Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 9/PJ/2010

Kategori : KUP

Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER - 9/PJ/2010

TENTANG

STANDAR PEMERIKSAAN
UNTUK MENGUJI KEPATUHAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perapajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak;

 


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG STANDAR PEMERIKSAAN UNTUK MENGUJI KEPATUHAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :
  1. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
  2. Standar Pemeriksaan adalah patokan bagi Pemeriksa Pajak dalam melakukan pemeriksaan.
  3. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan.
  4. Unit Pelaksana Pemeriksaan yang selanjutnya disebut UP2 adalah unit yang berada di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan pemeriksaan.
  5. Surat Perintah Pemeriksaan yang selanjutnya disebut SP2 adalah surat perintah untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
  6. Rencana Pemeriksaan adalah rencana kerja pemeriksaan yang disusun oleh Supervisor dan harus ditelaah serta disetujui oleh Kepala UP2 yang berisi identitas Wajib Pajak yang memberikan gambaran umum mengenai Wajib Pajak, identitas Tim Pemeriksa Pajak yang berisi susunan tim dan jumlah SP2 yang sedang dikerjakan Tim Pemeriksa Pajak yang bersangkutan, dan uraian rencana pemeriksaan yang berisi informasi mengenai kriteria pemeriksaan, jenis pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan, identifikasi masalah, tanggal selesai pemeriksaan, tanggal jatuh tempo penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, tenaga ahli yang dibutuhkan dalam pemeriksaan, sarana pendukung yang diperlukan, serta pos-pos SPT yang akan diperiksa.
  7. Program Pemeriksaan adalah pernyataan pilihan Metode Pemeriksaan, Teknik Pemeriksaan dan Prosedur Pemeriksaan yang akan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak dalam melakukan pemeriksaan sesuai dengan Rencana Pemeriksaan.
  8. Metode Pemeriksaan adalah teknik dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan terhadap buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain, yang terdiri atas metode langsung dan metode tidak langsung.
  9. Teknik Pemeriksaan adalah cara-cara pengumpulan bukti, pengujian, dan/atau pembuktian yang dikembangkan oleh Pemeriksa Pajak untuk meyakini kebenaran pos-pos yang diperiksa.
  10. Prosedur pemeriksaan adalah serangkaian langkah dalam suatu Teknik Pemeriksaan, berupa petunjuk rinci yang biasanya tertulis dalam bentuk perintah, untuk dilakukan oleh Pemeriksa Pajak.
  11. Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan adalah bimbingan yang merupakan tuntunan operasional dan administrasi, yang memuat tata cara pelaksanaan pemeriksaan, termasuk urutan pelaksanaannya.
  12. Pedoman Pemeriksaan adalah panduan pemeriksaan yang memuat acuan yang bersifat umum yang dijabarkan dalam petunjuk teknis, dapat berupa contoh-contoh program pemeriksaan, teknik pemeriksaan, bentuk laporan, dan hal lain untuk mendukung pelaksanaan pemeriksaan yang dapat digunakan Pemeriksa Pajak sebagai rujukan dalam pemeriksaan.
  13. Petunjuk Teknis Pemeriksaan adalah bimbingan yang merupakan tuntunan teknis pemeriksaan bidang usaha atau permasalahan tertentu.
  14. Supervisor adalah Pemeriksa Pajak yang bertugas melakukan pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan pemeriksaan serta memberikan bimbingan kepada Pemeriksa Pajak yang berada dalam suatu kelompok pemeriksa pajak.
  15. Ketua Tim adalah Pemeriksa Pajak yang bertugas mengarahkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pemeriksaan serta sekaligus melaksanakan pemeriksaan bersama-sama dengan Anggota Tim yang berada dalam suatu Tim Pemeriksa Pajak.
  16. Anggota Tim adalah Pemeriksa Pajak yang bertugas melaksanakan pemeriksaan pajak dalam suatu Tim Pemeriksa Pajak.
  17. Kertas Kerja Pemeriksaan yang selanjutnya disebut KKP adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan, pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan.
  18. Laporan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disebut LHP adalah laporan yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa Pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan..

 


BAB II
STANDAR PEMERIKSAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 2


Standar pemeriksaan meliputi Standar Umum, Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, dan Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan.


Pasal 3


Standar pemeriksaan ini berlaku untuk semua pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.


Bagian Kedua
Standar Umum

Pasal 4


(1) Standar Umum adalah standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak dan mutu pekerjaannya
(2) Standar umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak, dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama
1) Persyaratan ini merupakan syarat kompetensi untuk dapat menjadi seorang Pemeriksa Pajak, baik sebagai individu maupun sebagai Tim Pemeriksa Pajak (kompetensi kolektif).
2) Untuk menunjang tugasnya sebagai Pemeriksa Pajak, pendidikan yang berkaitan dengan pemeriksaan sangat diperlukan. Selain pendidikan formal dan pelatihan teknis, seorang Pemeriksa Pajak juga harus mampu menggunakan keterampilan yang telah diperoleh dari pengalamannya selama bekerja secara cermat dan seksama.
3) Pemeriksa Pajak yang melaksanakan pemeriksaan harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai di bidang perpajakan , akuntansi, dan pemeriksaan.
4) Pemeriksa Pajak di haruskan memiliki pengetahuan umum tentang lingkungan dan proses bisnis Wajib Pajak, termasuk di antaranya adalah kemampuan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku.
5) Pemeriksa Pajak agar menguasai keterampilan berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan.
6) Pemeriksa Pajak harus memelihara dan meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui pendidikan berkelanjutan. Pendidikan dimaksud dapat berupa diklat-diklat, kursus singkat, maupun seminar, baik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, maupun oleh instansi lainnya, di dalam maupun di luar negeri.
7) Dalam pelaksanaan pemeriksaan dan penyusunan LHP, Pemeriksa Pajak wajib menggunakan kemahirannya secara profesional, cermat dan seksama, objektif dan independen, serta selalu memelihara integritas.
b. Jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara.
1) Pemeriksa Pajak dituntut untuk selalu jujur dan bersih dari tindakan tercela serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan.
2) Pemeriksa Pajak harus tunduk pada kode etik yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
3) Dalam semua hal yang berkaitan dengan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus bersikap independen, yaitu tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan/kondisi/perbuatan dan/atau Wajib Pajak yang diperiksanya. Gangguan independensi yang dapat dialami oleh Pemeriksa Pajak selama pemeriksaan meliputi hal-hal berikut :
a) memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan Wajib Pajak;
b) memiliki kepentingan keuangan , baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Wajib Pajak;
c) pernah bekerja atau memberikan jasa di bidang yang berhubungan dengan masalah perpajakan, akuntansi, ataupun keuangan kepada Wajib Pajak dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
d) memiliki teman dekat/keluarga yang bekerja dalam posisi kunci di tempat Wajib Pajak;atau
e) keadaan/kondisi/perbuatan tertentu lainnya yang menurut pandangan pihak lain dapat mengganggu indepedensi Pemeriksa Pajak.
4) Dalam hal Pemeriksa Pajak mengalami gangguan independensi sebagaimana dimaksud pada angka 3) di atas, maka Pemeriksa Pajak harus secepatnya memberitahukan kepada Kepala UP2 tentang adanya gangguan independensi tersebut. Selanjutnya, Kepala UP2 harus segera mengambil tindakan untuk mengatasi gangguan independensi tersebut.
c. Taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan.
(3) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh tenaga ahli dari dalam dan luar Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.


