Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 15/PJ.42/1990

Kategori : Lainnya

Tertib Buku Tabelaris Tahun 1990


14 Mei 1990

 

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 15/PJ.42/1990

TENTANG

TERTIB BUKU TABELARIS TAHUN 1990

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Sehubungan dengan hasil penelitian di beberapa KPP dimana ternyata bahwa masih banyak KPP yang belum tertib melaksanakan administrasi Buku Tabelaris, maka agar terdapat keseragaman dalam melaksanakan tertib administrasi Buku Tabelaris tersebut, dengan ini dimintakan perhatian Saudara mengenai hal-hal sebagai berikut :

1.

Nomor urut Wajib Pajak supaya ditulis dalam Buku Tabelaris berdasarkan urutan NPWP walaupun urutan NPWP mungkin saja ada yang melompat karena nomor berikutnya sudah dihapuskan. NPWP dari Wajib Pajak Non-efektif yang telah dihapuskan dari master file lokal tidak perlu ditulis dalam Buku Tabelaris, sedangkan NPWP dari Wajib Pajak Non efektif yang masih ada dalam Master File Lokal (MFL) tetap ditulis dalam Buku Tabelaris dengan diberi catatan "Non effektip" pada kolom keterangan.

 

2.

Nama, Alamat serta NPWP harus dicatat dengan jelas dan benar.

 

3.

3.1.

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan sejak penyampaian SPT Tahunnan PPh 1989 dicatat sebesar angsuran seperti tercantum pada huruf Q angka 18 dari SPT Tahunan PPh tersebut, sedangkan untuk bulan sebelum penyampaian SPT, besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan tahun yang lalu.

3.2.

Bagi Wajib Pajak yang mendapat persetujuan penundaan penyampaian SPT Tahunan PPh 1989 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 6 Tahun 1983, besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang bersangkutan dicatat berdasarkan perhitungan sementara yang disampaikan oleh Wajib Pajak, menurut Formulir 1770Y/1771Y butir S. Bila jumlah angsuran menurut perhitungan sementara tersebut lebih kecil dari angsuran pada tahun yang lalu, maka besarnya angsuran untuk tahun bersangkutan adalah sama dengan angsuran PPh tahun lalu.

3.3.

Bagi Wajib Pajak yang terlambat memasukkan SPT atau yang mendapat persetujuan penundaan penyampaian SPT, bila angsuran sebagaimana tercantum pada butir Q.18 dalam SPT lebih besar dari angsuran PPh Pasal 25 yang sudah dibayar sebelum SPT disampaikan, maka angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan SPT seperti dimaksud pada butir 3.1. diberlakukan terhitung mulai akhir batas waktu pemasukkan SPT (mulai April).

3.4.

Bagi Wajib Pajak yang jumlah pajaknya dalam tahun terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan yaitu tahun 1988 ditetapkan Direktur Jenderal Pajak menjadi lebih besar daripada yang diberitahukan dalam SPT tahun 1989, maka angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan setelah diterbitkan keputusan tersebut dihitung dan dicatat 1/12 dari pajak yang terhutang menurut ketetapan dimaksud.

3.5.

Bagi Wajib Pajak yang pajaknya dalam tahun terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan yaitu tahun 1988 mendapat keputusan pengurangan pajak namun masih lebih besar dari yang diberitahukan dalam SPT Tahunan PPh 1989, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan setelah diterbitkan keputusan tersebut dihitung dan dicatat 1/12 dari pajak terhutang menurut keputusan pengurangan.

3.6.

3.6.a.   

Terhadap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengurangan/pembebasan angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 24 PP Nomor 42 Tahun 1986, KPP wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya permohonan tersebut.

3.6.b. 

Bagi Wajib Pajak yang mendapatkan penghapusan/pengurangan PPh pasal 25 yang harus dibayar dalam tahun berjalan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 24 PP nomor 42 Tahun 1986, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan setelah keputusan tersebut dicatat sebesar jumlah menurut keputusan dimaksud.

3.7.

Bagi Wajib Pajak baru, besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan yang bersangkutan dicatat berdasarkan jumlah pajak yang dihasilkan dari penerapan tarif 15% atas penghasilan netto yang disetahunkan dibagi 12 (dua belas). Untuk Wajib Pajak perseorangan, penghasilan netto tersebut dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Apabila Wajib Pajak tersebut tidak menyetor dan belum melaporkan pajaknya yang terhutang dalam bulan yang bersangkutan, agar segera dihimbau dan tidak perlu diterbitkan STP.

3.8.

Bagi jenis usaha Bank dan Lembaga Keuangan lainnya (LKBB), besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan yang bersangkutan dicatat berdasarkan jumlah pajak yang terhutang atas penghasilan kena pajak berdasarkan laporan triwulan terakhir yang disetahunkan dibagi 12 (dua belas).

3.9

Bagi badan Usaha Milik Negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk bulan bersangkutan dicatat berdasarkan jumlah pajak yang terhutang atas penghasilan kena pajak menurut Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja yang telah telah selesai disusun dan disahkan pada awal tahun pajak dikurangi dengan pemotongan dan pungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 serta PPh yang dibayar atau terhutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UU PPh 1984.Dalam hal RAPB belum disahkan maka angsuran PPh Pasal 25 dicatat sebesar angsuran berdasarkan RAPB tahun yang lalu.

Apabila dalam tahun berjalan terjadi revisi RAPB maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 dari bulan setelah revisi dihitung berdasarkan hasil revisi tersebut.

 

4.

