Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 29/PJ.42/1992

Kategori : PPh

Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)


19 Desember 1992

 

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 29/PJ.42/1992

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Bersama ini disampaikan rekaman Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 November 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing).Berkenaan dengan keputusan tersebut dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut :

  1. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 November 1991 berlaku mulai tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 19 Januari 1991.Dengan berlakunya keputusan tersebut maka Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 48/KMK.013/1991 tanggal 19 Januari 1991 tentang kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing),tidak berlaku lagi. Atas perjanjian Sewa Guna Usaha (Lease Agreement) yang dibuat sebelum tanggal 19 Januari 1991 berlaku ketentuan lama, walaupun masa Sewa Guna Usaha berakhir
    sesudah tanggal tersebut.

  2. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1169/KMK.01/1991 dimaksud, dikenal adanya 2 (dua) jenis kegiatan sewa guna usaha, yakni :

    2.1.

    Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease) yang ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya. kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) apabila memenuhi semua kriteria berikut :

    a.

    Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha (lease term) pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.

    b.

    Masa sewa guna usaha sekurang-kurangnya :

    -

    2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I;

    -

    3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III;

    -

    7 (tujuh) tahun untuk Golongan Bangunan.

    Penggolongan jenis barang modal tersebut ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984.

    c. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
    2.2.

    Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease).
    Kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :

    a.

    Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa guna usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor.

    b.

    Perjanjian sewa guna usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

    2.3.

    Karena kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease), sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan RI tersebut ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya, maka lessor diperlukan sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).

     

  3. Ditinjau dari teknis pelaksanaannya, transaksi sewa guna usaha dapat dilaksanakan sebagai berikut :
    3.1. Sewa Guna Usaha Langsung (Direct Lease).
    Dalam transaksi ini Lessee belum pernah memiliki barang modal yang menjadi obyek sewa guna usaha, sehingga atas permintaannya Lessor membeli barang modal tersebut.
    3.2. Penjualan dan Penyewaan Kembali (Sale and Lease Back).
    Dalam transaksi ini Lessee terlebih dahulu menjual barang modal yang sudah dimilikinya  kepada Lessor dan atas barang modal yang sama kemudian dilakukan kontrak sewa guna usaha antara Lessee (pemilik semula) dengan Lessor (pembeli barang modal tersebut).
  4. Sewa Guna Usaha Sindikasi (Syndicated Lease).
    Dalam praktek juga dimungkinkan adanya sewa guna usaha sindikasi (syndicated Lease) yaitu beberapa perusahaan sewa guna usaha secara bersama melakukan transaksi sewa guna usaha dengan satu Lessee. Dalam hal ini salah satu perusahaan sewa guna usaha akan bertindak sebagai koordinator, sehingga Lessee cukup berkomunikasi dengan koordinator ini. Adapun perlakuan perpajakan terhadap finance lease dan operating lease adalah sebagaimana
    diuraikan dalam butir 5 dan 6 Surat Edaran ini.

  1. Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease).
    5.1 

    Bagi Lessor.

    5.1.1. 

    Penghasilan yang dikenakan PPh adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha yaitu seluruh pembayaran sewa guna usaha dikurangi dengan angsuran pokok. Dalam hal sewa guna usaha sindikasi, imbalan jasa bagi masing-masing anggota dihitung secara proporsional sesuai dengan perjanjian antar anggota sindikasi yang bersangkutan. Terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha yang dibuat sebelum tanggal 19 Januari 1991 dan berakhir sesudah tanggal tersebut, tetap berlaku ketentuan lama yaitu penghasilan yang dikenakan PPh adalah seluruh pembayaran Sewa Guna Usaha yang diterima atau diperoleh lessor.

    5.1.2.

    Lessor tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan. Terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha yang dibuat sebelum tanggal 19 Januari 1991 dan berakhir sesudah tanggal tersebut, lessor tetap harus melakukan penyusutan atas barang modal yang
    disewa-guna-usahakan sampai saat berakhirnya Kontrak Sewa Guna Usaha dan/atau lessee menggunakan hak opsinya untuk membeli barang modal tersebut.Dalam hal demikian, maka berlaku ketentuan mengenai penarikan harta dari pemakaian karena sebab biasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (7) huruf b Undang-Undang PPh 1984. Apabila pada saat berakhirnya kontrak Sewa
    Guna Usaha lessee tidak menggunakan hak opsinya untuk membeli barang modal yang di Sewa Guna Usahakan, maka lessor tetap melakukan penyusutan.

    5.1.3.

    Lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu, setinggi-tingginya 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang Sewa Guna Usaha, yaitu jumlah seluruh pembayaran Sewa Guna Usaha yang meliputi angsuran pokok (principal) dan bunga. Cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dibentuk, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tahun pajak yang berkenaan.

    5.1.4.

    Kerugian yang diderita karena piutang sewa guna usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi, dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang berkenaan.

