Peraturan Pemerintah Nomor : 47 TAHUN 1994

Kategori : PPh

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 47 TAHUN 1994

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang :

 

bahwa sehubungan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi kewajiban perpajakan, khususnya pajak atas penghasilan, serta bagi aparatur perpajakan dalam melakukan penyuluhan, pembinaan, dan pengawasan, dipandang perlu mengatur mengenai penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan dengan Peraturan Pemerintah;

 

Mengingat :

 

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);

 

MEMUTUSKAN :

 

Menetapkan :

 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

 

 

BAB I
BIAYA DAN PENGHITUNGAN PENGHASILAN

 

Pasal 1

 

(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali :
  1. Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g.
  2. Pajak Masukan yang berkenaan dengan barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, huruf f, huruf g dan huruf i Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
 

 

(2)

Apabila Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari Penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan sehubungan dengan perolehan barang yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu tahun), maka Pajak Masukan tersebut harus dikapitalisasi dan dikurangkan dari penghasilan bruto melalui penyusutan atau amortisasi.

 

 

Pasal 2

 

Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto :

  1. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak.
  2. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final yang diatur tersendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
  3. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang telah dikenakan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
  4. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak termasuk dividen, sepanjang Pajak Penghasilan dimaksud ditambahkan sebagai dasar penghitungan untuk pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (1) tersebut.

 

 

Pasal 3

 

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.

 

 

Pasal 4

 

(1)

Laba bruto usaha dalam suatu tahun pajak bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang pemborongan bangunan yang proses penyelesaiannya meliputi beberapa tahun pajak dihitung berdasarkan metode prosentase tingkat penyelesaian pekerjaan.

 

 

(2)

Untuk menghitung penghasilan neto dari laba bruto usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)selain biaya atau pengeluaran sehubungan dengan tingkat penyelesaian pekerjaan, boleh dikurangkan sebagaimanatelah biaya atau pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

 

 

Pasal 5

 

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan saat pengakuan penghasilan dan biaya sebagai dasar penghitungan penghasilan bruto bagi bidang usaha tertentu selain yang diatur dalam Pasal 4.

 

 

BAB II
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN MELALUI PIHAK LAIN

 

Pasal 6

 

(1)

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

 

 

(2)

Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 terutang pada saat pembayaran kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan

 

 

(3)

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

 

 

(4)

Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

 

 

(5)

Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 terutang dan harus dibayar lunas selambat-lambatnya tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.

 

 

(6)

Dalam hal pemotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) meminta perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 berdasarkan penghitungan sementara, terutang dan harus dibayar lunas pada saat surat permohonan perpanjangan disampaikan, akan tetapi tidak melampaui tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir.

 

 

Pasal 7

 

(1)

Wajib Pajak yang dalam suatu tahun pajak masih berhak melakukan kompensasi atas kerugian dari tahun-tahun pajak sebelumnya, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh pihak lain sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar daripada perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.

 

 

(2)

Wajib Pajak yang dapat menunjukkan bahwa dalam suatu tahun pajak tidak akan terutang Pajak Penghasilan, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh pihak lain.

 

 

(3)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap pengadilan yang dikenakan pajak tersendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan penghasilan yang dikenakan pajak melalui pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh pihak lain yang bersifat final.

 

 

(4)

Dalam hal Direktur Jenderal Pajak mengabulkan permohonan pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka keputusan dimaksud berlaku sejak tanggal keputusan.

 

 

(5)

Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan ketentuan diatas ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

 

BAB III
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

 

Pasal 8

 

Wajib Pajak orang Pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 diwajibkan menghitung dan membayar sendiri jumlah Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dan atas penghasilan tersebut dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

 

 

Pasal 9

 

Pembayaran-pembayaran lain untuk Pajak Penghasilan yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, kecuali pembayaran sendiri yang berkenaan dengan penghasilan yang pengenaan pajaknya diatur tersendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 yang bersifat final, termasuk dalam pengertian angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

 

 

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

 

Pasal 10

 

(1)

Dalam hal terdapat perubahan tahun buku yang telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (8) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994, maka penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru, harus dilaporkan tersendiri dengan melampirkan neraca dan perhitungan rugi/laba berkenaan dengan bagian tahun buku dimaksud.

 

 

(2)

Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

 

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 11

 

(1)

Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud kecuali bangunan dan harta tidak berwujud yang masih dimiliki pada awal tahun pajak 1995 dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan disusutkan atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 atau Pasal 11A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dengan memperhatikan sisa masa manfaatnya.

 

 

(2)

Penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan nilai sisa buku harta yang bersangkutan pada awal tahun pajak 1995.

