Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 03/PJ.04/2009

Kategori : KUP

Kebijakan Penagihan Pajak


27 Mei 2009

 

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 03/PJ.04/2009

TENTANG

KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK

 

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, terdapat beberapa perubahan perlakuan administrasi dan tindakan penagihan piutang pajak. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan amanat Undang-Undang tersebut dan demi meningkatkan tertib administrasi, validitas data piutang pajak serta mencapai target pencairan piutang pajak Nasional maka dengan ini disampaikan kebijakan penagihan pajak sebagai berikut :

I. KEBIJAKAN UMUM
  1. Kebijakan yang menyangkut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (KUP), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (PBB), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (BPHTB), dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).
  2. Kebijakan yang menyangkut Surat Ketetapan Pajak hasil pemeriksaan mulai Tahun Pajak 2008, penentuan saat mulainya penyampaian surat teguran setelah piutang pajak jatuh tempo dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
  3. Kebijakan yang menyangkut Batas Waktu Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, dan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan serta Daluwarsa Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-48/PJ/2008 tanggal 5 September 2008.
  4. Kebijakan yang menyangkut Penyisihan, Pengakuan, dan Rekonsiliasi Piutang Pajak berpedoman pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ./2009 tanggal 2 Februari 2009 tentang Pedoman Akuntansi Piutang Pajak.
II. KEBIJAKAN KHUSUS
II.1 Tertib Administrasi
II.1.1 Penataan Berkas Penagihan
Dalam rangka pembenahan administrasi piutang pajak dan penataan berkas penagihan, maka Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berkewajiban untuk :
  1. Menyediakan tempat/ruangan khusus untuk penyimpanan rumah berkas penagihan yang memiliki alat pengaman yang cukup kuat dan menunjuk petugas di Seksi Penagihan sebagai penanggung jawabnya;
  2. Membuat rumah berkas penagihan per Wajib Pajak yang disusun sesuai dengan tahun pajaknya dan masing-masing berisi :
    1) Surat ketetapan pajak, termasuk STP/STP PBB/STB/SKP PBB/SKBKB/SKBKBT;
    2) Keputusan Keberatan;
    3) Keputusan Pembetulan (Pasal 16 UU KUP);
    4) Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan pengurangan dan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36 UU KUP)
    5) Putusan Banding;
    6) Putusan Peninjauan Kembali;
    7) Putusan Gugatan;
    8) Bukti pembayaran tunggakan pajak dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak (WP/PP) antara lain berupa Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Tanda Terima Setoran (STTS), SSP PBB, Surat Setoran BPHTB (SSB), dan print out MPN/hasil konfirmasi bank;
    9) Bukti Pemindahbukuan (PbK);
    10) Dokumen tindakan penagihan;
    11) Berkas penagihan lainnya;
    12) Khusus untuk Wajib Pajak PBB yang tidak mempunyai NPWP, dibuatkan rumah berkas tersendiri per NOP dengan perincian berkas sesuai dengan angka 1 s.d. 11 tersebut di atas.
II.1.2 Akurasi Data Piutang Pajak
Dalam proses akurasi data piutang pajak, KPP diwajibkan untuk :
  1. Menyelesaikan perekaman seluruh data piutang pajak berdasarkan fisik ketetapan pajak kondisi per 30 Juni 2007.
  2. Melanjutkan proses pemutakhiran data piutang pajak secara berkesinambungan dan wajib melaporkan data perkembangan perekaman terakhir setiap bulan melalui email ke Kanwil dan subdit penagihan Direktorat P2 KPDJP. Tata cara perekaman dapat dilakukan dengan melanjutkan input data pada aplikasi program SiMIAP atau dalam format excel seperti yang sudah diberikan sebelumnya (format laporan terlampir).
  3. Terhadap KPP yang sudah menyelesaikan perekaman seluruh data piutang pajak berdasarkan fisik ketetapan pajak kondisi per 30 Juni 2007 agar segera membuat berita acara penyelesaian perekaman (format Berita Acara terlampir).
  4. Menginventarisasikan jumlah piutang pajak yang disisihkan dengan kriteria sebagai berikut :
    a. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
    1) Wajib Pajak sudah meninggal dunia;
    2) Wajib Pajak sudah tidak mempunyai harta lagi yang dibuktikan dengan adanya surat dukungan dari instansi berwenang di wilayahnya;
    3) Telah disampaikan Surat Paksa melalui PEMDA setempat;
    4) Telah daluwarsa; dan
    5) Karena sebab lain seperti :
    a) Wajib Pajak sudah tidak dapat ditemukan