Sehubungan dengan tersebut pada butir 3.1., maka Petugas penerima SPT menyalurkan lembar KP.PPh 1.M setelah diisi kolom Angsuran PPh Pasal 25 dari butir Q.18 dalam SPT ke Seksi Pajak Penghasilan. Petugas Buku Tabelaris berdasarkan KP.PPh 1.M mencatat dalam buku tabelaris besarnya angsuran PPh Pasal 25 dengan pensil. Dalam hal penelitian formal mengakibatkan perubahan angka SPT. Maka seksi PTU mengedit PPh Pasal 25 yang seharusnya terhutang dan hasilnya disampaikan pada Seksi PPh.

Apabila besarnya angsuran PPh pasal 25 yang terhutang setelah di edit tidak sama dengan angsuran menurut KP.PPh 1.M, maka petugas Tabelaris merubah jumlah yang semula dicatat dengan pensil sesuai dengan hasil edit dan dicatat dengan tinta.

Perubahan angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan hasil edit tersebut diberitahukan kepada Wajib Pajak.5. Pencatatan pembayaran masa pada Buku Tabelaris dilakukan berdasarkan Surat Setoran Pajak lembar ke 2 (dua) KP.PDIP.

 

5. 1/KPU.35 warna kuning yang telah ditera Kas Negara. Apabila lembar ke 3 (tiga) KP.PDIP.5.1/KPU.35 warna merah diterima lebih dahulu supaya dicatat dalam Buku Tabelaris dengan menggunakan pensil yang kemudian diganti dengan tinta setelah lembar ke 2 (dua) diterima.

Dalam hal Wajib Pajak membayar/menyetorkan pembayaran masanya dimuka sekaligus untuk 12 bulan, supaya dalam Buku Tabelaris dalam lajur masing-masing bulan sesuai dengan tanggal dan jumlah yang tercantum dalam SSP. Pada kolom tercantum ditulis kata "lunas".

6.

Bagi Wajib Pajak 50 besar supaya dibuatkan Buku Tabelaris khusus. Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 WP besar, di awasi melalui Buku Tabelaris khusus tersebut. Dalam buku tabelaris umum identitas Wajib Pajak besar ini tetap harus ditulis dan pada kolom keterangan supaya ditulis "WP besar".

 

7.

Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi pembayaran angsuran PPh Pasal 25 selama 3 bulan sebagaimana mestinya (KP.PDIP.5.1 lembar kedua/KPU.35 warna kuning belum ada) hendaklah dilakukan hal-hal sebagai berikut :

7.1. Meminta Seksi Penerimaan untuk melakukan pelacakan dengan jalan mencek pada SHA dan SSP yang diterima dengan maksud agar adanya kesalahan penyaluran SSP tidak mengakibatkan terbitnya STP.
7.2. Apabila ternyata SSP KP.PDIP.5.1 lembar 2 tidak ada, supaya dibuatkan nota penghitungan STP oleh Seksi PPh dan seterusnya dikirimkan ke Seksi TUP untuk diterbitkan STP-nya.
7.3. Atas keterlambatan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 atau bagi Wajib Pajak yang terlambat memasukkan SPT seperti dimaksud pada butir 3.3. dikenakan bunga 2% perbulan dihitung dari angsuran PPh Pasal 25 yang belum/kurang dibayar.

8.

Pemegang Buku Tabelaris diwajibkan memonitor penerbitan STP yang dilakukan oleh Seksi TUP dengan mencatat penerbitan STP tersebut pada Buku Tabelaris dan selanjutnya meminta informasi tentang hasil penagihan yang dilakukan oleh Seksi Penagihan dan Verifikasi atas STP tersebut. Atas hasil informasi penagihan tersebut dibuat catatan ringkas pada kolom yang bersangkutan (dengan pensil).

 

9.

Terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan STP sebagaimana dimaksud pada butir 7.1. dan butir 7.2., tetapi masih belum memenuhi pembayarannya serta tidak ada setoran angsuran PPh Pasal 25-nya, maka sebelum menerbitkan STP yang berikutnya, terhadap Wajib Pajak tersebut supaya dimintakan verifikasi lapangan oleh Sub Seksi Verifikasi I seksi penagihan dan Verifikasi.

 

10.

Apabila berdasarkan data dari Seksi TUP selama 2 tahun berturut-turut Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT, maka dimintakan verifikasi lapangan pada Sub Seksi Verifikasi II Seksi Penagihan dan Verifikasi. Apabila dari laporan Sub Seksi Verifikasi II diketahui bahwa perusahaan sudah bubar, Wajib Pajak meninggal dunia, tidak memenuhi syarat lagi sebagai Subyek Pajak, Wajib Pajak tidak diketahui alamat terakhir dan sebagainya, maka supaya di usulkan ke Seksi TUP untuk dihapuskan dan pada kolom keterangan dicatat "usul hapus".

 

11.

Minimal sekali sebulan Kepala Seksi harus memeriksa Buku Tabelaris dan memaraf halaman-halaman Buku Tabelaris yang bersangkutan (dibawah kolom bulan yang bersangkutan) sebagai bukti telah diperiksa. Apabila ada tegoran serta saran yang diberikan pada saat pemeriksaan, hendaknya dicatat dalam Buku Produksi sebagai alat pengawasan apakah pada pemeriksaan selanjutnya tegoran dan saran tersebut telah dilaksanakan oleh petugas Buku Tabelaris.

 

12.

Kepala KPP harus memeriksa tertib Buku Tabelaris sebulan sekali secara acak untuk meneliti apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk itu Kepala KPP memberi paraf pada halaman-halaman Buku Tabelaris yang diperiksa. Apabila ada tegoran serta saran yang diberikan kepada Kasi atau petugas hendaknya dicatat dalam "Buku produksi" sebagai alat pengawasan selanjutnya.

 

 
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.





DIREKTUR JENDERAL PAJAK

 

ttd

 

Drs. MAR'IE MUHAMMAD