 

 

(3)

Apabila sisa masa manfaat harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir dalam tahun pajak 1995, maka nilai sisa buku harta tersebut disusutkan atau diamortisasi seluruhnya dalam tahun pajak 1995.

 

 

(4)

Penyusutan atas harta berupa bangunan yang masih dimiliki pada awal tahun 1995 dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, dilakukan dengan cara yang sama dengan penyusutan yang telah dilakukan dalam tahun-tahun pajak sebelum tahun pajak 1995.

 

 

Pasal 12

 

Wajib Pajak yang berhak atas kompensasi kerugian lebih dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 8 (delapan) tahun, yang masih mempunyai sisa kerugian tahun pajak 1994 dan sebelumnya, tetap dapat melakukan kompensasi atas kerugian tersebut sesuai dengan jangka waktunya.

 

 

Pasal 13

 

Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak 1995 ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Pasal 14

 

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang sudah ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dan belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.

 

 

BAB VI
PENUTUP

 

Pasal 15

 

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka :

 

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1993 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;

  2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1992 tentang Pajak Penghasilan Perusahaan Reksa Dana;

  3. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1992 tentang Sektor-sektor Usaha Perusahaan Pasangan Usaha dari Perusahaan Modal Ventura dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991;

  4. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1992 tentang Pengertian Daerah Terpencil dan Jenis ImbalanDalam Bentuk Natura dan/atau kenikmatan Dalam Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, dinyatakan tidak berlaku.

 

 

Pasal 16

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 17

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Desember 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd

 

S O E H A R T O

 

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Desember 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd

 

M O E R D I O N O

 

 

 

 

 

 

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3579




PENJELASAN
ATAS 

 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 47 TAHUN 1994

 

TENTANG


PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

 

U M U M

 

Sistem pengenaan pajak yang diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, tentang ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 adalah memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pemerintah dalam hal ini aparatur perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban memberikan penyuluhan dan pembinaan serta pengawasan, agar masyarakat Wajib Pajak mau dan mampu melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Sehubungan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan agar masyarakat Wajib Pajak dapat memenuhi kewajibannya dengan mudah dan aparatur perpajakan dapat melakukan pembinaan dan pengawasan dengan baik, maka dipandang perlu mengatur tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

 

Ayat (1)


Pada dasarnya Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, merupakan pengeluaran yang secara komersial merupakan biaya bagi Wajib Pajak. Namun demikian untuk kepentingan penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak tidak semua Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Faktur Pajak Masukan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tidak dapat dipakai sebagai bukti pengeluaran dan oleh karena itu tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

 

Pajak Masukan yang tidak boleh dikreditkan yang berkaitan dengan perolehan barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,b,e,f,g dan huruf i Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak boleh dikurangkan sebagai biaya, karena Pajak Masukan tersebut melekat pada barang dan jasa tersebut.

 

Ayat (2)


Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto yang berkenaan dengan perolehan barang atau jasa yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun merupakan unsur biaya yang melekat pada harga atau nilai perolehan barang atau jasa tersebut. Oleh karena itu pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.

 

Pasal 2

Sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Bertitik tolak dari isi ketentuan tersebut, maka pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

 

Huruf a


Berdasarkan prinsip tersebut diatas, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang merupakan Objek Pajak.

 

Huruf b dan huruf c


Selaras dengan prinsip tersebut diatas, biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri dan penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan dengan menggunakan tarif umum.

 

Huruf d


Pada dasarnya Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak luar negeri yang dipotong berdasarkan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak dapat dibebankan sebagai biaya oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang bersangkutan. Namun karena berdasarkan pertimbangan ekonomi masih diperlukan modal, teknologi, dan jasa dari luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen, yang ditanggung oleh pemberi penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan dengan pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.

 

Contoh :


PT. ABC membayar bunga kepada Bank di luar negeri sebesar Rp. 100.000.000,00 yang Pajak Penghasilannya ditanggung oleh PT. ABC, dengan tarif pemotongan sebesar 20%.

  - Jumlah yang dijadikan dasar pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 =
100 x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 125.000.000,00
80
  - Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp 125.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00
  - Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT. ABC = Rp 125.000.000,00 (100.000.000,00 + Rp 25.000.000,00)

 

Pasal 3

 

Cukup jelas

 

Pasal 4

 

Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan diakui pada saat diterima secara tunai (metode kas) atau pada saat diperoleh (metode akrual). Dalam perusahaan-perusahaan kontraktor yang pengakuan penghasilannya dilakukan berdasarkan metode akrual, dijumpai cara atau metode yang lazim digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan yaitu :

  1. penghasilan diakui secara periodik atas dasar persentase dari pekerjaan yang diselesaikan. Dengan demikian penghasilan diakui secara proporsional sesuai dengan tahap penyelesaian pekerjaan. Cara ini lazim dijumpai dalam perusahaan-perusahaan konstruksi atau kontraktor bangunan yang mengerjakan proyek-proyek yang memakan waktu beberapa tahun. Metode ini dikenal sebagai metode persentasi penyelesaian ("percentage of completed method").
  2. penghasilan diakui pada saat kontrak telah selesai. Cara ini dikenal atau lazim disebut metode kontrak selesai ("completed contrack method").