    b) Dokumen penagihan tidak lengkap atau tidak dapat ditelusuri lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindari seperti bencana alam, kebakaran, dan sebagainya.
    b. Untuk Wajib Pajak Badan
    1) Bubar, liquidasi, atau pailit dan pengurus, direksi, pemegang saham, pemilik modal atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan sudah tidak ditemukan;
    2) Wajib Pajak sudah tidak mempunyai harta lagi yang dibuktikan dengan adanya surat dukungan dari instansi berwenang di wilayahnya;
    3) Telah disampaikan Surat Paksa melalui PEMDA setempat;
    4) Telah daluwarsa, dan
    5) Karena sebab lain seperti :
    a) Wajib Pajak sudah tidak dapat ditemukan
    b) Dokumen penagihan tidak lengkap atau tidak dapat ditelusuri lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindari seperti bencana alam, kebakaran, dan sebagainya.
    Tatacara penyisihan piutang pajak selengkapnya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ./2009.
  5. Melakukan rekonsiliasi data piutang pajak antara Laporan Perkembangan Piutang Pajak (LP3) dan Laporan Perkembangan Piutang PBB dan BPHTB dengan Laporan Keuangan Piutang Pajak (LKPP) setiap bulan.
  6. Melakukan pembenahan piutang PBB sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-84/PJ/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang Pemutakhiran Data Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan yang dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian data tunggakan PBB.
  7. Terhitung mulai Januari 2009, format laporan rutin piutang pajak menggunakan format laporan sesuai surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-28/PJ.045/2009.
  8. Dalam hal terdapat permasalahan yang berkaitan dengan SIDJP/SIP/SIPMOD/SISMIOP, agar disampaikan kepada Direktur Teknologi Informasi Perpajakan dengan mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-73/PJ/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Kebijakan Perubahan Data SIP/SIPMOD/SISMIOP.
II.1.3 Prosedur Migrasi Berkas Wajib Pajak
Sehubungan dengan masih terdapatnya permasalahan dalam pemindahan Wajib Pajak karena pemecahan KPP atau pembentukan KPP baru, maka Kanwil/KPP diingatkan kembali untuk memperhatikan :
  1. Prosedur administrasi untuk WP pindah sesuai dengan surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan nomor S-14/PJ.0451/2007 tanggal 25 Januari 2007;
  2. Pelaksanaan tertib administrasi penagihan terkait dengan pembentukan KPP baru di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan nomor S-33/PJ.045/2008 tanggal 2 April 2008
II.2 Fokus dan Strategi Penagihan
II.2.1 Fokus Penagihan
  1. Fokus pencarian piutang pajak tahun 2009 lebih diprioritaskan kepada KPP di unit Kanwil Wajib Pajak Besar (LTO), KPP di Unit Kanwil Jakarta Khusus, dan Kantor-Kantor Pelayanan Pajak Madya di seluruh Indonesia (34 KPP dari 331 KPP di Indonesia), dengan pertimbangan kondisi likuiditas Wajib Pajak dan jumlah piutang pajak yang mencapai lebih dari 50% jumlah piutang pajak Nasional berada di wilayah KPP tersebut diatas.
  2. Kegiatan penagihan pada KPP Pratama tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku terutama terhadap 200 Penunggak Pajak terbesar.
II.2.2 Strategi Penagihan
Untuk menunjang peningkatan realisasi pencarian piutang pajak, Kanwil dan KPP agar melaksanakan kegiatan sebagai berikut:
  1. KPP diwajibkan untuk melakukan bedah tunggakan terhadap 200 penunggak pajak terbesar kemudian dibuat profilnya mengenai kondisi WP tersebut lengkap dengan daftar harta kekayaan yang masih dimiliki dan dilengkapi dengan pohon kepemilikan dalam perusahaan yang bersangkutan dimiliki oleh grup perusahaan (format terlampir).
  2. Berdasarkan profil tersebut, KPP kemudian melakukan analisis probabilitas pencairan piutang pajak terhadap 200 penunggak pajak terbesar di wilayah kerjanya dan melaporkan ke Kanwil atasannya (format terlampir).
  3. Berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada angka 2, KPP menetapkan prioritas tindakan penagihan.
  4. KPP wajib melaksanakan tindakan penagihan aktif secara optimal terutama untuk piutang pajak yang akan mendekati daluwarsa namun tindakan penagihannya belum dan/atau tidak dapat dilaksanakan, atau sebab lainnya.
  5. Terhadap tindakan penagihan sebagaimana dimaksud pada angka 4 di atas yang terhenti pelaksanaannya, perlu dilakukan penelitian administrasi dan/atau penelitian setempat kemudian dituangkan dalam berita acara dan laporan penelitian setempat dengan disertai alasan dan bukti pendukungnya (format terlampir).
  6. KPP melaksanakan tindakan penagihan kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak terutama yang non kooperatif, dengan memprioritaskan;

