Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 40/PJ.4/1995

Kategori : PPh

Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Pembayaran Tht-Taspen (Seri PPh Pasal 21 No. 6)


31 Juli 1995


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 40/PJ.4/1995

TENTANG

PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PEMBAYARAN THT-TASPEN (SERI PPh PASAL 21 NO. 6)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Bersama ini disampaikan surat Direktur Jenderal Pajak yang ditujukan kepada Direktur Utama PT Taspen (Persero) No.: S-252/PJ.43/1995 tanggal 5 Juli 1995 perihal seperti tersebut pada pokok surat (fotocopy surat terlampir). Hal-hal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut :

1. Tabungan Hari Tua (THT) yang diselenggarakan PT Taspen (Persero) selanjutnya disebut "THT-Taspen" berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1981, pada hakekatnya adalah suatu program asuransi dwiguna. Dengan demikian dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak atas gaji kehormatan atau gaji bagi Pejabat Negara atau Pegawai Negeri Sipil sepanjang yang menyangkut mengenai iuran Tabungan Hari Tua (THT-Taspen) tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sehingga penghitungannya menjadi sebagai berikut : 
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak :
a. Penghasilan bruto sebulan (yaitu penghasilan berupa gaji kehormatan atau gaji dan tunjangan-tunjangan yang terkait dengan gaji kehormatan atau gaji);
b. Dikurangi :
b.1. Biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto pada huruf a, maksimum diperkenankan Rp 54.000,00 sebulan);
b.2. Iuran pensiun;
c. Penghasilan neto sebulan (a-b);
d. Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari penghasilan neto pada huruf c dikalikan 12 dikurangi PTKP.
2. Adapun pembayaran "THT-Taspen" oleh PT Taspen kepada para pensiunan atau yang berhak menerima "THT-Taspen", diberlakukan ketentuan yang sama dengan pembayaran santunan asuransi dwiguna oleh perusahaan asuransi kepada orang pribadi, sebagaimana dimaksud pada butir 2 surat Direktur Jenderal Pajak No.: S-252/PJ.43/1995 tersebut. Dengan demikian pada saat "THT-Taspen" dibayarkan oleh PT Taspen (Persero) kepada para pensiunan atau yang berhak menerimanya, atas "THT-Taspen" tersebut tidak dipotong PPh Pasal 21
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan 2 di atas mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995, sehingga :
3.1. Apabila kepada penerima "THT-Taspen" telah terlanjur dipotong PPh Pasal 21 sebesar 15%, PT Taspen Wajib mengembalikannya kepada yang berhak;
3.2. PPh Pasal 21 atas pembayaran "THT-Taspen" yang telah dipotong dan disetor ke Bank Persepsi oleh PT Taspen akan dikembalikan. Dalam pelaksanaannya pengembalian tersebut diperhitungkan dengan kewajiban pembayaran PPh Pasal 21 PT Taspen mulai bulan Agustus 1995 dan seterusnya sehingga menjadi nihil.
4. Bagi Bendaharawan pembayar gaji dan tunjangan khusus yang pajaknya ditanggung negara, yang telah terlanjur mengurangkan "THT-Taspen" dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, maka :
- mulai bulan Agustus 1995 agar menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas dan menghitung PPh Pasal 21 yang terutang serta mencantumkan dalam daftar gaji;
- atas "THT-Taspen" yang telah terlanjur dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak untuk pembayaran gaji dan tunjangan khusus bulan Januari s.d. Juli 1995, Bendaharawan wajib melakukan penyesuaian penghitungan PPh pada waktu menghitung besarnya penghasilan dan PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun 1995 (pada saat melakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan khusus untuk bulan Desember 1995) dari setiap Pegawai Tetap dan Pejabat Negara yang jumlah penghasilan netonya melampaui PTKP.

Selanjutnya Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara memindahbukukan jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk bulan Desember 1995 tersebut sebagai penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21.

Demikian untuk disebarluaskan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.





DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER