Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 232/PMK.04/2009

Kategori : Lainnya

Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 232/PMK.04/2009

TENTANG

KAWASAN PELAYANAN PABEAN TERPADU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka menghadapi perkembangan perdagangan internasional yang dinamis, perlu meningkatkan pelayanan dan pengawasan di bidang kepabeanan guna mendukung kelancaran lalu lintas barang dengan membentuk suatu kawasan pelayanan kepabeanan terpadu;
  2. bahwa kawasan pelayanan kepabeanan terpadu sebagaimana dimaksud pada huruf a, adalah suatu kawasan yang di dalamnya terdapat tempat penimbunan sementara, tempat penimbunan berikat, tempat konsolidasi barang ekspor, dan tempat usaha lainnya yang mendukung kelancaran lalu lintas barang;
  3. bahwa berdasarkan Pasal 10A dan Pasal 11A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, barang impor dan ekspor dapat dibongkar, ditimbun, dikeluarkan dari dan ke tempat penimbunan sementara dan dalam hal tertentu barang impor dan ekspor dapat dibongkar, ditimbun, dikeluarkan dari dan ke tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat penimbunan sementara, tempat penimbunan berikat, dan tempat konsolidasi barang ekspor;
  4. bahwa untuk efisiensi dan efektivitas pelayanan dan pengawasan kepabeanan di suatu kawasan pelayanan kepabeanan terpadu, berdasarkan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur segel dan/atau tanda pengaman yang digunakan oleh pihak lain yang dapat diterima sebagai pengganti segel atau tanda pengaman yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10A ayat (9), Pasal 11A ayat (7), dan Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu.

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
  3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

 

 

MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KAWASAN PELAYANAN PABEAN TERPADU.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :

  1. Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  2. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
  3. Tempat Penimbunan Sementara yang selanjutnya disingkat dengan TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
  4. Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat dengan TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
  5. Tempat Konsolidasi Barang Ekspor yang selanjutnya disingkat dengan TKBE adalah bangunan atau tempat yang dipergunakan untuk melakukan konsolidasi barang ekspor.
  6. Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu yang selanjutnya disingkat dengan KPPT adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan pelayanan kepabeanan dan cukai yang berupa Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan Berikat, Tempat Konsolidasi Barang Ekspor, dan dapat dilengkapi dengan tempat usaha lainnya dalam rangka mendukung kelancaran lalu lintas barang impor dan ekspor.
  7. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean.
  8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  10. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu.

 


Pasal 2

 

(1) KPPT dikelola oleh perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(2) Pada saat pendirian, luas lahan KPPT paling sedikit 25 (dua puluh lima) hektar dalam satu hamparan dan berlokasi di kawasan industri atau kawasan peruntukan industri.
(3) TPS di KPPT harus mempunyai pintu untuk pemasukan dan pengeluaran barang yang dapat diawasi secara elektronik.
(4) Di dalam KPPT paling sedikit dilakukan kegiatan usaha yang berfungsi sebagai TPS, TPB, dan TKBE.
(5) Tata cara pendirian sebagai TPS, TPB, dan TKBE di dalam KPPT dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang TPS, TPB, dan TKBE.
(6) Di dalam KPPT hanya boleh terdapat 1 (satu) TPS yang dikelola oleh pengelola KPPT dan 1 (satu) atau lebih :
  1. penyelenggara dan/atau pengusaha TPB; atau
  2. Konsolidator yaitu badan usaha yang telah mendapat persetujuan sebagai pihak yang melakukan konsolidasi barang ekspor dari Kepala Kantor Pabean.


Pasal 3


  1. Di dalam KPPT terdapat kawasan pabean yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  2. Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan pemeriksaan pabean dengan tetap memperhatikan kelancaran arus barang.
  3. Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.


