Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 17/PJ.5/1993

Kategori : PPN

Langkah-Langkah Pengamanan Pemberian Restitusi PPN


2 Juni 1993


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 17/PJ.5/1993

TENTANG

LANGKAH-LANGKAH PENGAMANAN PEMBERIAN RESTITUSI PPN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Sebagaimana di ketahui, pada masa belakangan ini kasus manipulasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai cenderung meningkat baik kwalitas maupun kwantitasnya. Beberapa diantaranya kasus manipulasi bahkan telah berhasil lolos dari sistem pengamanan pemberian restitusi PPN sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ.3/1989 sehingga telah menimbulkan kerugian bagi negara yang tidak kecil jumlahnya. Tindakan-tindakan atau usaha-usaha manipulasi restitusi PPN ini akan semakin membahayakan penerimaan negara khususnya penerimaan PPN apabila tidak segera diambil langkah-langkahpengamanan yang lebih memadai terutama yang bersifat preventive.


Sehubungan dengan itu, diminta perhatian Saudara utnuk meningkatkan kewaspadaan dalam memberikan atau mengambil keputusan atas permohonan restitusi yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), namun tetap menjaga agar tindakan tersebut tidak berlebihan yang justru dapat memberikan dampak yang sebaliknya. Dalam rangka peningkatan pengamanan pemberian restitusi PPN, dengan ini disampaikan permasalahan-permasalahan yang perlu Saudara ketahui serta langkah-langkah pengamanan yang perlu diambil sebagai berikut :

  1. CARA MANIPULASI (MODUS OPERANDI) YANG TELAH TERDETEKSI

Berdasarkan kasus-kasus yang telah berhasil diungkapkan saat ini, pada umumnya para pelakunya menggunakan salah satu atau kombinasi beberapa cara tersebut di bawah ini :

    1. Faktur Pajak diterbitkan kepada dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak (jual beli Faktur Pajak). Dalam hal ini, sebenarnya ada transaksi/ penyerahan oleh PKP penerbit Faktur Pajak (misal A) kepada pihak pembeli (misal B). Namun karena B tidak membutuhkan Faktur Pajak karena bukan PKP dan takut dapat ditelusuri kegiatan usahanya, maka PKP penjual yaitu A dapat memanfaatkan Faktur Pajak tersebut dengan cara menerbitkannya kepada pihak lain yang membutuhkannya (misal C) dengan sejumlah imbalan tertentu. Dalam beberapa kasus bahkan pihak pembeli (PKP B) yang menjual faktur pajaknya kepada C. Selanjutnya C yang sesungguhnya tidak berhak atas Faktur Pajak tersebut, memanfaatkannya sebagai Pajak Masukan baik didalam usaha di dalam negeri maupun dalam rangka ekspor. Dengan cara ini, apabila diadakan konfirmasi kepada KPP tempat kedudukan PKP A, maka jawaban konfirmasi akan menyatakan "ada" karena Faktur Pajak tersebut memang dilaporkan sebagai Pajak Keluaran PKP A.
    2. Menggunakan Faktur Pajak fiktif dimana dalam hal ini transaksinya memang jelas tidak ada.  Terhadap cara ini sesungguhnya akan mudah terdeteksi dengan sistem konfirmasi Faktur Pajak, namun karena jawaban konfirmasi lambat atau karena kepandaian PKP tersebut meyakinkan petugas KPP, maka ada kemungkinan dapat lolos.
    3. Menciptakan PKP-PKP fiktif yang dilibatkan dalam suatu rangkaian transaksi yang fiktif pula. Dengan cara ini, satu PKP membentuk beberapa PKP lainnya yang biasanya dibuat berlokasi di beberapa KPP berbeda serta kota yang berbeda/ berjauhan. Selanjutnya antara PKP-PKP tersebut diciptakan seakan-akan ada transaksi yang didukung dengan faktur pajak. Biasanya beberapa diantara PKP tersebut merupakan perusahaan "boneka" yang melaporkan SPT Masanya kurang bayar sedikit, sehingga terlepas dari beberapa kriteria verifikasi lapangan, sedangkan perusahaan (PKP) intinya atau PKP-PKP pada tempat tertentu akan meminta resitusi dengan menggunakan Faktur Pajak hasil transaksi Fiktif antar PKP dalam kelompok tersebut. Dalam kasus ini, apabila diadakan konfirmasi juga akan dijawab "ada" karena Faktur pajak tersebut memang telah diatur agar dilaporkan sebagai Pajak Keluaran oleh PKP-PKP "bonekanya".
    4. Melaporkan ekspor fiktif. Dalam kasus ini adakalanya dokumen ekspornya lengkap namun tidak ada realisasi ekspornya sehingga PKP tersebut dapat meminta pengembalian semua pajak Masukkannya. Di samping ekspornya fiktif, PKP pada kasus ini kadangkala juga menggunakan Faktur Pajak yang tidak benar yaitu hasil pembelian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 diatas, atau juga dengan cara memalsukan dokumen ekspor (antara lain PEB dan Bill of Lading).

