setelah dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Ayat (5)


Yang dimaksud dengan jangka waktu penambahan penundaan pembayaran, apabila permohonan penundaan pembayaran dikabulkan.


Pasal 29

Ayat (1)


Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.


Ayat (2)


Huruf a


Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.


Huruf b


Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara langsung adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
Yang dimaksud dengan pengakuan utang secara tidak langsung adalah Wajib Pajak tidak secara nyata-nyata langsung menyatakan bahwa ia mengakui mempunyai utang pajak kepada Pemerintah Daerah.
Contoh :


  • Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran/penundaan pembayaran;
  • Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan;
  • Wajib Pajak mengajukan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi.

Ayat (3)


Cukup Jelas.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Ayat (5)


Cukup Jelas.


Pasal 30

Cukup Jelas


Pasal 31

Ayat (1)


  • Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah pajak dalam surat ketetapan pajak dan pemungutan tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuknya.
  • Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan dengan membuat perhitungan jumlah yang seharusnya dibayar menurut perhitungan Wajib Pajak.
  • Satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak, satu surat ketetapan pajak dalam satu tahun pajak atau bagian dari satu tahun pajak.

Huruf a


Cukup Jelas.


Huruf b


Cukup Jelas.


Huruf c


Cukup Jelas.


Huruf d


Cukup Jelas.


Huruf e


Cukup Jelas.


Huruf f


Cukup Jelas.


Huruf g


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Alasan-alasan yang jelas di sini adalah mengemukakann dengan data atau bukti bahwa jumlah pajak yang terutang yang ditetapkan oleh petugas pajak (fiskus) tidak benar.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan keadaan di luar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak/kekuasaan Wajib Pajak, misalnya, karena Wajib Pajak sakit atau terkena musibah bencana alam/keadaaan kahar.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Ayat (5)


Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan yang mengakibatkan tidak dianggap sebagai pengajuan keberatan sehingga tidak dipertimbangkan, permohonan keberatan beserta lampirannya dikembalikan kepada Wajib Pajak.


Ayat (6)


Cukup Jelas.


Ayat (7)


Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak tidak menghindar dari kewajiban untuk membayar pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mangajukan keberatan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan Daerah.


Pasal 32

Ayat (1)


Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi, oleh karena itu keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Gubernur dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Surat Keberatan diterima.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Pasal 33

Cukup Jelas.


Pasal 34

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Gubernur atau pejabat yang ditunjuk sebelum memberikan keputusan dalam hal kelebihan pembayaran pajak harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu, kecuali pengembalian kelebihan pembayaran berdasarkan putusan banding dan surat keputusan keberatan.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Ayat (5)


Cukup Jelas.


Ayat (6)


Cukup Jelas.


Ayat (7)


Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dihitung dari batas waktu 2 bulan sejak diterbitkannya SKPDLB sampai dengan saat dilakukannya pembayaran kelebihan.


Ayat (8)


Cukup Jelas.


Pasal 35

Cukup Jelas.


Pasal 36

Cukup Jelas.


Pasal 37

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Huruf a


  • Yang dimaksud dengan "khilaf" adalah tidak sadar atau lupa atau pada kondisi tertentu sulit untuk menentukan pilihan dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
  • Yang dimaksud dengan "bukan kesalahannya" adalah sanksi administrasi dikenakan bukan disebabkan oleh kesalahan wajib pajak tetapi oleh sebab lain di luar kekuasaan wajib pajak seperti kesalahan administrasi oleh fiskus, atau keadaan lainnya.

Huruf b


Gubernur karena jabatannya dan berlandasan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan pengurangannya karena tidak memenuhi peryaratan formal (memasukkan surat permohonan pengurangan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.


Huruf c


Cukup Jelas.


Huruf d


Kriteria "kemampuan membayar" Wajib Pajak diantaranya berupa kesulitan likuiditas yang pembuktiannya diantaranya :

  1. badan berupa; laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik atau internal audit yang dapat diterima kewajarannya.
  2. orang pribadi; hasil pemeriksaan pajak dan/atau permohonan angsuran dan penundaan pembayaran dan/atau "kondisi tertentu" objek pajak berupa mengalami "force majeure" berupa bencana alam dan/atau hilang dan/atau terbakar.

Ayat 3


Cukup Jelas.


Pasal 38

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan pencatatan adalah pembukuan dalam bentuk sederhana dan dapat menyajikan keterangan yang cukup untuk menghitung harga perolehan, atau harga penggantian yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Pasal 39

Ayat (1)


Gubernur atau pejabat yang ditunjuknya dalam rangka pengawasan berwenang melaksanakan pemeriksaan untuk :

  1. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah.
  2. tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan perpajakan Daerah.

Ayat (2)


Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kewajibannya yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak maka dikenakan penetapan secara jabatan berdasarkan data yang dimiliki Gubernur atau Kantor Dinas Pelayanan Pajak.


Huruf a


Apabila dalam memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya termasuk dalam hal ini menyajikan dan/atau mengungkapkan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Huruf b


Termasuk memberikan kesempatan kepada petugas untuk melakukan pemeriksaan kas (kas opname) atau uji petik.