BAB II
PENDIRIAN

Pasal 4

  1. Permohonan penetapan sebagai KPPT diajukan kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Kantor Pabean.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan setelah pemohon pengelola KPPT menyelesaikan pembangunan paling sedikit seluas 5 (lima) hektar dan sudah dapat menjalankan fungsi sebagai TPS.
  3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat data tentang identitas penanggung jawab, badan usaha, lokasi, serta perincian luas tempat yang akan diminakan penetapan sebagai KPPT, dan dilampiri dengan :
    1. Keputusan Penetapan sebagai Tempat Penimbunan Sementara;
    2. Fotokopi akte pendirian badan usaha;
    3. Fotokopi pengesahan akta pendirian badan usaha oleh pejabat berwenang;
    4. Fotokopi Surat Izin Usaha dari instansi teknis terkait;
    5. Bukti status kepemilikan dan/atau penguasaan bangunan, tempat atau kawasan yang mempunyai batas-batas yang jelas;
    6. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), telah melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak terakhir bagi yang sudah wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan;
    7. Fotokopi bukti identitas diri penanggung jawab badan usaha berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP);
    8. Fotokopi Dokumen Lingkungan Hidup dari instansi teknis terkait; dan
    9. Peta lokasi, denah dan ukuran luas kawasan serta batas-batas yang akan dijadikan sebagai TPB, TKBE, dan ruang kerja Pejabat Bea dan Cukai.

 


Pasal 5

(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Kepala Kantor Pabean :
  1. melakukan pemeriksaan lokasi dan menuangkannya ke dalam berita acara pemeriksaan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima; dan
  2. meneruskan berkas permohonan yang telah dilakukan pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Direktur Jenderal dengan disertai :
    1) berita acara pemeriksaan lokasi; dan
    2) rekomendasi dari Kepala Kantor.
(2) Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima oleh Direktur Jenderal secara lengkap.
(3) Dalam hal permohonan disetujui Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menerbitkan :
  1. keputusan penetapan sementara sebagai KPPT; atau
  2. keputusan penetapan sebagai KPPT.
(4) Keputusan penetapan sementara sebagai KPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, diberikan dalam hal di lokasi yang akan ditetapkan sebagai KPPT belum terdapat TPB dan/atau TKBE.
(5) Dalam keputusan penetapan sementara sebagai KPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, dicantumkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengelola KPPT.
(6) Keputusan penetapan sebagai KPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, diberikan dalam hal di lokasi yang akan ditetapkan sebagai KPPT sudah terdapat TPB dan TKBE.
(7) Dalam hal pengelola KPPT yang mendapatkan keputusan penetapan sementara sebagai KPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan surat keputusan penetapan sebagai KPPT berdasarkan permohonan dari pengelola KPPT.
(8) Dalam hal permohonan ditolak, Direktur Jenderal menyampaikan surat penolakan dengan menyebutkan alasannya.


Pasal 6


(1) Pengelola KPPT wajib menyelesaikan pembangunan seluruh sarana dan prasarana fungsional KPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
(2) Direktur Jenderal dapat memberikan persetujuan perpanjangan penyelesaian pembangunan seluruh sarana dan prasarana fungsional KPPT 1 (satu) kali, dengan batas waktu paling lama 2 (dua) tahun.


Pasal 7


Pengelola KPPT yang telah mendapat keputusan penetapan sementara sebagai KPPT atau penetapan sebagai KPPT dan telah beroperasi dapat memindahtangankan kepemilikan lahan kepada pihak lain.


BAB III
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG
KE DAN DARI KPPT

Pasal 8

(1) Pemasukan barang ke KPPT dapat dilakukan dari :
  1. Luar daerah Pabean (LDP);
  2. TPS di luar KPPT;
  3. TPB di luar KPPT;
  4. Free Trade Zone (FTZ); dan/atau
  5. Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDP).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap pemasukan barang dari Luar Daerah Pabean (LDP) ke TKBE.


 

Pasal 9


(1) Penimbunan barang di TPS yang berada di dalam KPPT, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai TPS.
(2) Barang asal Luar Daerah Pabean (LDP) dalam kemasan Less Container Load (LCL) dapat dilakukan stripping di lokasi khusus yang disediakan untuk keperluan tersebut di TPS di dalam KPPT.
(3) Penimbunan barang di TPS di dalam KPPT paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penimbunan.
(4) Barang di TPS di dalam KPPT yang tidak dikeluarkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan sebagai barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai dan dipindahkan penimbunannya ke Tempat Penimbunan Pabean.