 

Penggunaan salah satu di antara kedua metode pengakuan penghasilan tersebut di atas, akan menghasilkan jumlah penghasilan yang berbeda dari tahun ke tahun dan perbedaan dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tiap tahun pajak sebagai berikut :

  1. dalam hal pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan "metode presentase penyelesaian", maka penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dilakukan setiap tahun pajak atas dasar penghasilan yang diperoleh secara periodik (proporsional) selama tahap penyelesaian pekerjaan.
  2. dalam hal pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan "metode kontrak selesai", penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dilakukan pada saat atau pada tahun pajak selesainya pelaksanaan pekerjaan, karena penghasilan baru diakui pada akhir tahun selesainya pekerjaan. Selama tahap penyelesaian pekerjaan tidak dilakukan penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang.

 

Mengingat akan hal tersebut di atas, maka ketentuan tentang pengakuan penghasilan dilakukan berdasarkan presentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang dimaksudkan untuk :

  1. meratakan pembebanan pajak dalam setiap tahun pajak selama jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang dapat meringankan beban Wajib Pajak, karena pembayaran pajak pada suatu tahun pajak sesuai dengan penghasilan yang diperoleh secara proporsional selama tahap penyelesaian pekerjaan, dan beban pajak tersebut tidak menumpuk pada akhir tahun penyelesaian pekerjaan.
  2. memperoleh keseragaman dalam pengakuan penghasilan bagi semua Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang kontraktor konstruksi atau kontraktor bangunan.
  3. memberikan perlakuan yang sama bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam usaha yang sama.

 

Ayat (1)


Ketentuan ini mewajibkan bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang konstruksi dan kontraktor bangunan untuk mempergunakan metode presentase tingkat penyelesaian ("percentage of completion method") dalam menentukan besarnya laba bruto usaha dalam suatu tahun pajak.

 

Ayat (2)


Untuk menghitung penghasilan neto, maka laba bruto usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi dengan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, misalnya biaya umum dan administrasi.

 

Pasal 5

 

Dalam praktek dunia usaha dapat ditemui belum adanya keseragaman mengenai saat pengakuan penghasilan dan biaya untuk bidang-bidang usaha tertentu, sehingga menimbulkan perbedaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak. Dapat pula terjadi kemungkinan penggeseran penghasilan dan biaya yang dapat mengakibatkan penghitungan penghasilan dalam suatu tahun pajak secara tidak wajar. 

 

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menentukan saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi bidang usaha tertentu seperti perusahaan yang bergerak dalam bidang properti dan pengusahaan lapangan golf.

 

Pasal 6

 

Ketentuan ini mengatur tentang saat terutangnya pemotongan dan pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994

 

Saat terutangnya pemotongan dan pemungutan pajak berkaitan dengan tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yaitu batas terakhir penyetoran pajak yang telah dipotong atau dipungut ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. 

 

Dalam ketentuan ini diatur mengenai saat terutangnya pemotongan dan pemungutan pajak, yaitu dikaitkan dengan saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan. Yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya.

Ayat (1)


Cukup jelas

 

Ayat (2)


Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan saat lain mengenai terutangnya pemungutan Pajak penghasilan Pasal 22 selain saat pembayaran.

 

Ayat (3)


Pada dasarnya terutangnya pemotongan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya penghasilan. Untuk penghasilan berupa dividen, terutangnya penghasilan adalah pada saat dividen ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau diumumkan siapa yang berhak atas pembagian dividen, atau pada saat dibayarkan kepada pemegang saham, dengan memperhatikan saat mana yang terjadi lebih dahulu.

 

Ayat (4)


Cukup jelas

 

Ayat (5)


Cukup jelas

 

Ayat (6)


Cukup jelas

Pasal 7

 

Ayat (1)


Cukup jelas

 

Ayat (2)


Cukup jelas

 

Ayat (3)


Cukup jelas

 

Ayat (4)


Cukup jelas

 

Ayat (5)


Cukup jelas

 

Pasal 8

 

Dengan dikecualikannya badan perwakilan negara asing dan organisasi Internasional dari kewajiban melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, maka Wajib Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari badan-badan tersebut berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah Pajak Penghasilan yang terutang.