Bagian Ketiga
Standar Pelaksanaan Pemeriksaan

Pasal 5


Pelaksanaan Pemeriksaan harus dilakukan sesuai Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, yaitu :
a. Pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama.
b. Luas pemeriksaan (audit scope) ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, permintaan keterangan, konfirmasi, teknik sampling, dan pengujian lainnya berkenaan dengan pemeriksaan.
c. persiapan pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu :
1) Mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, meliputi :
a) Mempelajari profil Wajib Pajak
b) Menganalisis data keuangan Wajib Pajak minimal dua tahun terakhir atau sesuai dengan data yang tersedia.
c) Mempelajari data lain yang relevan
2) Menyusun Rencana Pemeriksaan
a) Setelah mempelajari data Wajib Pajak, Supervisor harus menyusun Rencana Pemeriksaan.
b) Rencana Pemeriksaan harus disusun sebelum diterbitkan SP2.
c) Rencana Pemeriksaan harus ditelaah dan disetujui oleh Kepala UP2
d) Rencana Pemeriksaan antara lain berisi :
1. Identitas Wajib Pajak yang berisi gambaran umum Wajib Pajak.
2. Identitas Tim Pemeriksa Pajak yang berisi susunan tim dan jumlah SP2 yang sedang dikerjakan.
3. Uraian rencana pemeriksaan yang berisi :
(a) Kriteria pemeriksaan
(i) Kriteria pemeriksaan terdiri atas Pemeriksaan Rutin dan Pemeriksaan Khusus.
(ii) Pemeriksaan Rutin adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakannya atau karena diwajibkan oleh Undang-Undang KUP.
(iii) Pemeriksaan Khusus adalah pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan hasil analisis risiko terhadap ketidakpatuhan Wajib Pajak.
(b) Jenis Pemeriksaan
(i) Jenis pemeriksaan terdiri atas Pemeriksaan Kantor dan Pemeriksaan Lapangan.
(ii) Pemeriksaan Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
(iii) Pemeriksaan Lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(c) Ruang lingkung pemeriksaan.
Ruang lingkup pemeriksaan terdiri atas semua jenis pajak (all taxes), PPh badan/Orang Pribadi, PPN, PPh Pemotongan dan Pemungutan, dan lain-lain baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, baik tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
(d) Identifikasi masalah.
Identifikasi masalah dilakukan setelah mempelajari berkas Wajib Pajak. Berdasarkan data dan analisis yang telah dilakukan, Pemeriksa Pajak harus mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin ada dan perlu dilakukan pengujian.
(e) Tanggal selesai pemeriksaan.
(f) Tanggal jatuh tempo penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(g) Tenaga ahli yang dibutuhkan dalam pemeriksaan
(h) Sarana pendukung yang diperlukan.
(i) Pos-pos SPT yang akan diperiksa.
Yang dimaksud dengan pos-pos SPT yang akan diperiksa adalah pos-pos SPT atau pos turunannya yang ditentukan akan diperiksa. Sebagai contoh, pada saat Pemeriksa Pajak melakukan pemeriksaan atas Pos Peredaran Usaha, maka Pemeriksa Pajak dapat menentukan untuk memeriksa Pos Penjualan Afiliasi saja. Penentuan pos-pos SPT yang akan diperiksa ini adalah hal yang penting dalam rencana pemeriksaan dan ditentukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang telah disebutkan dalam huruf (a) sampai dengan (h). Penentuan pos yang akan diperiksa ini akan membantu Pemeriksa Pajak untuk :
(i) Membuat Program Pemeriksaan yang efektif karena tidak perlu memeriksa seluruh pos yang ada dalam SPT.
(ii) Melakukan peminjaman buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain dari Wajib Pajak dalam jumlah tertentu sesuai dengan Program Pemeriksaan yang dibuat untuk melakukan pemeriksaan atas pos-pos dalam SPT yang akan diperiksa tersebut.
e) Rencana Pemeriksaan dapat diperbaiki jika Pemeriksa Pajak menemukan kondisi yang berbeda saat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak dengan kondisi awal yang dijadikan pertimbangan saat membuat Rencana Pemeriksaan.
f) Perubahan Rencana Pemeriksaan harus dengan persetujuan kepala UP2 dan Rencana Pemeriksaan yang lama tetap menjadi lampiran dalam Rencana Pemeriksaan yang baru.
g) Rencana Pemeriksaan merupakan bagian dari KKP
3) Menyusun Program Pemeriksaan.
a) Penyusunan Program Pemeriksaan dilakukan secara mandiri, objektif, profesional serta memperhatikan Rencana Pemeriksaan yang telah ditelaah dan disetujui oleh Kepala UP2
b) Program Pemeriksaan disusun oleh Supervisor dan dibantu oleh Ketua Tim berdasarkan pos-pos yang akan diperiksa dalam Rencana Pemeriksaan.
c) Program Pemeriksaan yang harus disusun ada 2 (dua), yaitu Rencana Program Pemeriksaan dan Realisasi Program Pemeriksaan. Rencana Program Pemeriksaan disusun sebelum pemeriksaan dilakukan, sedangkan Realisasi Program Pemeriksaan disusun setelah program pemeriksaan tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi yang ditemui Pemeriksa Pajak saat pemeriksaan.
