Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 10/PJ.313/1992

Kategori : PPh

Hubungan PPh Pasal 23/26 Dengan Biaya Perusahaan


 

30 Maret 1992

 

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 10/PJ.313/1992

TENTANG

HUBUNGAN PPh PASAL 23/26 DENGAN BIAYA PERUSAHAAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Dari hasil penelitian ataupun pemeriksaan sering dijumpai terjadinya kekhilafan ataupun kesalahan yang dilakukan Wajib Pajak yaitu Wajib Pajak telah membayar/membebankan biaya bunga, sewa, royalty, technical fee, management fee serta imbalan atas jasa lainnya sebagai pengurangan penghasilan bruto, tetapi Wajib Pajak yang bersangkutan tidak memotong dan menyetor PPh Pasal 23/26.

 

Berhubung pihak yang menerima/memperoleh penghasilan tidak diberi bukti pemotongan PPh Pasal 23 oleh pemotong, maka pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh pihak penerima penghasilan yang bersangkutan tidak mencantumkan PPh Pasal 23 sebagai kredit pajak.

Atas kasus tersebut diatas, penanganan perpajakannya adalah sebagai berikut :

  1. Biaya-biaya tersebut harus diteliti apakah memenuhi ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 dan tidak bertentangan dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991.
    Dalam hal biaya-biaya tersebut telah dibebankan sebagai pengurang atas penghasilan bruto dan memenuhi ketentuan Pasal 6 jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 maka tidak perlu dilakukan koreksi fiskal, walaupun PPh Pasal 23/26 tidak dipotong dan atau tidak disetor oleh Wajib Pajak.
    Perlu diingatkan kembali bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, dalam hal pembayaran-pembayaran tersebut melibatkan dua pihak yang mempunyai hubungan istimewa maka apabila transaksi tersebut tidak wajar harus dilakukan koreksi.

  2. Terhadap pemotong PPh Pasal 23/26 yang tidak memotong dan atau menyetorkan PPh Pasal 23/26, sesuai dengan Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 harus diterbitkan SKP dan atau STP.
    Penerbitan SKP harus berpedoman pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-08/PJ.22/1989 tanggal 31 Januari 1989 dengan cara :
    1. Mengirimkan Surat Tegoran dengan diberi batas waktu penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23/26;
    2. Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi Surat Tegoran, maka diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) ditambah dengan sanksi 100% sesuai dengan Pasal 13 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 dan denda administrasi Rp. 10.000,00 sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.
    3. Apabila setelah menerima Surat Tegoran kemudian Wajib Pajak menyetor dan melaporkan PPh Pasal 23/26, maka jika Wajib Pajak belum melunasi sanksi bunga karena terlambat membayar, KPP harus menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas sanksi bunga ex Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.
  3. Bagi pemotong PPh Pasal 23/26, setelah membayar PPh Pasal 23/26 tersebut maka dapat membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26 (Bentuk KP PPh 3.30/KP PPh 3.31) dan menyerahkan kepada penerima hasil (pihak yang dipotong).
    Atas jumlah PPh Pasal 23/26 yang seharusnya telah dipotong dari jumlah yang dibayarkan, tetapi pemberi hasil belum melakukannya sehingga jumlah yang dibayarkan adalah jumlah bruto, maka masalah tersebut hanya merupakan masalah perhitungan pembayaran antara pemberi hasil dan penerima hasil.

  4. Bukti pemotongan PPh Pasal 23 (Bentuk KP. PPh 3.30/dahulu KP.PPh 4b) yang diterima oleh pihak yang dipotong dapat dikreditkan dari PPh yang terutang pada SPT Tahunan PPh nya.
    Apabila SPT Tahunan PPh dari pihak yang dipotong sudah dimasukkan, sedang Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 terlambat diterima, maka untuk dapat mengkreditkan PPh Pasal 23 tersebut, pihak yang dipotong harus membetulkan SPT Tahunan PPh 1770/1771 sepanjang terhadap pihak yang dipotong tersebut belum pernah dikeluarkan ketetapan pajak dalam tahun yang bersangkutan.

  5. Apabila terhadap pihak yang dipotong sudah diterbitkan ketetapan pajak, maka pihak yang dipotong dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atas ketetapan pajak dimaksud karena terjadi kesalahan tulis, kesalahan hitung sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, dengan dilampiri Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 yang diterima terlambat tersebut.

Demikian untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.






DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

ttd

 

Drs. MAR'IE MUHAMMAD