  1. Penyitaan atas harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank yang pelaksanaannya mengacu kepada Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-109/PJ./2007 tanggal 6 Agustus 2007 dengan skala prioritas 200 Penunggak Pajak terbesar dengan prinsip kehati-hatian dan memperhatikan ada tidaknya upaya hukum yang diajukan Wajib Pajak dengan urutan sebagai berikut:
    1) Melakukan pemblokiran rekening Wajib Pajak yang bersangkutan terlebih dahulu; dan
    2) Apabila piutang pajak belum lunas, maka pemblokiran dapat dilakukan kepada rekening para Direksi dan pemegang saham mayoritasnya sebagai penanggung pajaknya; 
  2. Pencegahan dilakukan secara selektif dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, antara lain:
    1) Ada tidaknya upaya hukum Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
    2) Validitas data mengenai status/legalitas Penanggung Pajak dalam kedudukannya selaku Penanggung Pajak suatu badan usaha;
    3) Dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari satu Penanggung Pajak, KPP dapat mempertimbangkan untuk tidak mengusulkan pencegahan terhadap seluruh Penanggung Pajak yang ada, tetapi usul pencegahan dapat dilakukan secara bergantian dengan memperhatikan skala prioritas.

  1. Untuk mendukung upaya penagihan melalui pemblokiran rekening, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan bekerja sama dengan Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan dalam menyediakan daftar Cabang Bank tempat Wajib Pajak yang bersangkutan membayar kewajiban pajaknya. Data tersebut dapat dilihat pada portal subdit penagihan.
  2. KPP wajib melakukan pengawasan secara intensif dan melaksanakan hak mendahulu atas piutang pajak terhadap Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, bubar, atau likuidasi, dengan melakukan koordinasi dengan kurator, likuidator, orang atau badan yang ditugasi melakukan pemberesan, segera setelah diperoleh informasinya.
  3. Kantor Wilayah DJP;