d) Kepala UP2 menandatangani Rencana Program Pemeriksaan untuk mengetahui apakah Program Pemeriksaan yang dibuat relevan dengan pos-pos yang akan diperiksa sebagaimana tercantum dalam Rencana Pemeriksaan, sedangkan Realisasi Program Pemeriksaan tidak perlu ditandatangani oleh Kepala UP2.
e) Rencana dan Realisasi Program Pemeriksaan berisi tentang tujuan, metode, teknik, dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak.
f) Program Pemeriksaan merupakan bagian dari KKP
4) Menyiapkan sarana pemeriksaan.
Untuk kelancaran dan kelengkapan dalam menjalankan pemeriksaan, Tim Pemeriksa Pajak harus menyiapkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak, SP2, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan, dan sarana pemeriksaan lainnya
d. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dengan mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan, Pedoman Pemeriksaan, dan Petunjuk Teknis Pemeriksaan, antara lain :
1) Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
2) Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor;
3) Pedoman Penyusunan Rencana Pemeriksaan;
4) Pedoman Penyusunan Program Pemeriksaan;
5) Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan;
6) Pedoman Penyusunan KKP;
7) Petunjuk Pelaksanaan Penggunaan Bantuan Tenaga Ahli Dalam Pemeriksaan;
8) Petunjuk Teknis Pemeriksaan Transfer Pricing;
9) Petunjuk Teknis Pemeriksaan Migas;
10) Petunjuk Teknis Pemeriksaan Pertambangan Umum;
11) Petunjuk Teknis Pemeriksaan Perusahaan Grup;
12) Petunjuk Teknis Pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai;dan
13) Petunjuk pelaksanaan pemeriksaan, pedoman pemeriksaan, dan petunjuk teknis pemeriksaan lainnya.
e. Temuan pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
1) Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan.
a) Validitas bukti dipengaruhi oleh tiga hal dibawah ini :
1. Indepedensi dan kualifikasi sumber diperolehnya bukti.
Bukti yang diperoleh dari sumber eksternal (misalnya konfirmasi) memiliki validitas lebih tinggi dibandingkan bukti yang diperoleh dari sumber internal. Meskipun sumber informasi independen, bukti tidak valid jika orang yang menyediakan informasi tidak mempunyai kualifikasi untuk melakukan hal tersebut. Sebagai contoh, penyedia informasi yang dapat diakui adalah DJBC, Bapepam, dan lain-lain.
2. Kondisi di mana bukti diperoleh.
Bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian internal kuat memiliki validitas lebih tinggi dibandingkan bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian internal lemah.
3. Cara bukti diperoleh.
Bukti yang diperoleh secara langsung oleh Pemeriksa Pajak (misalnya observasi persediaan) lebih handal dibandingkan bukti yang diperoleh secara tidak langsung (misalnya hasil wawancara dengan Wajib Pajak).
b) Relevan berarti bahwa bukti pemeriksaan harus berkaitan dengan pos-pos yang akan diperiksa sebagaimana tercantum dalam Program Pemeriksaan.
2) Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung LHP. Kecukupan terkait dengan pertimbangan Pemeriksa Pajak (auditor judgment) dan biasanya didasarkan pada materialitas dan kecukupan sistem pengendalian internal. Pemeriksa Pajak akan meminta jumlah bukti yang lebih banyak untuk pos-pos utama. Sebagai contoh, penambahan aset tetap pada Wajib Pajak manufaktur akan diperiksa lebih intensif dibandingkan beban lain-lain.
f. Pemeriksaan dilakukan oleh suatu Tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang Supervisor, seorang Ketua Tim, dan seorang atau lebih Anggota Tim.
g. Tim Pemeriksa Pajak dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu yang bukan merupakan Pemeriksa Pajak, baik yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak maupun instansi lain yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tenaga ahli seperti penerjemah bahasa, tenaga ahli di bidang teknologi informasi, dan pengacara.
h. Laporan tenaga ahli yang digunakan dalam pemeriksaan merupakan bagian dari KKP. Laporan tersebut antara lain berisi tujuan, langkah-langkah yang dilakukan, informasi yang dihasilkan dan pendapat atau simpulan dari tenaga ahli yang bersangkutan.
i. Apabila diperlukan, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain.
j. Pemeriksa dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, di tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, di tempat tinggal Wajib Pajak, atau ditempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.
k. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja.
l. Pelaksanaan pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk KKP.
1) KKP - Rencana Pemeriksaan disusun oleh Supervisor dan ditelaah serta disetujui oleh Kepala UP2.
2) KKP - Rencana Program Pemeriksaan disusun oleh Supervisor dengan bantuan Ketua Tim dan diketahui oleh Kepala UP2.
3) KKP selain KKP- Rencana Pemeriksaan dan KKP- Rencana Program Pemeriksaan disusun oleh Ketua Tim dan/atau Anggota Tim dan ditelaah oleh Supervisor.