 

  1. TANDA-TANDA ATAU INDIKASI USAHA MANIPULASI.

 

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas kasus-kasus manipulasi restitusi PPN yang telah terungkap dapat disimpulkan beberapa tanda atau indikasi yang perlu Saudara waspadai yaitu :

    1. Selisih antara total nilai penjualan dalam suatu periode dengan total nilai pembelian barang atau jasa dalam periode yang sama sangat rendah bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam bidang yang sama. Selisih yang rendah atau bahkan negatif untuk suatu masa yang relatif panjang ada kemungkinan menunjukkan hal-hal yang kurang wajar karena mungkin terjadi penimbunan persediaan/stock untuk jangka waktu tersebut (idle stock) yang tidak wajar.
    2. Terjadi lonjakan atau peningkatan penjualan yang sangat menyolok dalam waktu yang relatif singkat. Termasuk di dalam katagori ini PKP yang baru dikukuhkan atau baru mulai aktif kembali usahanya, namun dalam waktu yang relatif singkat memiliki omzet penjualan yang besar/menyolok dan mengajukan permohonan restitusi lebih bayar PPN.
    3. PKP yang dalam waktu relatif singkat ada permintaan konfirmasi dari KPP lain atas sebagian besar atau seluruh Faktur Pajak yang diterbitkannya. Kondisi/fakta ini merupakan indikasi bahwa kemungkinan perusahaan tersebut hanya perusahaan fiktif ("papan nama") yang diciptakan khusus sebagai PKP "boneka" yang berfungsi sebagai pembeli dari PKP lainnya, untuk menembus sistem pengamanan restitusi melalui konfirmasi Faktur Pajak.
    4. PKP meminta restitusi PPN lebih bayar, sementara tingkat kepatuhannya baik dibidang PPN sendiri maupun di bidang Pajak Penghasilannya ternyata sangat rendah.
    5. PKP mengajukan restitusi lebih bayar yang besar jumlahnya secara berturut-turut dalam suatu periode tertentu sedangka usahanya bukan eskportir.
    6. PKP melakukan ekspor dimana :
      1. Tempat dihasilkannya barang, tempat kedudukan PKP dan tempat (pelabuhan) ekspor berbeda-beda dan kurang masuk akal. Sebagai contoh PKP berkedudukan di Jakarta membeli barang-barang dari Semarang, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta, sedangkan ekspornya dilakukan di Surabaya, padahal di Surabaya tidak ada cabang atau kantor dari PKP tersebut.
      2. Barang-barang yang diekspor merupakan jenis barang yang pada umumnya diproduksi oleh para pengusaha kecil dan pengrajin dan bukan PKP. mengingat yang menyerahkan bukan PKP, maka apabila eksportir tersebut mengajukan restitusi atas Faktur Pajak Masukan, dimana Faktur Pajak tersebut memuat jenis barang dimaksud diatas, ada kemungkinan Faktur Pajak tersebut diperoleh dari jual beli Faktur Pajak. 
      3. Barang yang diekspor adalah barang non Laporan Pemeriksaan Surveyor Ekspor (LPSE) dan ekspornya non L/C.
      4. Jenis dan uraian barang yang dilaporkan dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) tidak jelas/spesifik.
      5. Negara tujuan ekspor pada umumnya Singapore atau negara lain yang tidak biasa mengimpor barang tersebut.
      6. Harga satuan barang dalam dokumen PEB sangat tinggi.
    1. Terdapat data/informasi yang menyatakan bahwa permohonan restitusi dari PKP tersebut tidak benar.

 

  1. KELEMAHAN SISTEM PENGAMANAN PEMBERIAN RESTITUSI YANG ADA.

 

Beberapa kelemahan yang terdapat baik didalam sistem atau pelaksanaan dari sistem pengamanan pemberian restitusi PPN yang ada pada saat ini adalah :

 