Sebagai pengawas dan pembina suatu wilayah kerja, diharapkan agar Kantor Wilayah DJP lebih meningkatkan peranan dan fungsinya untuk membimbing, mengawasi dan mendukung tindakan penagihan yang dilakukan oleh KPP, oleh karena itu Kanwil diwajibkan untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Membuat pemetaan dan melakukan analisis atas jumlah piutang pajak selain PBB dan BPHTB di wilayah kerjanya berdasarkan kategori umur piutang pajak sebagaimana yang tercantum dalam S-28/PJ.045/2009 tanggal 3 Maret 2009 tentang Laporan Rutin Penagihan;
  2. Membuat pemetaan dan melakukan analisis atas piutang pajak PBB dan BPHTB di wilayah kerjanya, yang didasarkan atas beberapa kriteria sebagai berikut:
    1) Sektor ketetapan (sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan);
    2) Wilayah kerja (kabupaten/kotamadya, kecamatan, desa/kelurahan);
    3) Tahun Pajak;
    4) Buku Ketetapan, yaitu buku ketetapan I s.d. buku ketetapan V;
  3. Melaksanakan pengawasan melekat untuk mencegah terjadinya kesalahan prosedur atau penyalahgunaan wewenang dan jabatan dalam pelaksanaan tindakan penagihan;
  4. Melakukan pengawasan atas bedah tunggakan terhadap 200 penunggak pajak terbesar dan profiling penunggak pajak yang dilakukan oleh KPP di wilayah kerjanya;
  5. Melakukan penelitian dan evaluasi atas analisis probabilitas pencairan piutang terhadap 200 penunggak pajak terbesar yang dilakukan oleh KPP di wilayah kerjanya;
  6. Melakukan pengawasan dan pemantauan proses kegiatan penagihan dan pencairan piutang pajak dengan prioritas 200 penunggak pajak terbesar yang dilaporkan oleh masing-masing KPP di wilayah kerjanya;
  7. Mengawasi dan meneliti saldo piutang pajak pada masing-masing laporan rutin penagihan secara periodik dan berkesinambungan sehingga terjadi kesesuaian angka, khususnya yang berkaitan dengan Wajib Pajak pindah dan pembentukan KPP baru;
  8. Meneliti daftar klasifikasi kualitas piutang pajak yang dibuat oleh KPP terutama untuk kriteria piutang pajak kurang lancar, perhatian khusus, diragukan dan macet, serta melihat kondisi piutang pajak dan permasalahannya. Selanjutnya hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk melakukan reklasifikasi kriteria kualitas piutang pajak sesuai dengan kondisi yang seharusnya;
  9. Mengawasi pelaksanaan perekaman seluruh data piutang pajak berdasarkan fisik ketetapan pajak kondisi per 30 Juni 2007 yang dilakukan oleh KPP di wilayah kerjanya dan melaporkan pelaksanaan kegiatan validasi piutang pajak yang dilakukan oleh KPP di wilayah kerjanya tersebut ke KPDJP (format laporan terlampir);
  10. Melakukan pengujian kembali Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak yang diusulkan dari KPP antara lain:

  1. Tindakan penagihan terakhir terkait dengan jangka waktu daluwarsa penagihan;
  2. Kesesuaian antara daftar rincian piutang pajak yang diusulkan untuk dihapuskan dengan jumlah rekapitulasi piutang yang diusulkan untuk dihapuskan; dan
  3. Kelengkapan data-data pendukung sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KMK 539 dan KEP-15

  1. Menetapkan standar prestasi jurusita dengan mempertimbangkan kondisi masing-masing KPP yang berada di wilayah kerjanya;
  2. Meningkatkan koordinasi regional/lokal dengan instansi terkait untuk kelancaran kegiatan penagihan berdasarkan prinsip kebersamaan tugas sebagaimana yang telah disepakati pada MoU antara Dirjen Pajak dengan Kapolri/Menteri Kehakiman dan HAM/Gubernur/Walikota/Bupati serta kerja sama dengan pihak perbankan dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 34 UU KUP.