Huruf c


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Pasal 40

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Permohonan penghapusan piutang pajak kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak menjelaskan alasan-alasan penghapusan dan upaya-upaya yang telah dilakukan.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Pasal 41

Ayat (1)


Yang dimaksud daftar piutang pajak yang akan dihapuskan adalah apabila suatu piutang pajak yang nyata-nyata sulit atau tidak mungkin ditagih, tetapi masih belum melampaui masa kedaluwarsa maka piutang tersebut dimasukkan ke dalam daftar piutang pajak sampai terpenuhinya masa kedaluwarsa.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup Jelas.


Huruf b


Cukup Jelas.


Huruf c


Cukup Jelas.


Huruf d


Contoh :
Wajib Pajak tidak diketemukan karena pindah tempat usaha dan tidak jelas data alamatnya.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Pasal 42

Ayat (1)


Pengurangan yang dapat diberikan adalah merupakan pengurangan pokok pajak yang merupakan perkalian antara tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak.
Pengurangan pokok pajak dalam pasal ini diberikan oleh Gubernur berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, diantaranya contoh sebagai berikut :

Contoh :
Pemberian pengurangan bagi kepentingan sosial dan keagamaan yang tidak bersifat komersial atau dalam rangka kepentingan daerah.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Pasal 43

Ayat (1)


Keringanan diberikan pada dasar pengenaan pajak yang akan digunakan untuk menghitung besarnya pokok pajak.
Wajib Pajak yang telah mendapat putusan pemberian keringanan dasar pengenaan pajak untuk suatu ketetapan pajak, tidak dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan pengurangan pokok pajak untuk ketetapan yang sama atau sebaliknya.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah kondisi perekonomian sedang resesi dan bencana alam.


Pasal 44

Ayat (1)


Yang dimaksud pembebasan pajak berdasarkan azas keadilan adalah ditujukan bagi Wajib Pajak golongan ekonomi lemah atau lembaga-lembaga internasional tertentu yang melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan di Indonesia dan memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah.

Contoh :


  • Azaz keadilan kepada ekonomi lemah yaitu terhadap Wajib Pajak Restoran yang beromzet di bawah 60 juta pertahun dibebaskan dari pengenaan pajak.
  • Yang dimaksud dengan pembebasan pajak berdasarkan azas timbal balik adalah perlakuan yang sama berdasarkan Konvensi Wina Tahun 1961.

Contoh :
Pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor kepada Korps Diplomatik.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Pasal 45

Cukup Jelas.


Pasal 46

Cukup Jelas.


Pasal 47

Ayat (1)


Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan Daerah dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan Daerah. Masalahan kerahasiaan tersebut perlu mendapat perlindungan untuk mencegah disalahgunakannya bahan keterangan Wajib Pajak dalam usaha persaingan dagang atau mengungkapkan keadaan asal-usul kekayaan dari Wajib Pajak yang dapat dikategorikan sebagai rahasia pribadi berdasarkan asas hukum pajak.

Ayat (2)


Yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan Daerah, adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat (3)


Huruf a


Cukup Jelas.


Huruf b


Cukup Jelas.

 

Ayat (4)


Untuk kepentingan Daerah, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi lainnya, keterangan atau bukti tertulis dan atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Gubernur.
Dalam surat izin yang diterbitkan Gubernur harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk dan nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Gubernur.


Ayat (5)


Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan Daerah, dan untuk kepentingan peradilan, Gubernur memberikan pengecualian atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan tenaga ahli, atas permintaan tertulis Hakim Ketua Sidang.


Ayat (6)


Cukup Jelas.


Pasal 48

 

Ayat (1)


Informasi, data laporan dan pengaduan yang diterima oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk , dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelejen atau pengamatan yang hasilnya ditindaklanjuti dengan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan atau tidak ditindaklanjuti.


Ayat (2)


Pembuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat daripada alpa, mengingat pentingnya penerimaan pajak bagi daerah.


Pasal 49

Cukup Jelas.


Pasal 50

Ayat (1)


Untuk kepentingan penerimaan daerah, atas permintaan Gubernur, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara tindak pidana tersebut belum dilimpahkan ke Pengadilan.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Pasal 51

Ayat (1)


  • Pada dasarnya sanksi pidana merupakan alternatif solusi pemungutan pajak adanya sanksi pidana, diharapkan timbulnya kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya.
  • Yang dimaksud kealpaan berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan Daerah.

Ayat (2)


Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat daripada alpa, mengingat pentingnya penerimaan pajak bagi Daerah.


Pasal 52

Ketentuan ini dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim.


Pasal 53

Ayat (1)


Ketentuan ini untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan Daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan Daerah tidak ragu-ragu.


Ayat (2)


Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat.


Ayat (3)


Tuntutan pidana pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Pasal 54

Cukup Jelas.


Pasal 55

Cukup Jelas.


Pasal 56

Cukup Jelas.


Pasal 57

Cukup Jelas.


Pasal 58

Cukup Jelas.


Pasal 59

Cukup Jelas




TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 3