    5.1.5. 

    Dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tidak atau tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud, maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi, maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto tahun pajak yang bersangkutan.

    5.1.6. 

    Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk setiap bulan adalah jumlah PPh sebagai hasil penerapan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 terhadap penghasilan kena pajak berdasarkan laporan keuangan triwulanan terakhir yang disetahunkan, dibagi dua belas. Dalam hal lessor juga melaksanakan kegiatan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), maka laporan keuangan triwulanan dimaksud adalah laporan keuangan triwulanan gabungan.

    5.2.

     Bagi Lessee

    5.2.1.

    Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa guna usaha, sampai saat Lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut. Penyusutan dilakukan mulai tahun pajak digunakannya hak opsi.Khusus untuk barang modal berupa tanah, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, tidak diperbolehkan untuk
    dilakukan penyusutan.

    5.2.2.

    Dasar penyusutan yang dipakai setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan.

    5.2.3.

    Pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau terutang, kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang transaksi sewa guna usaha tersebut dapat digolongkan sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi.

    5.2.4.

    (dua) transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa guna usaha. Transaksi penjualan barang modal kepada Lessor diperlakukan sebagai penarikan aktiva dari pemakaian oleh sebab biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991. Transaksi sewa guna usaha diperlakukan sebagaimana butir 5.2.1. s/d 5.2.3. di atas.

    5.3. 

    Atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee tidak dilakukan  pemotongan PPh Pasal 23.

    5.4.

    Perlakuan PPh tersebut pada butir 5.1., butir 5.2., dan butir 5.3. mulai berlaku terhadap sewa guna usaha yang kontraknya ditandatangani setelah berlakunya Keputusan Menteri Keuangan tersebut pada butir 1 di atas.

  2. Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).

    6.1.

    Bagi lessor

    6.1.1.

    Seluruh pembayaran sewa guna usaha yang diterima atau diperoleh merupakan obyek PPh.

    6.1.2.

    Pembebanan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dimulai pada tahun pajak barang modal yang bersangkutan disewa-guna-usahakan. Khusus terhadap barang modal berupa tanah, sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, tidak diperbolehkan untuk disusutkan.

    6.1.3.

    Lessor tidak diperkenankan membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu.

    6.2. 

    Bagi Lessee

    6.2.1.

    Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan.

    6.2.2.

    Pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau yang terutang adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

    6.3.

    Atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau terutang oleh lessee wajib dipotong PPh Pasal 23. Dasar perhitungan pemotongan PPh Pasal 23 adalah penerimaan sewa guna usaha bruto.

  3. Perusahaan sewa guna usaha yang semata-mata bergerak di bidang usaha sewa guna usaha tanpa hak opsi/semata-mata operating lease (perusahaan sewa menyewa biasa) maka penghitungan PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1169/KMK.04/1991 tidak berlaku.

  4. Berdasarkan Pasal 14 huruf c jo. Pasal 16 huruf d Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari jangka waktu minimum sebagaimana tersebut pada butir 2.1. huruf b diatas. Dalam hal perjanjian finance lease menyatakan jangka waktu yang lebih pendek atau pada pelaksanaannya berakhir dalam jangka waktu yang lebih pendek dari jangka waktu minimum yang disyaratkan, perlakuan perpajakannya disamakan dengan operating lease.

  5. Berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) jo. Pasal 13 Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, mulai tahun pajak 1991 perlakuan akuntansi terhadap transaksi sewa guna usaha adalah sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa guna usaha di Indonesia. Dalam hal terdapat finance lease yang kontraknya ditandatangani sesudah 19 Januari 1991 dan termasuk dalam tahun pajak 1991, misalnya kontrak ditandatangani tanggal 20 Januari 1991 dan tahun buku perusahaan 1 Februari 1990 s/d 31 Januari 1991, maka perlakuan pajaknya sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1169/KMK.04/1991 sedangkan untuk perlakuan akuntansinya sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa guna usaha.

  6. Atas barang modal yang disewa guna usahakan, lessor maupun lessee wajib melakukan pencatatan yang terpisah dari aktiva yang tidak disewa-guna-usahakan.

  7. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan tersebut, lessee dilarang menyewa guna usahakan kembali barang modal yang disewa guna usaha kepada pihak lain. Lessee yang bergerak di bidang usaha persewaan, dalam rangka menjalankan usahanya, dapat menyewakan barang modal yang disewa guna usaha kepada langganannya.

  8. Berdasarkan Pasal 20 Keputusan Menteri Keuangan tersebut, lessor wajib menyampaikan laporan triwulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lambat 15 (lima belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.

  9. Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Penyuluhan Pajak agar menyebar luaskan materi Keputusan Menteri Keuangan tersebut kepada para wajib pajak terkait di wilayah kerjanya masing-masing.

 

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.






DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

ttd

 

Drs. MAR'IE MUHAMMAD