II.3 Target Pencarian
Target pencarian piutang pajak secara nasional untuk tahun 2009 akan diatur lebih lanjut dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. Selanjutnya alokasi target pencarian per KPP ditetapkan oleh masing-masing Kantor Wilayah DJP atasannya.
III. Lain-lain
  1. Dalam melakukan penelitian administrasi dan/atau penelitian setempat sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II.2.2 angka 5, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:

  1. Membuat daftar usulan penelitian setempat ke Kantor Wilayah atasannya;
  2. Melakukan koordinasi dengan KPP lawan transaksi dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang akan dilakukan penelitian setempat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang transaksi terakhir yang dilakukan, untuk memastikan apakah masih ada aktifitas atau tidak;
  3. Meminta informasi dan keterangan dari pihak pengelola gedung atau instansi yang berwenang di wilayah tempat Wajib Pajak menjalankan usahanya untuk mendukung keberadaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dilakukan penelitian setempat;
  4. Meminta informasi dan keterangan mengenai Wajib Pajak/Penanggung Pajak kepada Dinas Kependudukan, Direktorat Jenderal Imigrasi atau instansi terkait lainnya apabila diperlukan. 

  1. Kepala KPP harus memperhatikan jumlah sumber daya manusia yang ada di seksi penagihan dikaitkan beban kerja seksi penagihan guna mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan penagihan. Adapun jumlah minimal Jurusita di masing-masing KPP adalah sebagai berikut:

  1. 3 (tiga) orang Jurusita untuk:
    - KPP di lingkungan Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar;
    - KPP di lingkungan Kantor Wilayah Jakarta Khusus;
    - KPP Madya
  1. 2 (dua) orang Jurusita untuk setiap KPP Pratama dengan mempertimbangkan luasnya wilayah kerja dan jumlah tunggakan.

  1. Bagi KPP yang mengalami kekurangan tenaga pelaksana Jurusita pajak dapat menunjuk dan mengangkat Jurusita dari pelaksana pada Seksi Penagihan, Kepala Seksi Penagihan, atau Kepala Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan, sepanjang yang bersangkutan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 562/KMK.04/2000 tentang Syarat-syarat, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak. Apabila jumlah Jurusita belum juga terpenuhi dan kebutuhan akan Jurusita sangat mendesak Kanwil dapat mengajukan permohonan penambahan penempatan Jurusita ke KPDJP.
  2. Dalam hal terdapat permasalahan hukum terkait dengan pelaksanaan tindakan penagihan, KPP agar segera melakukan koordinasi dengan Kepala Seksi Bimbingan Penagihan dan Kepala Sub Bagian Rumah Tangga dan Bantuan Hukum di Kantor Wilayah atasannya.
  3. Kemungkinan adanya pemakaian seragam Jurusita pajak, maka Kepala KPP agar menganggarkan biayanya dalam DIPA KPP untuk minimal 3 potong pakaian seragam per Jurusita, dengan desain sebagaimana terlampir.
  4. Dalam hal keperluan penghitungan KPI, maka diinformasikan bahwa saldo awal piutang pajak yang digunakan untuk KPI adalah saldo awal piutang pajak setelah dikurangi dengan cadangan piutang yang disisihkan dimana tata cara penyisihannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ./2009 tanggal 2 Februari 2009 tentang Pedoman Akuntansi Piutang Pajak.
  5. Sehubungan dengan biaya perjalanan dinas dalam rangka tindakan penagihan agar mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tetap, dalam Bab I Pasal 1 ayat (5) diatur bahwa Perjalanan dinas dalam negeri yang selanjutnya disebut perjalanan dinas adalah perjalanan ke luar tempat kedudukan baik perseorangan maupun secara bersama yang jaraknya sekurang-kurangnya 5 (lima) kilometer dari batas kota yang dilakukan dalam wilayah RI untuk kepentingan Negara atas perintah pejabat yang berwenang termasuk perjalanan dari tempat kedudukan ke tempat meninggalkan Indonesia untuk bertolak ke luar negeri dan dari tempat tiba di Indonesia dari luar negeri ke tempat yang dituju di dalam negeri. Selanjutnya dalam ayat (10) diatur bahwa Wilayah Jabatan adalah wilayah kerja dalam menjalankan tugas.  


Dengan berlakunya Surat Edaran Kebijakan Penagihan ini, maka Surat Edaran Kebijakan Penagihan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.


 


Direktur Jenderal,

ttd.

Darmin Nasution
NIP 130605098

 

 

Tembusan:

  1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
  2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.