 

Bagian Keempat
Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan

Pasal 6


(1) Kegiatan pemeriksaan harus dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan, yaitu :
a. LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan pemeriksaan.
b. LHP antara lain berisi :
1) Penugasan pemeriksaan;
2) Identitas Wajib Pajak;
3) Pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak
4) Pemenuhan kewajiban perpajakan;
5) Data/informasi yang tersedia;
6) Lampiran yang diwajibkan;
7) Buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain yang dipinjam;
8) Materi yang diperiksa;
9) Uraian hasil pemeriksaan;
10) Ikhtisar hasil pemeriksaan;
11) Penghitungan pajak terutang; dan
12) Simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.
c. LHP disusun dan ditandatangani oleh Ketua Tim dan Anggota Tim.
d. LHP ditelaah dan ditandatangani oleh Supervisor.
e. Penelaahan LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d meliputi penelaahan untuk meyakini bahwa :
1) Pemeriksaan telah dilakukan sesuai dengan rencana pemeriksaan .
2) Pemilihan metode pemeriksaan, teknik pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, penghitungan koreksi, dasar hukum koreksi, dan penghitungan pajak terutang, telah dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan dan didasari oleh objektivitas dan profesionalisme Pemeriksa Pajak.
3) Semua data, informasi, dan fakta material yang diketahui Ketua Tim dan/atau Anggota Tim telah dilaporkan dalam LHP dan tidak menutupi praktik-praktik yang tidak patut atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
f. LHP ditandatangani oleh Kepala UP2 untuk mengetahui apakah :
1) Pos-pos yang diperiksa telah sesuai dengan Rencana Pemeriksaan.
2) Dasar hukum koreksi telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
(2) Bentuk, isi, dan format LHP disusun dengan merujuk pada Pedoman Penyusunan LHP.
(3) LHP digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak.


BAB III
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Pasal 7


(1) Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.7/1990 tanggal 15 Nopember 1990 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, yang merupakan tambahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.7/1990, dinyatakan tetap berlaku.


Pasal 8


Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 01 Maret 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

MOCHAMAD TIJPTARDJO
NIP 060044911