    1. pemberian jawaban konfirmasi hanya didasarkan pada pencocokan Faktur Pajak yang dimintakan konfirmasi dengan Daftar Pajak Keluaran pada SPT Masa dari PKP yang menerbitkan Faktur Pajak dimaksud. Dengan cara ini tidak akan dapat terdeteksi apakah PKP yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut benar-benar ada dan aktif berusaha atau hanya berfungsi sebagai PKP Fiktif atau "papan nama". Didalam kenyataannya, PKP-PKP "boneka" atau "papan nama" tersbut secara teratur memasukkan SPT Masa PPN serta melunasi pajak yang kurang bayar dan melaporkan Faktur-faktur Pajak yang diterbitkannya dalam Daftar Pajak Keluaran.
    2. Tidak ada keharusan untuk melakukan analisa perkembangan usaha PKP yang meminta restitusi, perkembangan pembayaran PPN-nya dan perkembangan permintaan restitusi untuk beberapa masa pajak terakhir, serta kepatuhan PKP melaksanakan kewajiban perpajakan  pada umumnya. Hal-hal ini semua sesungguhnya sangat penting untuk menilai apakah PKP memang telah melaksanakan seluruh kewajiban perpajakan sesuai ketentuan atau hanya memenuhi persyaratan untuk tujuan tertentu.
    3. Proses permintaan konfirmasi dan jawaban konfirmasi Faktur Pajak berlangsung lambat (memakan waktu yang cukup lama) sehingga batas waktu penyelesaian restitusi belum diperoleh atau belum seluruh Faktur Pajak mendapat jawaban konfirmasi. Kelambatan ini dapat berasal dari kurang cepatnya respon dari KPP yang diminta konfirmasi, atau karena proses administrasi/tata usaha surat menyurat yang lama, atau karena pihak KPP yang meminta konfirmasi sendiri yang lambat mengajukan permintaan sehingga sudah mendekati batas waktu penyelesaian restitusi. Kondisi demikian akan mengakibatkan para petugas menjadi kurang waspada karena telah diburu batas waktu.
    4. Kebenaran ekspor hanya didukung oleh dokumen PEB yang telah di fiat muat, B/L dan LPSE. Kelemahan dokumen pendukung ini adalah bahwa fiat muat dari Ditjen Bea dan Cukai pada PEB ternyata bukan merupakan jaminan bahwa barang benar-benar diekspor, dan demikian pula dengan B/L. Diantara dokumen tersebut yang paling menjamin kebenaran adanya ekspor adalah LPSE dari PT. Sucofindo, namun ekspor dengan LPSE ini hanya berlaku untuk jenis- jenis barang tertentu yang sangat terbatas jumlahnya.

 

  1. LANGKAH-LANGKAH PENGAMANAN.

Sebagai pelengkap dari langkah-langkah pengamanan yang telah diatur didalam Surat Edaran Direktur Jenderal pajak Nomor : SE-35/PJ.3/1989 tanggal 6 Juli 1989, maka diminta kepada Saudara untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

  1. Pada saat memproses permohonan restitusi, agar dilakukan analisa dari berbagai sudut untuk menilai apakah permohonan resititusi serta berbagai data/dokumen yang menunjangnya memang wajar, dan tidak terdapat tanda-tanda yang mencurigakan. Untuk mempermudah analisa tersebut, maka agar dibuat Lembar Analisa Permohonan Restitusi PPN dalam bentuk sebagaimana tercantum pada lampiran Surat Edaran ini.
  2. Proses konfirmasi Faktur Pajak sebagaimana diatur di dalam Surat Edaran tersebut di atas agar mendapatkan perhatian sepenuhnya baik dari Kepala KPP yang meminta konfirmasi maupun Kepala KPP yang diminta konfirmasi. Permintaan konfirmasi dan jawaban konfirmasi Faktur Pajak agar mendapatkan prioritas penanganannya sehingga jangka waktunya dapat dipersingkat. Untuk itu pada amplop/sampul surat permintaan dan jawaban
  3. Pada dasarnya permintaan konfirmasi berjenjang hanya kepada KPP tempat kedudukan PKP penerbit Faktur Pajak (dalam contoh di atas PKP B, C, dan D). Selanjutnya apakah KPP tempat kedudukan PKP B, C atau D tersebut akan meminta konfirmasi lebih lanjut kepada KPP tempat kedudukan para PKP pemasok bagi PKP B, C atau D tidak tergantung hasil verifikasi lapangan terhadap PKP B, C dan D. Apabila Kepala KPP tersebut telah mendapatkan keyakinan tentang kebenaran dan kewajaran transaksi, maka konfirmasi tidak perlu dilanjutkan ke jenjang berikutnya.
  4. Melaksanakan dan menyebar luaskan Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor : Peng-12/PJ/1993 tanggal 25 Mei 1993 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ.5/1993 tanggal 25 Mei 1993 tentang Pencantuman NPWP Pada Faktur Pajak.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.





DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

FUAD BAWAZIER
NIP 060041162


Tembusan kepada Yth :
1. Sdr. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan;
2. Sdr. Sekretaris Ditjen Pajak;
3. Para Direktur/Kepala Pusat di lingkungan Ditjen Pajak;
4. Para Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak;
5. Para Kepala Kantor penyuluhan