 

Dengan demikian Wajib Pajak dalam negeri yang bekerja pada perwakilan negara asing dan organisasi Internasional tersebut yang menerima atau memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

 

Pasal 9

 

Misalnya pembayaran Pajak Penghasilan atas komisi impor ("handling fee") oleh importir yang mengimpor barang atas dasar inden. Pembayaran tersebut merupakan pembayaran sendiri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan untuk tahun pajak yang bersangkutan.

 

Pasal 10

 

Ayat (1)


Wajib Pajak dapat memilih untuk menggunakan tahun pajak berdasarkan tahun takwim atau tahun buku, tapi harus dilaksanakan secara taat asas (konsisten). Perubahan tahun buku dapat dilakukan,setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. 

 

Terjadinya perubahan tahun buku dapat menimbulkan adanya bagian dari tahun buku yang tidak dapat dimasukkan baik dalam tahun buku yang lama (tahun buku semula) maupun dalam tahun buku yang baru.

 

Menurut ketentuan ini, maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan atas bagian dari tahun buku tersebut harus dilaporkan tersendiri oleh Wajib Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan dan melampirkan Neraca serta Perhitungan Rugi/Laba berkenaan dengan bagian dari tahun buku yang bersangkutan.

 

Ayat (2)


Cukup jelas

 

Pasal 11

 

Ayat (1)


Berdasarkan ketentuan ini, sisa pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud kecuali harta berupa bangunan dan harta tidak berwujud sebelum tahun pajak 1995 yang boleh disusutkan atau diamortisasi adalah apabila harta tersebut masih dimiliki pada awal tahun pajak 1995 dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

 

Untuk menghitung besarnya penyusutan atau amortisasi untuk tahun pajak 1995 atas sisa pengeluaran tersebut, maka sisa masa manfaat harta tersebut tanpa memperhatikan jenisnya merupakan titik tolak untuk menentukan harta tersebut ke dalam kelompok harta sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (6) atau Pasal 11A ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

 

Contoh :


Mesin yang digunakan dalam usaha industri yang menurut peraturan termasuk dalam Golongan I telah digunakan selama 2 (dua) tahun, sisa manfaat mesin tersebut adalah 2 tahun. Apabila berdasarkan ketentuan baru mesin tersebut termasuk dalam Kelompok 1 yang masa manfaatnya 4 tahun, maka untuk penghitungan penyusutan dimasukkan dalam kelompok harta yang mempunyai masa manfaat sesuai sisa manfaat harta tersebut, yaitu masuk dalam Kelompok 1. Apabila tidak termasuk dalam masa manfaat yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (6) atau Pasal 11A ayat (2), maka dimasukkan dalam kelompok harta yang masa manfaatnya terdekat dengan sisa masa manfaat harta tersebut.

 

Dalam hal sisa masa manfaat harta berada di tengah-tengah antara kelompok harta yang satu dengan yang lain, maka Wajib Pajak boleh memilih untuk menentukan kelompok harta tersebut, misalnya apabila sisa masa manfaat harta 6 (enam) tahun, maka Wajib Pajak boleh memilih Kelompok 1 atau Kelompok 2.

 

Ayat (3)


Cukup jelas

 

Ayat (4)


Penyusutan atas harta berupa bangunan baik permanen maupun tidak permanen dilakukan dengan cara meneruskan penyusutan yang telah dilakukan dalam tahun-tahun sebelum tahun pajak 1995 dengan memperhatikan harga (nilai) perolehan dan sisa manfaat harta tersebut.

 

Contoh :

Harga perolehan bangunan =                                         Rp. 2.000.000.000,00
Telah disusutkan s/d tahun pajak 1994 selama 10 tahun :
10 x 5% x Rp. 2.000.000.000,00 =                                 Rp. 1.000.000.000,00
Nilai sisa buku pada 1 Januari 1995 =                             Rp. 1.000.000.000,00

 

Penyusutan dalam tahun pajak 1995 dan tahun-tahun pajak selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama dengan tahun-tahun pajak sebelum tahun pajak 1995 yaitu sebesar 5% x Rp. 2.000.000.000,00 = Rp. 100.000.000,00

 

Pasal 12

 

Cukup jelas

 

Pasal 13

 

Dengan penurunan tarif Pajak Penghasilan yang mulai berlaku sejak tahun pajak 1995, maka perlu penyesuaian dalam penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri dalam tahun pajak berjalan 1995. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

Pasal 14

 

Cukup jelas

 

Pasal 15

 

Cukup jelas

 

Pasal 16

 

Cukup jelas

 

Pasal 17

 

Cukup jelas

 

 

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3579