 

Pasal 10

(1) Pengeluaran barang dari KPPT dapat dilakukan ke :
  1. Luar daerah Pabean (LDP);
  2. TPS di luar KPPT;
  3. TPB di luar KPPT;
  4. Free Trade Zone (FTZ); dan/atau
  5. Tempat Lain Dalam daerah Pabean (TLDP).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan atas pengeluaran barang dari TKBE di dalam KPPT ke TPB di luar KPPT, Free Trade Zone (FTZ), dan/atau Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDP).



BAB IV
TANGGUNG JAWAB, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN

Pasal 11


(1) Pengelola KPPT selaku Pengusaha TPS bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang TPS.
(2) Pengelola KPPT selaku Penyelenggara TPB bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang TPB.
(3) Dalam hal Pengelola KPPT melakukan pengusahaan TPB, maka pengelola KPPT bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang TPB.
(4) Dalam hal pengelola KPPT melakukan usaha TKBE, maka pengelola KPPT bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekspor.


Pasal 12


Pengelola KPPT berkewajiban :

  1. memasang tanda nama perusahaan serta nomor dan tanggal izin sebagai KPPT pada tempat yang dapat dilihat dengan jelas oleh umum;
  2. menyediakan ruangan, sarana kerja, dan fasilitas yang layak bagi pejabat Bea dan Cukai untuk menjalankan fungsi pelayanan dan pengawasan;
  3. mengajukan permohonan perubahan keputusan izin KPPT kepada Direktur Jenderal apabila terdapat perubahan nama, alamat, NPWP, luas, dan/atau penanggung jawab perusahaan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal perubahan;
  4. memenuhi semua kewajiban sebagai pengusaha TPS sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku atas TPS yang dikelolanya;
  5. menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai terkait teknologi informasi dan media komunikasi data elektronik yang terhubung dengan sistem komputer pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  6. menyediakan fasilitas, sarana, dan prasarana yang memadai dan terpercaya terkait sistem transportasi dan pengangkutan barang ke dan dari KPPT;
  7. menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai terkait penggunaan segel elektronik; dan
  8. menyediakan sistem otomasi pada gate masuk dan gate keluar TPS di KPPT yang terhubung dengan sistem aplikasi TPS online di pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar.

 


Pasal 13

Ketentuan larangan yang berlaku atas barang yang ditimbun di TPS, TKBE, dan/atau TPB berlaku terhadap barang yang ditimbun di TPS, TKBE, dan/atau TPB di KPPT.


BAB V
PEMBEKUAN DAN PENCABUTAN

Pasal 14

(1) Ketentuan dan tatacara pembekuan dan pencabutan izin TPS, TPB, dan TKBE, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang TPS, TPB, dan TKBE.
(2) Keputusan Penetapan sebagai KPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a, dicabut dalam hal pengelola KPPT belum menyelesaikan seluruh pembangunan Kawasan Pabean di KPPT dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Keputusan Penetapan sebagai KPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dan Pasal 5 ayat (3) huruf b, dicabut dalam hal keputusan penetapan TPS dicabut.
(4) Dalam hal keputusan penetapan sebagai KPPT dicabut, pengelola KPPT dapat mengajukan permohonan kembali untuk ditetapkan kembali sebagai KPPT setelah jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal pencabutan dan setelah seluruh kewajibannya diselesaikan.


BAB VI
SEGEL

Pasal 15


(1) Penyegelan dapat dilakukan oleh pengelola KPPT.
(2) Segel yang disediakan oleh pengelola KPPT dapat diterima sebagai pengganti segel atau tanda pengaman dalam rangka pengamanan terhadap barang impor dan/atau barang ekspor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya atau barang lain yang harus diawasi.
(3) Direktur Jenderal mengatur lebih lanjut persyaratan dapat diterimanya segel atau tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



BAB VII
PENUTUP

Pasal 16


Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pelayanan dan pengawasan kepabeanan dan/atau cukai di bidang impor dan ekspor di KPPT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.


Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2009
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd

PATRIALIS AKBAR



 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 518